Selama Ombudsman Sumut melaksanakan pengawasan sesuai tata tertib yang ada maka sah-sah saja. Sebab Ombudsman tidak berhak melakukan penyidikan. “Masing-masing punya tupoksi. Polisi punya tupolsi, Ombudsman punya tupolsi, dan penyelenggara UN juga punya tupoksi. Ombudsman tupiksinya sebagai pengawas pelayananan publik. Agar jangan sampai ada diskriminasi dan ada kepentingan masyarakat yang dirugikan,”ujarnya. Untuk itu pihaknya juga meminta agar Ombudsman memberikan laporan yang komprehensif dan akurat. Agar kemudian bisa disampaikan kepada BSNP. Pihaknya menjamin pasti akan ada tindakan dan perbaikan.
Dirinya menjelaskan ketika ada laporan dari polisi bahwa memang terjadi kebocoran, maka kita akan lakukan ujian ulang. Namun bukan seluruh Indonesia akan dilakukan pelaksanaan ujian ulang. Pihaknya akan melakukan lokalisir dimana tepatnya terjadinya kecurangan tersebut. Dirinya juga menyayangkan bahwa Ombudsman seharusnya melaporkan ke polisi langsung dan bukannya pada pers.
“Jadi polisi bisa langsung megusut. Kalu terjadi kecurangan di satu sekolah misalnya, maka kita cari lagi di ruangan berapa kecurangan tersebut terjadi. Jangan sampai anak jadi koban,”ungkapnya. Pihaknya juga akan melakukan analisis tingkat kecurangan di sekolah-sekolah seluruh Indonesia yang disebut tingkat integritas. Ini terlepas dari ada atau tidaknya kebocoran kunci jawaban. Jika integritas tinggi maka tingkat kecurangan rendah. Sebaliknya jika integritas rendah maka kecurangan akan tinggi. Nantinya hasil itu akan disampaikan ke perguruan tinggi agar tak terkecoh dengan nilai UN yang tinggi. Disebutkannya juga faktor otonomi daerah di Indonesia menyebabkan pendidikan juga ikut diotonomikan. Di Indonesia hasil UN masih dijadikan pengukur kinerja Walikota dan Bupati. Bukannya menjadi isu strategis pembangunan negara yang dipegang oleh emerintah pusat. Tidak seperti Malaysia yang menjadikn pendidikan ditangani langsung pemerintah pusat. (win/deo)