27 C
Medan
Wednesday, December 4, 2024
spot_img

Kenaikan Tarif Tol Bisa Dongkrak Harga Barang

Ia menambahkan, persoalan bukan pada kenaikan Rp500 hingga Rp1.500 itu tetapi aspek daya beli masyarakat yang saat ini semakin menurun. “Masak di saat daya beli masyarakat rendah, tarif tol justru naik. Jadi kurang pas kami anggap kebijakan tersebut,” pungkasnya.

Sementara, pengamat ekonomi Sumut, Gunawan Benjamin menilai, dalam kalkulasi bisnis, kenaikan tarif yang disesuaikan mengacu kepada besaran inflasi tersebut sudah benar. Artinya, tren kenaikan harga juga akan memberikan imbas pada perusahaan untuk menaikkan pendapatan.

Akan tetapi, pasti ada penolakan tentunya, khususnya bagi pengguna jalan tol. Namun, hal ini wajar karena memang kenaikan ini sudah barang pasti akan membebani pengguna jalan tol khususnya bagi dunia usaha. “Menurut saya, dampaknya itu kecil sekali, karena kontribusi ke inflasinya kurang dari 0,03 persen. Kenaikan tarif tol berkisar Rp500 hingga Rp1.500 belum akan memberikan dampak multiplier besar bagi kenaikan produk barang dan jasa,” sebut Gunawan.

Dia menambahkan, harapannya dengan kenaikan ini ada perbaikan pelayanan yang diberikan. Mulai dari infrastruktur pendukung yang mumpuni, hingga tidak ada macet saat masuk maupun keluar dari jalan tol. Hal itu yang bisa dijadikan kompensasi kenaikan tarif saat ini.

Sementara pengamat transportasi Medis Sejahtera Surbakti menilai, kenaikan tarif tol Belmera sudah pantas diterapkan. “Kalau bisa dikatakan, tarif tol kita (Belmera) adalah yang termurah antara ruas tol lain di Indonesia. Jadi, saya pikir wajar bila tahun ini ada kenaikan,” katanya kepada Sumut Pos, Kamis (7/12).

Ia menjelaskan, jawaban klasik atas kenaikan tarif tol Belmera tentu mengacu pada peningkatan pelayanan oleh Jasa Marga selaku leading sector. “Saya pikir kenaikan ini juga telah direncanakan sebelumnya. Sudah ada kajiannya. Tinggal lagi peningkatan pelayanan yang lebih maksimal dilakukan,” katanya.

Namun, satu hal yang ia soroti saat ini, soal penggunaan kartu tol elektronik (e-Toll) yang justru membuat crowded pada pintu masuk gerbang tol. “Ketimbang kalau dulu ketika dijaga petugas, orang kan tinggal ambil kartu. Sekarangkan tidak, harus lengket betul kartu tersebut. Itu pun harus benar-benar lengket, kalau tidak gak baca (terbuka portal),” katanya.

Ia membandingkan seperti di Malaysia, dimana ada layanan yang tak perlu melengketkan kartu. Menurutnya sistem tersebut lebih mahal untuk dibangun di Indonesia. “Maunya disediakan juga sehingga bisa memudahkan masyarakat. Kemudian antrean bisa berkurang lebih banyak dan khusus pada gardu/gerbang tol otomatis diperbanyak lagi atau diganti alatnya, sehingga bisa memberi pelayanan lebih baik,” kata Ketua Departemen Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara (USU) ini.

Ia menambahkan, persoalan bukan pada kenaikan Rp500 hingga Rp1.500 itu tetapi aspek daya beli masyarakat yang saat ini semakin menurun. “Masak di saat daya beli masyarakat rendah, tarif tol justru naik. Jadi kurang pas kami anggap kebijakan tersebut,” pungkasnya.

Sementara, pengamat ekonomi Sumut, Gunawan Benjamin menilai, dalam kalkulasi bisnis, kenaikan tarif yang disesuaikan mengacu kepada besaran inflasi tersebut sudah benar. Artinya, tren kenaikan harga juga akan memberikan imbas pada perusahaan untuk menaikkan pendapatan.

Akan tetapi, pasti ada penolakan tentunya, khususnya bagi pengguna jalan tol. Namun, hal ini wajar karena memang kenaikan ini sudah barang pasti akan membebani pengguna jalan tol khususnya bagi dunia usaha. “Menurut saya, dampaknya itu kecil sekali, karena kontribusi ke inflasinya kurang dari 0,03 persen. Kenaikan tarif tol berkisar Rp500 hingga Rp1.500 belum akan memberikan dampak multiplier besar bagi kenaikan produk barang dan jasa,” sebut Gunawan.

Dia menambahkan, harapannya dengan kenaikan ini ada perbaikan pelayanan yang diberikan. Mulai dari infrastruktur pendukung yang mumpuni, hingga tidak ada macet saat masuk maupun keluar dari jalan tol. Hal itu yang bisa dijadikan kompensasi kenaikan tarif saat ini.

Sementara pengamat transportasi Medis Sejahtera Surbakti menilai, kenaikan tarif tol Belmera sudah pantas diterapkan. “Kalau bisa dikatakan, tarif tol kita (Belmera) adalah yang termurah antara ruas tol lain di Indonesia. Jadi, saya pikir wajar bila tahun ini ada kenaikan,” katanya kepada Sumut Pos, Kamis (7/12).

Ia menjelaskan, jawaban klasik atas kenaikan tarif tol Belmera tentu mengacu pada peningkatan pelayanan oleh Jasa Marga selaku leading sector. “Saya pikir kenaikan ini juga telah direncanakan sebelumnya. Sudah ada kajiannya. Tinggal lagi peningkatan pelayanan yang lebih maksimal dilakukan,” katanya.

Namun, satu hal yang ia soroti saat ini, soal penggunaan kartu tol elektronik (e-Toll) yang justru membuat crowded pada pintu masuk gerbang tol. “Ketimbang kalau dulu ketika dijaga petugas, orang kan tinggal ambil kartu. Sekarangkan tidak, harus lengket betul kartu tersebut. Itu pun harus benar-benar lengket, kalau tidak gak baca (terbuka portal),” katanya.

Ia membandingkan seperti di Malaysia, dimana ada layanan yang tak perlu melengketkan kartu. Menurutnya sistem tersebut lebih mahal untuk dibangun di Indonesia. “Maunya disediakan juga sehingga bisa memudahkan masyarakat. Kemudian antrean bisa berkurang lebih banyak dan khusus pada gardu/gerbang tol otomatis diperbanyak lagi atau diganti alatnya, sehingga bisa memberi pelayanan lebih baik,” kata Ketua Departemen Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara (USU) ini.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/