27.8 C
Medan
Monday, May 20, 2024

Jika Dipaksa Tarif Rapid Test Maksimal Rp150 Ribu, Rumah Sakit Bakal Hentikan Pelayanan

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kebijakan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) membatasi tarif rapid test sebesar Rp150.000 menjadi pembahasan serius di kalangan rumah sakit. Sebab, rumah sakit selaku pelaksana rapid test mengaku tidak mampu bila mengikuti tarif yang ditetapkan Kemenkes itu.

“Mereka (rumah sakit) enggak sanggup sepertinya melaksanakan itu. Kalau dipaksa juga, mereka akan berhenti melayani karena merasa rugi,” kata Kepala Dinas Kesehatan Sumut, dr Alwi Mujahit Hasibuan kepada wartawan, Kamis (9/7).

Alwi menyebutkan, saat ini tarif termurah rapid test yang ada, yaitu Rp250 ribu di RSU Haji Medan. Selain dari itu, banyak rumah sakit yang menerapkan tarif lebih dari Rp250 ribu, apalagi di daerah yang lokasinya jauh. “Memang banyak yang lebih dari Rp 250 ribu tarifnya. Makanya, mereka enggak sanggup kalau harus turun menjadi Rp150 ribu,” sebutnya.

Meski begitu, menurut Alwi, secara umum penetapan tarif rapid test oleh Kemenkes tentunya supaya ada penyeragaman. Namun, semestinya sebelum ditetapkan kebijakan tersebut harus dilihat lebih dahulu bagaimana situasi yang terjadi atau memberikan subsidi kepada rumah sakit. Bahkan, mengirimkan alat rapid test yang bisa dibeli dengan harga terjangkau. “Kita masih mengamati bagaimana perkembangan selanjutnya,” ujarnya.

Ia mengaku, sikap dari Dinas Kesehatan tidak bisa melakukan sanksi bila ada rumah sakit yang tidak mengikuti kebijakan Kemenkes terkait batasan tarif rapid test tertinggi. Karena, kebijakan itu melalui surat edaran sifatnya bukan kewajiban, melainkan imbauan. “Kalau rumah sakit tak ada yang sanggup, bagaimana mau kita buat. Lagi pula, sanksi juga belum ada di surat edaran tetapi paling tidak secara persuasif akan kita coba. Bila tidak bisa juga, ya akan kita lapor ke Kemenkes bagaimana tindak lanjutnya,” pungkas Alwi.

Sementara, Kasubbag Humas RSUPHAM, Rosario Dorothy Simanjuntak (Rosa) mengatakan, surat edaran Kemenkes tersebut dikeluarkan dengan latar belakang, saat ini pemerintah Indonesia sedang mengembangkan produksi alat rapid test lokal. Sebab, selama ini alat rapid test yang ada impor dari luar negeri dan harganya mahal. “Harga rapid test lokal yang sedang dikembangkan Rp75 ribu. Makanya, dikeluarkan surat edaran dengan tarif maksimal Rp150 ribu,” tutur Rosa.

Akan tetapi, sambung dia, sampai saat ini dan sudah mengecek ke prosudennya, ternyata alat rapid test lokal masih kosong. Informasinya, tersedia pada Agustus tahun ini. Oleh sebab itu, tarif yang ditetapkan masih yang lama (Rp300 ribu). “Alat rapid test lokal masih kosong, makanya tarifnya masih tetap. Kalau kita sesuaikan tarifnya, tentu rumah sakit rugi karena alat rapid test masih impor. Tapi, kalau alatnya sudah ada dari lokal, maka pasti tarifnya disesuaikan,” tukasnya.

Tak jauh beda disampaikan Kasubbag Hukum dan Humas RSUD dr Pirngadi Medan, Edison Perangin-angin. Kata Edison, pihaknya masih menetapkan tarif yang lama sebesar Rp300 ribu. Selain itu, menunggu surat edaran resmi turun dan diterima pihak rumah sakit. “Kami sifatnya mengikuti karena selaku operator,” ujar Edison.

Diketahui, Kemenkes menetapkan batas tertinggi pemeriksaan rapid test antibodi komersil untuk mendeteksi Covid-19 sebesar Rp 150.000. Hal tersebut tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor HK.02.02/I/2875/2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi Rapid Test Antibodi. Surat itu ditandatangani Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Bambang Wibowo pada 6 Juli 2020 lalu.

Menteri Koordinator (Menko) Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy mengatakan, harga untuk alat rapid test buatan dalam negeri diusulkan sebesar Rp75 ribu. “Maksimum Rp150 ribu, harga kita upayakan ditekan semakin rendah. Saya sudah sampaikan kepada kepala BPPT Rp75 ribu. Inikan bisa jadi patokan riil di lapangan, kalau ada produk yang harganya di atas ini, kan tidak laku,” terang Muhadjir melalui konferensi pers di kantornya, Kamis (9/7).

Di sisi lain, Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Bambang Wibowo menyebutkan, dengan adanya alat rapid test buatan dalam negeri dapat menekan harga pemeriksaan agar lebih murah. “Pada suasana seperti ini tadi kita melihat keberpihakan masyarakat. Kita lihat keterjangkauannya,” sebutnya.

Saat ini, alat tersebut biasanya dijual dengan harga kisaran Rp150 ribu sampai Rp250 ribu. Namun, yang pasti, di tengah kondisi seperti sekarang ini, semua pihak seperti Puskesmas dan rumah sakit harus saling memahami satu sama lain dengan menjualnya menjadi lebih murah. “Kita harus kerja bareng. Pertama, pemerintah sudah memberikan klaim yang tak kecil untuk faskes. Kedua insentif untuk tenaga kesehatan. Terus ada batas tertinggi rapid test. Jadi jangan dilihat satu sisi saja, lihat fasilitas yang diberikan pemerintah juga,” pungkasnya. (ris)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kebijakan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) membatasi tarif rapid test sebesar Rp150.000 menjadi pembahasan serius di kalangan rumah sakit. Sebab, rumah sakit selaku pelaksana rapid test mengaku tidak mampu bila mengikuti tarif yang ditetapkan Kemenkes itu.

