30.6 C
Medan
Monday, May 27, 2024

Inalum Diperebutkan Pengusaha

MEDAN-Kepemilikan saham sebesar 58,88 persen konsorsium Jepang yang tergabung dalam Nippon Asahan Aluminium (NAA) menjadi ‘rebutan’ banyak pihak jelang berakhirnya Master Agreement 2013. Selain pemerintah pusat, pemprovsu dan 10 pemkab/pemko di sekitar Danau Toba, sejumlah pihak swasta nasional terang-terangan menyatakan minatnya mengakuisisi saham NAA.

Jenderal TNI (Purn) Luhut B Panjaitan melalui PT Toba Sejahtera miliknya bukan satu-satunya pihak swasta yang menyatakan ketertarikannya bekerja sama dengan pemprov dan 10 pemda untuk menguasai saham NAA.

Diam-diam, sejumlah pengusaha yang menjadi anggota Asosiasi Perusahaan Pengerjaan Logam dan Mesin Indonesia (APPLMI)n
juga berminat untuk ikut membeli saham Inalum yang selama ini dikuasai perusahaan konsorsium Jepang itu.

Ketum APPLMI Ahmad Safiun mengatakan, beberapa pengusaha yang menjadi anggota asosiasi sudah menyampaikan keinginan kepemilikan saham Inalum itu kepada pemerintah. Hingga saat ini, mereka masih menunggu kebijakan pemerintah terkait model pengelolaan Inalum pasca putus kontrak dengan Nippon Asahan Alumunium (NAA).

“Kita sudah bicara dengan pemerintah. Kita tunggu saja karena pemerintah yang punya opsi-opsi,” ujar Ahmad Safiun saat dihubungi Sumut Pos ini, kemarin (6/7).

Hanya saja, dia menyebutkan, keinginan untuk memiliki saham Inalum, tidaklah sebesar yang diinginkan Luhut Panjaitan melalui PT Toba Sejahtera, yang telah menyiapkan US$ 700 juta atau setara Rp5,95 triliun (kurs Rp8.500 per US$) untuk mengakuisisi 58,88 persen saham PT Inalum.
“Kami tidak mungkin sendirian, karena itu besar.

Jepang saja menggunakan konsorsium,” terang Ahmad. Hanya saja, Ahmad yang kemarin mengaku sedang di Bali, tidak mau menyebutkan berapa persen saham yang ingin dimiliki anggotanya. Dia juga belum mau menyebutkan ‘bendera’ perusahaan yang berminat ikut membeli saham Inalum dimaksud.

Apa motivasi ikut terlibat? Ahmad mengatakan, semua pengusaha sudah barang tentu ingin ikut terlibat. Alasannya, PT Inalum merupakan perusahaan besar dan strategis.  Dari pertimbangan bisnis, Inalum yang memproduksi alumunium itu juga punya prospek yang teramat cerah.

“Kita, di dalam negeri saja, masih sangat membutuhkan alumunium. Alumunium itu logam yang sangat dibutuhkan setelah besi. Sekarang ini, semua alat angkut menggunakan bahan alumunium karena lebih ringan dibanding besi,” terangnya.

Sebelumnya diberitakan, hingga saat ini kelompok kerja (pokja) penyiapan pengakhiran Master Agreement yang tugasnya mempersiapkan pemutusan kontrak dengan perusahaan Jepang Nippon Asahan Alumunium (NAA), belum pernah membahas mengenai siapa saja yang nantinya akan dilibatkan dalam pengelolaan Inalum pasca 2013. Pokja hingga saat ini masih berkutat melakukan kajian terhadap sejumlah opsi model pengelolaan Inalum pasca 2013 mendatang.

Ketua Otorita Asahan, Effendi Sirait, dalam kapasitasnya sebagai sekretaris Tim Pelaksana Pokja, kepada koran ini 1 Juli 2011 menjelaskan,  belum ada keputusan apakah nantinya akan melibatkan swasta atau tidak. Sejumlah opsi masih adalah kajian Pokja terkait siapa yang akan dijadikan mitra strategis atau mitra utama pengelolaan Inalum ke depan. Opsi-opsi itu antara lain dengan pelepasan saham perdana (IPO/Initial Public Offering), dibatasi khusus dalam negeri, pihak luar negeri diberi kesempatan, melibatkan pemda, dan atau melibatkan swasta.

