30 C
Medan
Monday, July 1, 2024

Dari Tiongkok Hasilkan Varietas Unggul Baru

Kelompok pertama adalah sorgum pahat yang memiliki tinggi batang 1,58 meter. Sorgum ini jauh lebih pendek daripada sorgum lokal yang ditanam petani di Indonesia. Tinggi sorgum lokal yang ditanam petani bisa mencapai lebih dari 2 meter.

Kelompok kedua adalah sorgum dengan tinggi sekitar 1 meter. Sorgum ini belum diberi nama resmi. Masih diberi kode sorgum galur G5, G7, dan G8. Tiga jenis sorgum tersebut sedang didaftarkan ke Kementan untuk mendapatkan sertifikat layak tanam secara masal.

Menurut Soeranto, sorgum yang memiliki tinggi pohon sekitar 1 meter itu mempunyai banyak keunggulan. Di antaranya, kadar proteinnya lebih tinggi daripada sorgum pada umumnya. Selain itu, dengan tinggi pohon yang hanya 1 meter, tingkat produktivitas bijinya sangat tinggi. Sebab, energi hasil fotosintesis tidak berhamburan ke batang, tapi untuk memperbanyak biji.

Kelompok ketiga adalah mutan paling anyar yang dihasilkan Soeranto. Tinggi pohon sorgum jenis ketiga ini lebih pendek lagi, yakni sekitar 60 cm. Saat dia berdiri di tengahnya, tinggi sorgum jenis baru itu hanya sepinggangnya. “Tanpa ada teknologi radiasi nuklir, mana bisa menghasilkan jenis-jenis sorgum seperti ini,” kata ayah Osta dan Olan itu.

Soeranto menegaskan, radiasi nuklir untuk tanaman sorgum dijamin aman. Teknologi mutasi gen ini berbeda sekali dengan teknologi transgenik yang banyak mendapat penolakan. Mutasi gen adalah mengubah gen. Tetapi, gen yang diubah masih gen tanaman itu sendiri. Sedangkan transgenik adalah memasukkan gen dari makhluk hidup lain.

Doktor lulusan universitas pertanian di Norwegia itu mencontohkan produk kedelai transgenik. Kedelai tersebut disuntik gen dari tanaman lain yang memiliki kemampuan terhadap obat pembunuh gulma. Sehingga ketika petani menyemprotkan obat antigulma di ladang kedelai, hanya gulmanya yang mati, sedangkan kedelainya tetap hidup.

Dengan kecanggihan teknologi pemuliaan tanaman sorgum itu, Batan kini menjadi rujukan pelatihan yang dilaksanakan Badan Energi Atom Internasional (International Atomic Energy Agency/IAEA). Misalnya, dalam beberapa tahun ini, banyak ahli sorgum dari Afrika yang ditugaskan belajar ke Batan. Di antaranya dari Burkina Faso, Tanzania, dan Mozambik. Ada juga peneliti dari Sri Lanka, Mongolia, Laos, dan Myanmar.

Menurut Soeranto, di negara-negara itu sorgum menjadi bahan makanan utama. Sehingga mereka tertarik dengan pengembangan tanaman sorgum berbasis nuklir di Indonesia.

Soeranto bangga karena saat ini semakin banyak perusahaan yang berminat menanam sorgum. Khususnya sorgum pahat, seperti yang ditanam di Jombang dan Bogor. Bahkan, di Bogor sudah ada perusahaan yang khusus menjual olahan makanan berbahan dasar sorgum hasil riset Batan. (*/c10/c9/ari/jpg/ril)

Kelompok pertama adalah sorgum pahat yang memiliki tinggi batang 1,58 meter. Sorgum ini jauh lebih pendek daripada sorgum lokal yang ditanam petani di Indonesia. Tinggi sorgum lokal yang ditanam petani bisa mencapai lebih dari 2 meter.

Kelompok kedua adalah sorgum dengan tinggi sekitar 1 meter. Sorgum ini belum diberi nama resmi. Masih diberi kode sorgum galur G5, G7, dan G8. Tiga jenis sorgum tersebut sedang didaftarkan ke Kementan untuk mendapatkan sertifikat layak tanam secara masal.

Menurut Soeranto, sorgum yang memiliki tinggi pohon sekitar 1 meter itu mempunyai banyak keunggulan. Di antaranya, kadar proteinnya lebih tinggi daripada sorgum pada umumnya. Selain itu, dengan tinggi pohon yang hanya 1 meter, tingkat produktivitas bijinya sangat tinggi. Sebab, energi hasil fotosintesis tidak berhamburan ke batang, tapi untuk memperbanyak biji.

Kelompok ketiga adalah mutan paling anyar yang dihasilkan Soeranto. Tinggi pohon sorgum jenis ketiga ini lebih pendek lagi, yakni sekitar 60 cm. Saat dia berdiri di tengahnya, tinggi sorgum jenis baru itu hanya sepinggangnya. “Tanpa ada teknologi radiasi nuklir, mana bisa menghasilkan jenis-jenis sorgum seperti ini,” kata ayah Osta dan Olan itu.

Soeranto menegaskan, radiasi nuklir untuk tanaman sorgum dijamin aman. Teknologi mutasi gen ini berbeda sekali dengan teknologi transgenik yang banyak mendapat penolakan. Mutasi gen adalah mengubah gen. Tetapi, gen yang diubah masih gen tanaman itu sendiri. Sedangkan transgenik adalah memasukkan gen dari makhluk hidup lain.

Doktor lulusan universitas pertanian di Norwegia itu mencontohkan produk kedelai transgenik. Kedelai tersebut disuntik gen dari tanaman lain yang memiliki kemampuan terhadap obat pembunuh gulma. Sehingga ketika petani menyemprotkan obat antigulma di ladang kedelai, hanya gulmanya yang mati, sedangkan kedelainya tetap hidup.

Dengan kecanggihan teknologi pemuliaan tanaman sorgum itu, Batan kini menjadi rujukan pelatihan yang dilaksanakan Badan Energi Atom Internasional (International Atomic Energy Agency/IAEA). Misalnya, dalam beberapa tahun ini, banyak ahli sorgum dari Afrika yang ditugaskan belajar ke Batan. Di antaranya dari Burkina Faso, Tanzania, dan Mozambik. Ada juga peneliti dari Sri Lanka, Mongolia, Laos, dan Myanmar.

Menurut Soeranto, di negara-negara itu sorgum menjadi bahan makanan utama. Sehingga mereka tertarik dengan pengembangan tanaman sorgum berbasis nuklir di Indonesia.

Soeranto bangga karena saat ini semakin banyak perusahaan yang berminat menanam sorgum. Khususnya sorgum pahat, seperti yang ditanam di Jombang dan Bogor. Bahkan, di Bogor sudah ada perusahaan yang khusus menjual olahan makanan berbahan dasar sorgum hasil riset Batan. (*/c10/c9/ari/jpg/ril)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/