26.7 C
Medan
Sunday, May 19, 2024

Pembantu Rektor V: Citra USU Bisa Negatif

MEDAN- Pembantu Rektor (PR) V Universitas Sumatera Utara (USU), Ir  Yusuf Husni merasa gerah dengan pemberitaan mengenai kasus dugaan korupsi anggaran Dikti 2010. Dia mengaggap segala pemberitaan miring belakangan ini dapat menimbulkan citra negatif tentang kampus plat merah tersebut.

“Seandainya terus menerus pemberitaan miring soal USU diekspos, maka lambat laun kampus kebanggaan warga Sumatera Utara ini akan tidak baik. Apalagi yang mau kita banggakan jika nama USU sudah tidak baik lagi ditengah-tengah masyarakat,” ujar Yusuf Husni saat dihubungi Sumut Pos, Kamis (9/7) siang kemarin.

Hal itu ia kemukakan saat Sumut Pos ingin mengonfirmasi soal mekanisme pengadaan peralatan yang selama ini dijalankan oleh USU, terutama yang menyangkut pada Fakultas Ilmu Budaya dan Fakultas Farmasi USU. Apalagi mengingat jabatan Yusuf Husni sebagai PR V USU, yang membidangi aset dan perlengkapan di kampus tersebut. Namun, dia enggan mengomentari. Dia mengatakan sebaiknya hal itu dijawab oleh bagian humas USU, melalui Kabag Humas Bisru Hafi. “Ke humas saja ditanyakan agar lebih jelas,” kilahnya.

Dia menyebutkan sejauh ini belum ada keputusan apa-apa tentang hasil pemeriksaan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) beberapa waktu lalu. “Makanya saya bilang tadi segala perkembangannya ditanya saja ke bagian humas,” ujarnya.

Diminta Membuka Diri

Menyikapi pernyataan PR V USU, Direktur Eksekutif Fitra Sumut, Rurita Ningrum meminta USU membuka diri perihal dugaan korupsi yang tengah menjadi sorotan publik. Pasalnya, Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) yang dewasa ini diterapkan dinilai tidak serta merta dapat dipantau setiap saat. Untuk itu diperlukan kebesaran hati guna menjelaskan segala sesuatunya kepada masyarakat.

Menurut Ruri, sapaan akrab Rurita Ningrum, sebenarnya melalui sistem elektronik semua pihak berharap dapat meminimalisir terjadinya korupsi. Karena dalam strateginya antara penyelenggara dan pemborong tidak melakukan kontak secara langsung, namun pada kenyataannya malah terjadi kongkalikong. Alhasil mekanisme itu justru semakin sulit diungkap kebenarannya.

“Sistem yang dibangun sebenarnya sudah baik. Tidak ada yang salah dengan sistem elektronik itu. Tetapi kita tidak menutup mata jika terdapat oknum tertentu yang memiliki proyek di sana (USU),” bebernya.

Dengan demikian Ruri berharap agar USU dapat transparan tidak hanya secara elektronik, melainkan ada pemberitahuan kepada mahasiswa melalui mading-mading tentang suatu pengadaan yang sedang dilakukan. Baik soal perencanaan, anggaran, rekanan dan lain-lain yang berkenaan dengan yang dimaksud.

Lebih lanjut, Ruri mengatakan, khusus institusi perguruan tinggi negeri (PTN) memang cukup sulit ditelusuri adanya tindak pidana korupsi didalamnya. “Sebab, pengusaha atau pemborong di sana sudah rekanan. Apalagi melalui sistem elektronik di mana nama perusahaannya dapat didaftarkan terlebih dahulu. Saya kira kalau hal itu (transparansi) dapat dilakukan oleh USU melalui metode dengan menempel informasi di dinding, kita akan mengapresiasi. Karena sistem pengadaan dan tender secara elektronik ini sudah tidak memungkinkan kita melihat kongkalikong antara penyelenggara dan pengusaha. Apalagi panitia senang dengan sistem ini karena lebih nyaman bermain,” bebernya.

Di sisi lain, Fitra menilai, item yang paling empuk di korupsi selain di bidang pendidikan adalah bidang kesehatan dan infrastruktur. Sebab dari proses perencanaan saja, sudah diproyeksikan untuk di korupsi. Akan tetapi, berapa persen anggaran tersebut mampu diminimalisir kebocorannya.

Hematnya, permainan di level bawah USU lebih halus. Sumber dana hibah yang begitu besar didapatkan, nyaris tidak diketahui masyarakat. Untuk itu ia mengajak supaya transparansi anggaran dimulai dari dunia pendidikan. Meski dirinya tidak bisa mengatakan ada dugaan yang mengarah ke rektor, namun Ruri menyarankan jika rektor ingin lebih terbuka terhadap sesuatu yang janggal di kampusnya supaya membuka diri.