Ajukan Simulasi
Keinginan pihak swasta dan pemerintah Indonesia mengakuisisi 58,88 persen saham NAA disambut baik banyak kalangan. Keinginan itu diharapkan secara nyata akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Sumatera Utara, khususnya yang berada di sekitar PT Inalum.

Meski demikian, Ketua Fraksi PKS Hidayatullah, menegaskan agar tujuan mulia pengambilalihan saham NAA itu sesuai harapan, pihak swasta yang menyatakan keinginan bekerja sama dengan pemprov dan 10 pemkab/pemko, membuat simulasi keuntungan. Dalam simulasi harus tergambar jelas keuntungan yang akan diperoleh pemprovsu, 10 pemerintah kabupaten/kota dan dampaknya bagi masyarakat, pasca pengambilalihan pada 2013 mendatang.

“Dengan begitu, pemerintah bisa memperhitungkan keuntungannya dan mempertimbangkan apakah dengan keuntungan yang telah dihitung tadi memang layak untuk diterima,” kata Hidayatullah, kemarin (6/7).

Hingga 2013 mendatang, Jepang tepat berkuasa di PT Inalum selama 30 tahun. “Nah, jika kita harus menutupi utang dengan keuntungan dari saham yang relatif kecil selama 30 tahun mendatang lagi misalnya, kapan lagi pemprovsu dan 10 pemkab/kota merasakan keuntungan untuk mensejahterakan masyarakat sekitar,” ujar Hidayatullah.

Untuk simulasi ini, menurut Hidayatullah, semua bisa dihitung karena data-data yang dibutuhkan untuk memperhitungkan keuntungan dari saham tersebut ada di perusahaan dan di pemerintahan.
Membicarakan masalah lain, Hidayatullah mengkritisi prinsip pemerintah Indonesia yang sangat senang dengan ‘komisi.’ Menurutnya, bahan baku untuk menghasilkan lempengan alumunium ini (alumunia, red) terdapat banyak di Bumi Indonesia.

“Namun, selama ini kita mengimpornya dari Australia. Sementara, hasil pembicaraan dari sebagian orang dari PT Inalum yang sempat kami lakukan, mereka mengaku Alumunia ini memang diimpor dari Australia. Namun, ternyata Alumunia ini banyak dihasilkan di Kalimantan, dan anehnya juga diekspor ke Australia oleh Indonesia,” ungkapnya.

Ini disebabkan, tuturnya lagi, karena pemerintah kita yang doyan ‘komisi.’ “Karenanya, biar harga mahal dibeli dari luar negeri, yang penting ada komisi buat dia. Satu lagi yang menjadi permasalahan, pemerintah saat ini memang merasa untuk membuat satu pabrik penghasil Alumunia atau pabrik-pabrik lain penghasil bahan baku yang SDA-nya banyak di Indonesia ini, dirasa lebih ‘ribet’ prosesnya. Padahal jika sudah ada pabriknya, tentunya harganya akan lebih murah,” kata Hidayatullah.

Sementara itu, anggota Pansus PT Inalum dari DPRD Sumut Amsal menjelaskan, dengan menjaga kelestarian habitat hutan di sekitar PLTA, atau lebih tepatnya Sungai Asahan tersebut, maka PLTA bisa menjadi investasi yang menguntungkan bagi Pemprovsu dan 10 Kabupaten/Kota. “Karena selama debit air terjaga maka PLTA ini akan terus berjalan dan menghasilkan listrik yang cukup besar.

Nah, selama ini, listrik hasil dari PLTA digunakan lebih banyak untuk mengelola PT Inalum, baik proses penghasilan Alumunium, maupun untuk kebutuhan proyek sehari-hari. Tentunya dengan bayaran listrik yang lebih murah,” jelasnya.

