25 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Paling Diburu Kolonial Belanda

Foto: repro/Wanhar/JPNN Rumah adat Padang dijepret sekitar tahun 1900-1910 lalu.
Foto: repro/Wanhar/JPNN
Rumah adat Padang dijepret sekitar tahun 1900-1910 lalu.

NAMA Si Patai mulai berkibar pada 1908 ketika memimpin rakyat Padang menolak bayar pajak. Sebelumnya ia dikenal sebagai penjahat nomor wahid.

Wenri Wanhar – JPNN

Merasa sudah berkuasa, pemerintah Hindia Belanda mulai berulah. 21 Februari 1908 mereka mengumumkan kebijakan baru yang akan segera diberlakukan di Ranah Minang. Yakni belasting (pajak).

Para Mantri, Dubalang, Kepala Nagari dan Penghulu dikumpulkan. Disosialisasikan pemberlakuan hoofd belasting (pajak kepala), inkomsten belasting (pajak pemasukan suatu barang/cukai), hedendisten (pajak rodi), wins belasting (pajak kemenangan/keuntungan), dan slach belasting (pajak penyembelihan).

Juga meubels belasting (pajak rumah tangga), tabak belasting (pajak tembakau) hingga adat huizen belasting (pajak rumah adat). Tak tanggung-tanggung, tanah yang bagi urang awak adalah pusako bundo pun dikenai pajak; landrente (pajak tanah). Maka aturan baru yang mulai diberlakukan pada 1 Maret 1908 itu mendapat tantangan.

Rakyat Minang di nagari Air Bangis, Painan dan Padang Panjang mengeluarkan resolusi penentangan. Luhak Agam tidak memenuhi undangan Kepala Laras menghadiri sosialisasi belasting.

Ada juga yang unjuk rasa ke kantor Asisten Residen di Bukittinggi. Blanko pembayaran belasting yang diserahkan dirobek rakyat. Di Manggopoh, sepasukan kavaleri Belanda yang mendirikan posko untuk melancarkan kebijakan ini dibantai. Di Padang, pemberontakan pajak dipimpin oleh Si Patai, dari kalangan dunia hitam.

“Si Patai,” menurut Rusli Amran, wartawan-cum-sejarawan kelahiran Padang, 14 September 1922 yang meneliti meneliti koran-koran yang terbit di Padang pada masa kolonial, antara lain De Padanger, Nieuw Padangsch Handelsblad, Padang Nieuws en Handelsblad, Sinar Sumatra, Sumatra Bode, Sumatra Courant, Sumatra’s Nieuwsblad dan Tjaja Sumatra, “ada di urutan paling atas dalam daftar polisi semenjak awal abad ini,” tulisnya dalam buku Padang Riwayatmu Dulu.

Awal abad ini yang dimaksud tersebut adalah awal abad 20. Yakni bermula tahun 1900-an. Aturan belasting membuat Si Patai mengamuk. Dia memimpin keributan di Pauh. Membunuh beberapa pegawai pemerintah. Tak sampai di situ. Gerombolan Si Patai pun bergerak memasuki Kota Padang, pusat pemerintahan kolonial Belanda.

Saat dihadang, entah dari mana dapatnya, mereka melemparkan bom ke arah aparat. “Untung mereka masih bisa dihalau dekat Alai,” begitu tulis surat kabar pada waktu itu, sebagaimana dicuplik Rusli Amran.

Si Patai buron. “Bersama Buyuang Tupang, Palalok dan Sampan, nama Si Patai dikategorikan Belanda tidak saja sebagai penjahat biasa, tetapi termasuk orang-orang yang menentang pemerintahan jajahan,” ungkapnya.

Perburuan Si Patai dipimpin Bariun Sutan Batang Taris, Mantri Polisi Padang.

Foto: repro/Wanhar/JPNN Rumah adat Padang dijepret sekitar tahun 1900-1910 lalu.
Foto: repro/Wanhar/JPNN
Rumah adat Padang dijepret sekitar tahun 1900-1910 lalu.

NAMA Si Patai mulai berkibar pada 1908 ketika memimpin rakyat Padang menolak bayar pajak. Sebelumnya ia dikenal sebagai penjahat nomor wahid.

Wenri Wanhar – JPNN

Merasa sudah berkuasa, pemerintah Hindia Belanda mulai berulah. 21 Februari 1908 mereka mengumumkan kebijakan baru yang akan segera diberlakukan di Ranah Minang. Yakni belasting (pajak).

Para Mantri, Dubalang, Kepala Nagari dan Penghulu dikumpulkan. Disosialisasikan pemberlakuan hoofd belasting (pajak kepala), inkomsten belasting (pajak pemasukan suatu barang/cukai), hedendisten (pajak rodi), wins belasting (pajak kemenangan/keuntungan), dan slach belasting (pajak penyembelihan).

Juga meubels belasting (pajak rumah tangga), tabak belasting (pajak tembakau) hingga adat huizen belasting (pajak rumah adat). Tak tanggung-tanggung, tanah yang bagi urang awak adalah pusako bundo pun dikenai pajak; landrente (pajak tanah). Maka aturan baru yang mulai diberlakukan pada 1 Maret 1908 itu mendapat tantangan.

Rakyat Minang di nagari Air Bangis, Painan dan Padang Panjang mengeluarkan resolusi penentangan. Luhak Agam tidak memenuhi undangan Kepala Laras menghadiri sosialisasi belasting.

Ada juga yang unjuk rasa ke kantor Asisten Residen di Bukittinggi. Blanko pembayaran belasting yang diserahkan dirobek rakyat. Di Manggopoh, sepasukan kavaleri Belanda yang mendirikan posko untuk melancarkan kebijakan ini dibantai. Di Padang, pemberontakan pajak dipimpin oleh Si Patai, dari kalangan dunia hitam.

“Si Patai,” menurut Rusli Amran, wartawan-cum-sejarawan kelahiran Padang, 14 September 1922 yang meneliti meneliti koran-koran yang terbit di Padang pada masa kolonial, antara lain De Padanger, Nieuw Padangsch Handelsblad, Padang Nieuws en Handelsblad, Sinar Sumatra, Sumatra Bode, Sumatra Courant, Sumatra’s Nieuwsblad dan Tjaja Sumatra, “ada di urutan paling atas dalam daftar polisi semenjak awal abad ini,” tulisnya dalam buku Padang Riwayatmu Dulu.

Awal abad ini yang dimaksud tersebut adalah awal abad 20. Yakni bermula tahun 1900-an. Aturan belasting membuat Si Patai mengamuk. Dia memimpin keributan di Pauh. Membunuh beberapa pegawai pemerintah. Tak sampai di situ. Gerombolan Si Patai pun bergerak memasuki Kota Padang, pusat pemerintahan kolonial Belanda.

Saat dihadang, entah dari mana dapatnya, mereka melemparkan bom ke arah aparat. “Untung mereka masih bisa dihalau dekat Alai,” begitu tulis surat kabar pada waktu itu, sebagaimana dicuplik Rusli Amran.

Si Patai buron. “Bersama Buyuang Tupang, Palalok dan Sampan, nama Si Patai dikategorikan Belanda tidak saja sebagai penjahat biasa, tetapi termasuk orang-orang yang menentang pemerintahan jajahan,” ungkapnya.

Perburuan Si Patai dipimpin Bariun Sutan Batang Taris, Mantri Polisi Padang.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/