“Ayo kita mulai untuk transparan dari lembaga pendidikan. Tidak harus ngomong di media, seperti menempel informasi di dinding-dinding kampus saja, itu juga sudah menunjukkan sikap terbuka terhadap masyarakat,” pungkasnya. (mag-6/rbb)

MEDAN- Pembantu Rektor (PR) V Universitas Sumatera Utara (USU), Ir  Yusuf Husni merasa gerah dengan pemberitaan mengenai kasus dugaan korupsi anggaran Dikti 2010. Dia mengaggap segala pemberitaan miring belakangan ini dapat menimbulkan citra negatif tentang kampus plat merah tersebut.

“Seandainya terus menerus pemberitaan miring soal USU diekspos, maka lambat laun kampus kebanggaan warga Sumatera Utara ini akan tidak baik. Apalagi yang mau kita banggakan jika nama USU sudah tidak baik lagi ditengah-tengah masyarakat,” ujar Yusuf Husni saat dihubungi Sumut Pos, Kamis (9/7) siang kemarin.

Hal itu ia kemukakan saat Sumut Pos ingin mengonfirmasi soal mekanisme pengadaan peralatan yang selama ini dijalankan oleh USU, terutama yang menyangkut pada Fakultas Ilmu Budaya dan Fakultas Farmasi USU. Apalagi mengingat jabatan Yusuf Husni sebagai PR V USU, yang membidangi aset dan perlengkapan di kampus tersebut. Namun, dia enggan mengomentari. Dia mengatakan sebaiknya hal itu dijawab oleh bagian humas USU, melalui Kabag Humas Bisru Hafi. “Ke humas saja ditanyakan agar lebih jelas,” kilahnya.

Dia menyebutkan sejauh ini belum ada keputusan apa-apa tentang hasil pemeriksaan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) beberapa waktu lalu. “Makanya saya bilang tadi segala perkembangannya ditanya saja ke bagian humas,” ujarnya.

Diminta Membuka Diri

Menyikapi pernyataan PR V USU, Direktur Eksekutif Fitra Sumut, Rurita Ningrum meminta USU membuka diri perihal dugaan korupsi yang tengah menjadi sorotan publik. Pasalnya, Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) yang dewasa ini diterapkan dinilai tidak serta merta dapat dipantau setiap saat. Untuk itu diperlukan kebesaran hati guna menjelaskan segala sesuatunya kepada masyarakat.

Menurut Ruri, sapaan akrab Rurita Ningrum, sebenarnya melalui sistem elektronik semua pihak berharap dapat meminimalisir terjadinya korupsi. Karena dalam strateginya antara penyelenggara dan pemborong tidak melakukan kontak secara langsung, namun pada kenyataannya malah terjadi kongkalikong. Alhasil mekanisme itu justru semakin sulit diungkap kebenarannya.

“Sistem yang dibangun sebenarnya sudah baik. Tidak ada yang salah dengan sistem elektronik itu. Tetapi kita tidak menutup mata jika terdapat oknum tertentu yang memiliki proyek di sana (USU),” bebernya.

Dengan demikian Ruri berharap agar USU dapat transparan tidak hanya secara elektronik, melainkan ada pemberitahuan kepada mahasiswa melalui mading-mading tentang suatu pengadaan yang sedang dilakukan. Baik soal perencanaan, anggaran, rekanan dan lain-lain yang berkenaan dengan yang dimaksud.

Lebih lanjut, Ruri mengatakan, khusus institusi perguruan tinggi negeri (PTN) memang cukup sulit ditelusuri adanya tindak pidana korupsi didalamnya. “Sebab, pengusaha atau pemborong di sana sudah rekanan. Apalagi melalui sistem elektronik di mana nama perusahaannya dapat didaftarkan terlebih dahulu. Saya kira kalau hal itu (transparansi) dapat dilakukan oleh USU melalui metode dengan menempel informasi di dinding, kita akan mengapresiasi. Karena sistem pengadaan dan tender secara elektronik ini sudah tidak memungkinkan kita melihat kongkalikong antara penyelenggara dan pengusaha. Apalagi panitia senang dengan sistem ini karena lebih nyaman bermain,” bebernya.

Di sisi lain, Fitra menilai, item yang paling empuk di korupsi selain di bidang pendidikan adalah bidang kesehatan dan infrastruktur. Sebab dari proses perencanaan saja, sudah diproyeksikan untuk di korupsi. Akan tetapi, berapa persen anggaran tersebut mampu diminimalisir kebocorannya.

Hematnya, permainan di level bawah USU lebih halus. Sumber dana hibah yang begitu besar didapatkan, nyaris tidak diketahui masyarakat. Untuk itu ia mengajak supaya transparansi anggaran dimulai dari dunia pendidikan. Meski dirinya tidak bisa mengatakan ada dugaan yang mengarah ke rektor, namun Ruri menyarankan jika rektor ingin lebih terbuka terhadap sesuatu yang janggal di kampusnya supaya membuka diri.

“Ayo kita mulai untuk transparan dari lembaga pendidikan. Tidak harus ngomong di media, seperti menempel informasi di dinding-dinding kampus saja, itu juga sudah menunjukkan sikap terbuka terhadap masyarakat,” pungkasnya. (mag-6/rbb)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/