“Mereka (rumah sakit) enggak sanggup sepertinya melaksanakan itu. Kalau dipaksa juga, mereka akan berhenti melayani karena merasa rugi,” kata Kepala Dinas Kesehatan Sumut, dr Alwi Mujahit Hasibuan kepada wartawan, Kamis (9/7).

Alwi menyebutkan, saat ini tarif termurah rapid test yang ada, yaitu Rp250 ribu di RSU Haji Medan. Selain dari itu, banyak rumah sakit yang menerapkan tarif lebih dari Rp250 ribu, apalagi di daerah yang lokasinya jauh. “Memang banyak yang lebih dari Rp 250 ribu tarifnya. Makanya, mereka enggak sanggup kalau harus turun menjadi Rp150 ribu,” sebutnya.

Meski begitu, menurut Alwi, secara umum penetapan tarif rapid test oleh Kemenkes tentunya supaya ada penyeragaman. Namun, semestinya sebelum ditetapkan kebijakan tersebut harus dilihat lebih dahulu bagaimana situasi yang terjadi atau memberikan subsidi kepada rumah sakit. Bahkan, mengirimkan alat rapid test yang bisa dibeli dengan harga terjangkau. “Kita masih mengamati bagaimana perkembangan selanjutnya,” ujarnya.

Ia mengaku, sikap dari Dinas Kesehatan tidak bisa melakukan sanksi bila ada rumah sakit yang tidak mengikuti kebijakan Kemenkes terkait batasan tarif rapid test tertinggi. Karena, kebijakan itu melalui surat edaran sifatnya bukan kewajiban, melainkan imbauan. “Kalau rumah sakit tak ada yang sanggup, bagaimana mau kita buat. Lagi pula, sanksi juga belum ada di surat edaran tetapi paling tidak secara persuasif akan kita coba. Bila tidak bisa juga, ya akan kita lapor ke Kemenkes bagaimana tindak lanjutnya,” pungkas Alwi.

Sementara, Kasubbag Humas RSUPHAM, Rosario Dorothy Simanjuntak (Rosa) mengatakan, surat edaran Kemenkes tersebut dikeluarkan dengan latar belakang, saat ini pemerintah Indonesia sedang mengembangkan produksi alat rapid test lokal. Sebab, selama ini alat rapid test yang ada impor dari luar negeri dan harganya mahal. “Harga rapid test lokal yang sedang dikembangkan Rp75 ribu. Makanya, dikeluarkan surat edaran dengan tarif maksimal Rp150 ribu,” tutur Rosa.

Akan tetapi, sambung dia, sampai saat ini dan sudah mengecek ke prosudennya, ternyata alat rapid test lokal masih kosong. Informasinya, tersedia pada Agustus tahun ini. Oleh sebab itu, tarif yang ditetapkan masih yang lama (Rp300 ribu). “Alat rapid test lokal masih kosong, makanya tarifnya masih tetap. Kalau kita sesuaikan tarifnya, tentu rumah sakit rugi karena alat rapid test masih impor. Tapi, kalau alatnya sudah ada dari lokal, maka pasti tarifnya disesuaikan,” tukasnya.

Tak jauh beda disampaikan Kasubbag Hukum dan Humas RSUD dr Pirngadi Medan, Edison Perangin-angin. Kata Edison, pihaknya masih menetapkan tarif yang lama sebesar Rp300 ribu. Selain itu, menunggu surat edaran resmi turun dan diterima pihak rumah sakit. “Kami sifatnya mengikuti karena selaku operator,” ujar Edison.

Diketahui, Kemenkes menetapkan batas tertinggi pemeriksaan rapid test antibodi komersil untuk mendeteksi Covid-19 sebesar Rp 150.000. Hal tersebut tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor HK.02.02/I/2875/2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi Rapid Test Antibodi. Surat itu ditandatangani Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Bambang Wibowo pada 6 Juli 2020 lalu.

Menteri Koordinator (Menko) Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy mengatakan, harga untuk alat rapid test buatan dalam negeri diusulkan sebesar Rp75 ribu. “Maksimum Rp150 ribu, harga kita upayakan ditekan semakin rendah. Saya sudah sampaikan kepada kepala BPPT Rp75 ribu. Inikan bisa jadi patokan riil di lapangan, kalau ada produk yang harganya di atas ini, kan tidak laku,” terang Muhadjir melalui konferensi pers di kantornya, Kamis (9/7).

Di sisi lain, Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Bambang Wibowo menyebutkan, dengan adanya alat rapid test buatan dalam negeri dapat menekan harga pemeriksaan agar lebih murah. “Pada suasana seperti ini tadi kita melihat keberpihakan masyarakat. Kita lihat keterjangkauannya,” sebutnya.

Saat ini, alat tersebut biasanya dijual dengan harga kisaran Rp150 ribu sampai Rp250 ribu. Namun, yang pasti, di tengah kondisi seperti sekarang ini, semua pihak seperti Puskesmas dan rumah sakit harus saling memahami satu sama lain dengan menjualnya menjadi lebih murah. “Kita harus kerja bareng. Pertama, pemerintah sudah memberikan klaim yang tak kecil untuk faskes. Kedua insentif untuk tenaga kesehatan. Terus ada batas tertinggi rapid test. Jadi jangan dilihat satu sisi saja, lihat fasilitas yang diberikan pemerintah juga,” pungkasnya. (ris)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/