Pimpinan Medan Safety Driving Centre (MSDC) Jimmi menyebut jika sertifikat yang dikeluarkan oleh pihaknya, bukan penjamin lulus pada pengujian Surat Ijin Mengemudi (SIM). Disebut Jimmi kalau sertifikat yang dikeluarkan pihaknya itu, hanya sebagai bukti, sudah mengikuti pelatihan atau bimbingan mengemudi. Hal tersebut disampaikan Jimmi ketika dikonfirmasi Sumut Pos melalui telepon, Senin (5/9) siang.
“SIM tidak butuh sertifikat, SIM butuh orang yang memiliki keahlian. SIM itu pengujian kompetensi, yang legitimasi kompetensinya diberikan negara. Bukan gara-gara sertifikat,” ujar Jimmi singkat.
Lebih lanjut, Jimmi menyebut kelulusan uji SIM, merupakan kewenangan Polri. Dikatakan Jimmi, hal itu sesuai Undang-Undang 22 yang dikuatkan gugatan MK pada Oktober 2015, tentang kewenangan Kepolisian. Oleh karena itu, ditegaskan Jimmi jika kelulusan uji SIM, bukanlah kewenangan dirinya atau pihak swasta lainnya.
“Tugas saya itu, hanya mengajar. Kalau siswa saya tidak lulus, saya ajar lagi. Jika orang buat SIM, itu di luar kewenangan saya. Kita ini bukan sekolah mengemudi yang ngurusi SIM,” tambah Jimmi.
Oleh karena itu, Jimmi menekankan agar masyarakat berfikir jika Sekolah dengan pengurusan SIM, terpisah. Disebut Jimmi, pemikiran sekolah mengemudi dengan pengurusan SIM itu sama, karena kultur lama, di mana sekolah mengemudi akan mengurusi SIM. Oleh karena itu, disebut Jimmi kalau sekolah mengemudi, harus terakreditasi dan tidah boleh mengurusi SIM.
“Siapapun boleh buka sekolah mengemudi, namun terakreditasi. Kenapa sekolah mengemudi melayani pengurusan SIM tidak diributi, malah saya yang benar-benar sekolah, diributi,” lanjut Jimmi.
Jimmi menambahkan, tidak ada karyawan MSDC yang menarik-narik orang untuk pengurusan SIM. Disebut Jimmi, MSDC melakukan marketing berdasarkan perusahaan. Dikatakan Jimmi hal itu karena pihaknya memang hanya menyediakan pelatihan dan juga bimbingan mengemudi yang aman.
“Apakah calo-calo itu merasa terganggu. Kalau mau lulus ujian ya belajar. Bukan bayar. Sekarang diajari benar-benar kok orang pada komplain,” ujar Jimmi kesal.
Lebih jauh, Jimmi menyebut jika sekolah, yang terpenting adalah ilmunya. Disebut Jimmi, belajar mengemudi memberikan pengetahuan dan pemahaman lalu lintas. Dengan begitu, dikatakan Jimmi berguna untuk keselamatan orang. Termasuk saat pengetahuan dan pemahaman digunakan pada ujian SIM, dikatakan Jimmi akan bermanfaat.
“Mau ngikutin rakyat waras atau tidak waras. Kita harus mikir waras, SIM itu wewenang Kepolisian. Tugas saya itu, hanya mengajar, ” lanjut Jimmi.
Sebelum mengakhiri, Jimmi menyebut keselamatan berlalu lintas, sebenarnya bukan tanggung jawab MSDC.
Dikatakan Jimmi, keselamatan berlalu lintas adalah tanggung jawab pemerintah. Seharusnya pemerintah yang mengajarkan masyarakat, mengingat SIM adalah ujian.
“Pemerintah mewajibkan masyarakat untuk ujian SIM, tapi tempat belajarnya tidak ada. Ketika MSDC melihat peluang ini, pemerintah menyerang. Kenapa kamu buka sekolah kek gitu katanya. Menjadi pertanyaan saya, orang mau ikut uji SIM, belajarnya di mana, ” tambah Jimmi.
Terakhir, disebut Jimmi jika Masyarakat mengadu ke Dewan. Berdasar laporan itu disebut Jimmi kalau Dewan menyebut, harga mahal. Oleh karena itu, dikatakan Jimmi jika dirinya cukup menjawab jika MSDC adalah sekolah. Disebut Jimmi jika soal mahal atau murah, urusan jual-beli.
“Orang belajar montir Rp5 juta, belajar menjahit Rp3 juta nggak dibilang mahal. Ini sekolah mengemudi untuk nyawa, kok dibilang mahal sampai komplain. Karena orang mengganggap sebagai formalitas, ” ujar Jimi mengakhiri. (ije)