Bukan tak mungkin, sambung Amsal, kita menjadikan PLTA tersebut sebagai investasi jangka panjang. Karena menurutnya, dengan menaikkan tarif listrik sesuai standar baik untuk PT Inalum maupun untuk masyarakat Sumut secara umum, merupakan pemasukan yang cukup besar dan merupakan keuntungan yang nantinya bisa dialokasikan untuk mensejahterakan masyarakat sekitar. (sam/saz)

MEDAN-Kepemilikan saham sebesar 58,88 persen konsorsium Jepang yang tergabung dalam Nippon Asahan Aluminium (NAA) menjadi ‘rebutan’ banyak pihak jelang berakhirnya Master Agreement 2013. Selain pemerintah pusat, pemprovsu dan 10 pemkab/pemko di sekitar Danau Toba, sejumlah pihak swasta nasional terang-terangan menyatakan minatnya mengakuisisi saham NAA.

Jenderal TNI (Purn) Luhut B Panjaitan melalui PT Toba Sejahtera miliknya bukan satu-satunya pihak swasta yang menyatakan ketertarikannya bekerja sama dengan pemprov dan 10 pemda untuk menguasai saham NAA.

Diam-diam, sejumlah pengusaha yang menjadi anggota Asosiasi Perusahaan Pengerjaan Logam dan Mesin Indonesia (APPLMI)n
juga berminat untuk ikut membeli saham Inalum yang selama ini dikuasai perusahaan konsorsium Jepang itu.

Ketum APPLMI Ahmad Safiun mengatakan, beberapa pengusaha yang menjadi anggota asosiasi sudah menyampaikan keinginan kepemilikan saham Inalum itu kepada pemerintah. Hingga saat ini, mereka masih menunggu kebijakan pemerintah terkait model pengelolaan Inalum pasca putus kontrak dengan Nippon Asahan Alumunium (NAA).

“Kita sudah bicara dengan pemerintah. Kita tunggu saja karena pemerintah yang punya opsi-opsi,” ujar Ahmad Safiun saat dihubungi Sumut Pos ini, kemarin (6/7).

Hanya saja, dia menyebutkan, keinginan untuk memiliki saham Inalum, tidaklah sebesar yang diinginkan Luhut Panjaitan melalui PT Toba Sejahtera, yang telah menyiapkan US$ 700 juta atau setara Rp5,95 triliun (kurs Rp8.500 per US$) untuk mengakuisisi 58,88 persen saham PT Inalum.
“Kami tidak mungkin sendirian, karena itu besar.

Jepang saja menggunakan konsorsium,” terang Ahmad. Hanya saja, Ahmad yang kemarin mengaku sedang di Bali, tidak mau menyebutkan berapa persen saham yang ingin dimiliki anggotanya. Dia juga belum mau menyebutkan ‘bendera’ perusahaan yang berminat ikut membeli saham Inalum dimaksud.

Apa motivasi ikut terlibat? Ahmad mengatakan, semua pengusaha sudah barang tentu ingin ikut terlibat. Alasannya, PT Inalum merupakan perusahaan besar dan strategis.  Dari pertimbangan bisnis, Inalum yang memproduksi alumunium itu juga punya prospek yang teramat cerah.

“Kita, di dalam negeri saja, masih sangat membutuhkan alumunium. Alumunium itu logam yang sangat dibutuhkan setelah besi. Sekarang ini, semua alat angkut menggunakan bahan alumunium karena lebih ringan dibanding besi,” terangnya.

Sebelumnya diberitakan, hingga saat ini kelompok kerja (pokja) penyiapan pengakhiran Master Agreement yang tugasnya mempersiapkan pemutusan kontrak dengan perusahaan Jepang Nippon Asahan Alumunium (NAA), belum pernah membahas mengenai siapa saja yang nantinya akan dilibatkan dalam pengelolaan Inalum pasca 2013. Pokja hingga saat ini masih berkutat melakukan kajian terhadap sejumlah opsi model pengelolaan Inalum pasca 2013 mendatang.

Ketua Otorita Asahan, Effendi Sirait, dalam kapasitasnya sebagai sekretaris Tim Pelaksana Pokja, kepada koran ini 1 Juli 2011 menjelaskan,  belum ada keputusan apakah nantinya akan melibatkan swasta atau tidak. Sejumlah opsi masih adalah kajian Pokja terkait siapa yang akan dijadikan mitra strategis atau mitra utama pengelolaan Inalum ke depan. Opsi-opsi itu antara lain dengan pelepasan saham perdana (IPO/Initial Public Offering), dibatasi khusus dalam negeri, pihak luar negeri diberi kesempatan, melibatkan pemda, dan atau melibatkan swasta.

