26.7 C
Medan
Monday, June 17, 2024

Perempuan kok Jadi Tukang Becak…

Dewi Rapika, Pebetor di Pasar Pagi Setia Budi

Tak ada yang berbeda dari fisik Dewi Rapika (31) dibanding perempuan kebanyakan. Pun, suaranya tak berubah layaknya seorang lelaki. Namun, siapa sangka, perempuan berambut panjang ini adalah seorang penarik becak motor (pebetor).

Ramadhan Batubara, Medan

“Apa salahnya menjadi pebetor? Apa karena saya seorangperemp uan, sehingga dianggap kalau profesi pebetor tidak layak bagi perempuan? Saya rasa pekerjaan tidak pernah memilih jenis kelamin,” buka Dewi.

Begitulah, Kamis (3/3) lalu, ketika Sumut Pos mendatangi kediamannya di Jalan Setia Gang Pertama nomor 11, penampilan Dewi tak ubahnya ibu-ibu kebanyakan. “Saya punya anak satu, namanya Ade Irma. Sekarang sudah umur 8 tahun. Saya ingin dia menjadi orang,” tambahnya.

Menikah ketika berumur 20 tahun, Dewi memang sama sekali tak menyangka kalau garis hidup menjadikannya seorang pebetor. Mulanya Dewi sekadar mengantar jemput ibunya yang belanja ke pajak dengan menggunakan betor milik adik lelakinya. Begitu terus-menerus. Suatu hari, kala menunggui sang ibu di atas betor, ada seorang perempuan tua yang menawar jasa betor padanya. Dipikir ibu itu Dewi penarik betor. Iseng-iseng, Dewi pun bersedia. Kebetulan jaraknya tidak terlalu jauh dari pajak. Tak tahunya, usai mengantar ibu tadi, dia jatuh hati dengan pekerjaan itu. “Setelah itu saya merasa ini mungkin jalan saya. Setelah ibu tadi, banyak juga ibu-ibu lain yang minta saya antar. Ya, sudah, saya tetapkan untuk menjadi pebetor,” urai Dewi.

Dewi tak menampik, selain karena suka menjadi pebetor, dirinya juga terjerat kesulitan ekonomi. Pasalnya, sekira tiga tahun lalu, ditinggal suami. Karena itu, Dewi harus mandiri, apalagi setelah dia kembali ke rumah orangtuanya, Kardi (57) dan Suparmi (55). “Lelaki itu (suami Dewi, Red) merantau ke Banda Aceh, tapi ketika kembali dia malah pulang ke perempuan lain. Sudahlah, kabarnya dia kawin lagi,” ungkap Dewi pelan.

Tiba-tiba mata Dewi berkaca, dia pun terdiam. Sesaat dia hanya memandang ke luar jendela. “Saya sedih, selain dia yang berkhianat, keluarganya juga seakan tak senang dengan pekerjaan saya ini. Mertua saya malah sempat bilang, ‘Perempuan kok jadi tukang becak!’. Memangnya kenapa jadi pebetor kan? Daripada jadi pelacur,” sambung Dewi lagi, kali ini ada setetes air mata yang jatuh.

Usai mengusap air mata, Dewi berusaha ceria. Dia pun menceritakan pengalaman yang tidak bisa dilupakan. Ya, beberapa waktu lalu, dirinya sempat mengantar penumpang ke Tanjung Pura. Bayangkan, seorang Dewi membawa becak hingga Kabupaten Langkat yang perjalanannya mencapai dua jam setengah. “Tapi saat itu enak, oli dan bensin dia yang bayar. Saya diberi uang 200 ribu,” katanya dengan mata berbinar.

Nah, kini Dewi memang pebetor profesional. Dia tergabung dalam Serikat Tolong-menolong (STM) pebetor di Pajak Setia Budi dan sekitarnya. Dan, dia terpilih menjadi Humas. Pengakuan Dewi, masuk di STM tersebut cukup membantunya. Pasalnya, dia sering kesulitan ketika betornya bermasalah di jalan. Nah, salah satu program STM itu adalah menolong anggotanya yang terhambat. “Tinggal SMS atau telpon, maka kawan-kawan akan datang. Selain itu, STM kami juga punya mekanik yang siaga,” kata Dewi.

Selain tergabung dalam STM tersebut, dirinya pun sudah memiliki plat kuning. Ya, ini berarti, Dewi merupakan pebetor resmi. “Ya, sejak serius menjadi pebetor, saya memang cepat-cepat mengurus itu (plat kuning). Lumayanlah, kredit betor saya sudah selesai sekarang,” jelasnya.

Dewi menjelaskan, dia memberanikan kredit betor dengan setoran hingga Rp700 ribu per bulan. Memang berat, ujar Dewi, bayangkan saja kredit itu tak mengenal bulan puasa atau libur lainnya. Jadi, setoran harus pas. “Namanya juga usaha, kita memang harus ambil risiko kan?” kekeh Dewi.

Lalu, apakah dirinya tak pernah mendapati masalah? Untuk hal ini Dewi tampaknya tak ambil pusing. Dirinya sadar kalau dia perempuan, jadi kadang ada yang usil. Karena itu, dia membatasi jam kerjanya hingga jam 9 malam. Ya, setiap hari Dewi  berangkat kerja mulai jam 07.00 WIB-12.00 WIB. Lalu dia pulang ke rumah karena harus memasak dan mengantar anaknya sekolah. Setelah itu dia mulai narik lagi sore hingga jam 21.00 WIB.

“Memang pernah ada penumpang yang pernah membuat saya hampir menangis. Dia mabuk tampaknya. Dia mau ke Simpang Selayang. Eh, pas di jalan, dia sibuk kali, dia suruh saya melanggar lampu merah. Saya tak mau, dia malah marah. Saya suruh turun, dia tambah marah. Untungnya setelah sampai, dia tidak berbuat yang kurang ajar,” ungkap Dewi.

Keuntungan sebagai pebetor perempuan, diakui Dewi, cukup banyak. Ya, beberapa kali Dewi memang diuntungkan dengan jenis kelaminnya itu. Pertama, penumpang cenderung tak ngotot menawar begitu mengetahui kalau dirinya perempuan. Kedua, ongkos kadang dilebihkan penumpang. “Alhamdulliah, saya juga tidak begitu ngotot soal ongkos,” katanya.

Nah, apakah Dewi akan seterusnya menjadi pebetor? “Tidaklah! Saya mau jadi juragan becak,” pungkasnya. (*)

Dewi Rapika, Pebetor di Pasar Pagi Setia Budi

Tak ada yang berbeda dari fisik Dewi Rapika (31) dibanding perempuan kebanyakan. Pun, suaranya tak berubah layaknya seorang lelaki. Namun, siapa sangka, perempuan berambut panjang ini adalah seorang penarik becak motor (pebetor).

Ramadhan Batubara, Medan

“Apa salahnya menjadi pebetor? Apa karena saya seorangperemp uan, sehingga dianggap kalau profesi pebetor tidak layak bagi perempuan? Saya rasa pekerjaan tidak pernah memilih jenis kelamin,” buka Dewi.

Begitulah, Kamis (3/3) lalu, ketika Sumut Pos mendatangi kediamannya di Jalan Setia Gang Pertama nomor 11, penampilan Dewi tak ubahnya ibu-ibu kebanyakan. “Saya punya anak satu, namanya Ade Irma. Sekarang sudah umur 8 tahun. Saya ingin dia menjadi orang,” tambahnya.

Menikah ketika berumur 20 tahun, Dewi memang sama sekali tak menyangka kalau garis hidup menjadikannya seorang pebetor. Mulanya Dewi sekadar mengantar jemput ibunya yang belanja ke pajak dengan menggunakan betor milik adik lelakinya. Begitu terus-menerus. Suatu hari, kala menunggui sang ibu di atas betor, ada seorang perempuan tua yang menawar jasa betor padanya. Dipikir ibu itu Dewi penarik betor. Iseng-iseng, Dewi pun bersedia. Kebetulan jaraknya tidak terlalu jauh dari pajak. Tak tahunya, usai mengantar ibu tadi, dia jatuh hati dengan pekerjaan itu. “Setelah itu saya merasa ini mungkin jalan saya. Setelah ibu tadi, banyak juga ibu-ibu lain yang minta saya antar. Ya, sudah, saya tetapkan untuk menjadi pebetor,” urai Dewi.