Ajukan Simulasi
Keinginan pihak swasta dan pemerintah Indonesia mengakuisisi 58,88 persen saham NAA disambut baik banyak kalangan. Keinginan itu diharapkan secara nyata akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Sumatera Utara, khususnya yang berada di sekitar PT Inalum.

Meski demikian, Ketua Fraksi PKS Hidayatullah, menegaskan agar tujuan mulia pengambilalihan saham NAA itu sesuai harapan, pihak swasta yang menyatakan keinginan bekerja sama dengan pemprov dan 10 pemkab/pemko, membuat simulasi keuntungan. Dalam simulasi harus tergambar jelas keuntungan yang akan diperoleh pemprovsu, 10 pemerintah kabupaten/kota dan dampaknya bagi masyarakat, pasca pengambilalihan pada 2013 mendatang.

“Dengan begitu, pemerintah bisa memperhitungkan keuntungannya dan mempertimbangkan apakah dengan keuntungan yang telah dihitung tadi memang layak untuk diterima,” kata Hidayatullah, kemarin (6/7).

Hingga 2013 mendatang, Jepang tepat berkuasa di PT Inalum selama 30 tahun. “Nah, jika kita harus menutupi utang dengan keuntungan dari saham yang relatif kecil selama 30 tahun mendatang lagi misalnya, kapan lagi pemprovsu dan 10 pemkab/kota merasakan keuntungan untuk mensejahterakan masyarakat sekitar,” ujar Hidayatullah.

Untuk simulasi ini, menurut Hidayatullah, semua bisa dihitung karena data-data yang dibutuhkan untuk memperhitungkan keuntungan dari saham tersebut ada di perusahaan dan di pemerintahan.
Membicarakan masalah lain, Hidayatullah mengkritisi prinsip pemerintah Indonesia yang sangat senang dengan ‘komisi.’ Menurutnya, bahan baku untuk menghasilkan lempengan alumunium ini (alumunia, red) terdapat banyak di Bumi Indonesia.

“Namun, selama ini kita mengimpornya dari Australia. Sementara, hasil pembicaraan dari sebagian orang dari PT Inalum yang sempat kami lakukan, mereka mengaku Alumunia ini memang diimpor dari Australia. Namun, ternyata Alumunia ini banyak dihasilkan di Kalimantan, dan anehnya juga diekspor ke Australia oleh Indonesia,” ungkapnya.

Ini disebabkan, tuturnya lagi, karena pemerintah kita yang doyan ‘komisi.’ “Karenanya, biar harga mahal dibeli dari luar negeri, yang penting ada komisi buat dia. Satu lagi yang menjadi permasalahan, pemerintah saat ini memang merasa untuk membuat satu pabrik penghasil Alumunia atau pabrik-pabrik lain penghasil bahan baku yang SDA-nya banyak di Indonesia ini, dirasa lebih ‘ribet’ prosesnya. Padahal jika sudah ada pabriknya, tentunya harganya akan lebih murah,” kata Hidayatullah.

Sementara itu, anggota Pansus PT Inalum dari DPRD Sumut Amsal menjelaskan, dengan menjaga kelestarian habitat hutan di sekitar PLTA, atau lebih tepatnya Sungai Asahan tersebut, maka PLTA bisa menjadi investasi yang menguntungkan bagi Pemprovsu dan 10 Kabupaten/Kota. “Karena selama debit air terjaga maka PLTA ini akan terus berjalan dan menghasilkan listrik yang cukup besar.

Nah, selama ini, listrik hasil dari PLTA digunakan lebih banyak untuk mengelola PT Inalum, baik proses penghasilan Alumunium, maupun untuk kebutuhan proyek sehari-hari. Tentunya dengan bayaran listrik yang lebih murah,” jelasnya.

Bukan tak mungkin, sambung Amsal, kita menjadikan PLTA tersebut sebagai investasi jangka panjang. Karena menurutnya, dengan menaikkan tarif listrik sesuai standar baik untuk PT Inalum maupun untuk masyarakat Sumut secara umum, merupakan pemasukan yang cukup besar dan merupakan keuntungan yang nantinya bisa dialokasikan untuk mensejahterakan masyarakat sekitar. (sam/saz)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/