Dewi tak menampik, selain karena suka menjadi pebetor, dirinya juga terjerat kesulitan ekonomi. Pasalnya, sekira tiga tahun lalu, ditinggal suami. Karena itu, Dewi harus mandiri, apalagi setelah dia kembali ke rumah orangtuanya, Kardi (57) dan Suparmi (55). “Lelaki itu (suami Dewi, Red) merantau ke Banda Aceh, tapi ketika kembali dia malah pulang ke perempuan lain. Sudahlah, kabarnya dia kawin lagi,” ungkap Dewi pelan.

Tiba-tiba mata Dewi berkaca, dia pun terdiam. Sesaat dia hanya memandang ke luar jendela. “Saya sedih, selain dia yang berkhianat, keluarganya juga seakan tak senang dengan pekerjaan saya ini. Mertua saya malah sempat bilang, ‘Perempuan kok jadi tukang becak!’. Memangnya kenapa jadi pebetor kan? Daripada jadi pelacur,” sambung Dewi lagi, kali ini ada setetes air mata yang jatuh.

Usai mengusap air mata, Dewi berusaha ceria. Dia pun menceritakan pengalaman yang tidak bisa dilupakan. Ya, beberapa waktu lalu, dirinya sempat mengantar penumpang ke Tanjung Pura. Bayangkan, seorang Dewi membawa becak hingga Kabupaten Langkat yang perjalanannya mencapai dua jam setengah. “Tapi saat itu enak, oli dan bensin dia yang bayar. Saya diberi uang 200 ribu,” katanya dengan mata berbinar.

Nah, kini Dewi memang pebetor profesional. Dia tergabung dalam Serikat Tolong-menolong (STM) pebetor di Pajak Setia Budi dan sekitarnya. Dan, dia terpilih menjadi Humas. Pengakuan Dewi, masuk di STM tersebut cukup membantunya. Pasalnya, dia sering kesulitan ketika betornya bermasalah di jalan. Nah, salah satu program STM itu adalah menolong anggotanya yang terhambat. “Tinggal SMS atau telpon, maka kawan-kawan akan datang. Selain itu, STM kami juga punya mekanik yang siaga,” kata Dewi.

Selain tergabung dalam STM tersebut, dirinya pun sudah memiliki plat kuning. Ya, ini berarti, Dewi merupakan pebetor resmi. “Ya, sejak serius menjadi pebetor, saya memang cepat-cepat mengurus itu (plat kuning). Lumayanlah, kredit betor saya sudah selesai sekarang,” jelasnya.

Dewi menjelaskan, dia memberanikan kredit betor dengan setoran hingga Rp700 ribu per bulan. Memang berat, ujar Dewi, bayangkan saja kredit itu tak mengenal bulan puasa atau libur lainnya. Jadi, setoran harus pas. “Namanya juga usaha, kita memang harus ambil risiko kan?” kekeh Dewi.

Lalu, apakah dirinya tak pernah mendapati masalah? Untuk hal ini Dewi tampaknya tak ambil pusing. Dirinya sadar kalau dia perempuan, jadi kadang ada yang usil. Karena itu, dia membatasi jam kerjanya hingga jam 9 malam. Ya, setiap hari Dewi  berangkat kerja mulai jam 07.00 WIB-12.00 WIB. Lalu dia pulang ke rumah karena harus memasak dan mengantar anaknya sekolah. Setelah itu dia mulai narik lagi sore hingga jam 21.00 WIB.

“Memang pernah ada penumpang yang pernah membuat saya hampir menangis. Dia mabuk tampaknya. Dia mau ke Simpang Selayang. Eh, pas di jalan, dia sibuk kali, dia suruh saya melanggar lampu merah. Saya tak mau, dia malah marah. Saya suruh turun, dia tambah marah. Untungnya setelah sampai, dia tidak berbuat yang kurang ajar,” ungkap Dewi.

Keuntungan sebagai pebetor perempuan, diakui Dewi, cukup banyak. Ya, beberapa kali Dewi memang diuntungkan dengan jenis kelaminnya itu. Pertama, penumpang cenderung tak ngotot menawar begitu mengetahui kalau dirinya perempuan. Kedua, ongkos kadang dilebihkan penumpang. “Alhamdulliah, saya juga tidak begitu ngotot soal ongkos,” katanya.

Nah, apakah Dewi akan seterusnya menjadi pebetor? “Tidaklah! Saya mau jadi juragan becak,” pungkasnya. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/