SUMUTPOS.CO – Festival Danau Toba (FDT) 2018 di Desa Silalahi 2, Kecamatan Silahisabungan, Kabupaten Dairi, menjadi yang terburuk sepanjang gelaran even tahunan tersebut. Selain minim persiapan, FDT kali ini juga minim pengunjung. Bahkan saat penutupan, tak satupun pejabat Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) dan bupati se-kawasan Danau Toba hadir di sana.
FDT 2018 yang dimulai 5 Desember, ditutup Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Dairi, Sebastianus Tinambunan, Sabtu (8/12). Penutupan berlokasi di panggung utama, lapangan Desa Silalahi 2. Biasanya, acara penutupan FDT ini selalu mampu menarik minat wisatawan berkunjung. Tapi kali ini tidak.
Bahkan, tak satu pun pejabat Pemprovsu dan bupati se-kawasan Danau Toba. Ketidakhadiran bupati-bupati ini juga terjadi saat pembukaan, kecuali Bupati Dairi Jhonny Sihotang selaku tuan rumah yang hadir. Tamu VIP yang hadir hanya Direktur Utama Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT), Arie Prasetya.
Anehnya lagi, tidak diketahui siapa yang akan menjadi tuan rumah FDT 2019. Pasalnya, saat menyampaikan pidato penutupan, Sekda Dairi Sebastianus Tinambunan sama sekali tidak menyinggung kabupaten mana yang akan menjadi tuan rumah FDT tahun depan. Seperti diketahui, tuan rumah digilir setiap tahun 7 kabupaten se-kawasan Danau Toba.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Dairi, Leonardo Sihotang menyampaikan kekecewaannya. Menurutnya, selaku tuan rumah FDT 2018, mereka tidak dilibatkan sepenuhnya oleh Dinas Pariwisata Sumut. “Ya tidak seperti diharapkan, kurang persiapan. Kalau kami, lama persiapan, tapi panitia dari provinsi. Acara ini melibatkan kementerian. Kami tuan rumah hanya untuk persiapan tempat. Tidak ada koordinasi dan konsep,” ucap Leonardo kepada wartawan.
Leonardo menilai, FDT tahun ini asal tersenggara saja. Jadi, pelaksanaannya asal-asalan. Dengan penyelenggaraan dilakukan dari festival kebudayaan, petunjukan kesenian, musik hingga sejumlah perlombaan dilaksankan biasa-biasa saja. “Kalau jalan konsep, 15 ribu target kami wisatawan datang. Konsep awalnya bertujuan mendatangkan wisatawan. Tapi ini saja masyarakat lokal tidak mau datang. Harusnya masyarakat yang berdagang dapat keuntungan, tapi ini kenyataannya rugi,” kesal Leonardo.
Diakuinya, FDT 2018 ini hanya menyisahkan ketidakpuasan. Hal tersebut, membuat Pemkab Dairi malu kepada masyarakat karena dinilai gagal menyelenggarakan FDT. “Kami di Dairi tidak mau bikin malu juga. Beberapa kegiatan sudah kami tambahi seperti lomba kayak, renang, sepeda, dan festival lampion yang di Paropo. Banyak acara yang sebenarnya tidak selaras dengan Danau Toba. Intinya tidak ada persiapan, bahkan bupati-bupati tidak hadir,” kata Leonardo.
Disebutnya, untuk menyukseskan FDT tahun ini, Pemkab Dairi sudah mempersiapkan sejumlah konsep kegiatan. Namun secara umum, perhelatan yang dikomandoi Pemprov Sumut dan melibatkan Kementerian Pariwisata, membuat Kabupaten Dairi selaku tuan rumah tidak bisa berbuat apa-apa. “Kenyataannya tidak. Tidak ada koordinasi, tidak ada perencanaan. Kami posisinya sebagai apa? Kalau memang selaku tuan rumah kami yang menyiapkan konsep, seharusnya dipercayakan kepada kami. Yang diikuti adalah konsep kami. Tapi sampai sekarang pertanyaan itu tidak terjawab,” kesalnya.
Diketahui, FDT 2018 menelan anggaran Rp1,3 miliar bersumber dari APBD Sumut tahun anggaran 2018. Dengan anggaran yang cukup besar, tapi pelaksanaannya terkesan biasa-biasa saja. Sehingga anggaran besar itu, dinilai terbuang sia-sia. “Tidak ada persiapan, makanya bupati tidak ada satupun yang datang. Saya dengar juga, hari Rabu (5/12) acara pembukaan, hari Selasa (4/12) baru sampai undangan (ke para Bupati), gila itu,” sebut Leonardo.
Sempat Minta Dibatalkan
Leonardo juga mengaku, sudah pernah meminta agar kegiatan ini dibatalkan. Apalagi persiapannya hanya dua bulan. “Saya nggak mau persiapan dua bulan, tiga bulan. Harus satu tahun. Dua bulan lalu, saya sudah minta dibatalkan, kalau cuma sekadar begitu-begitu saja,” ungkapnya.
Permintaan pembatalan itu dilakukannya karena dia tidak mau even yang bertujuan meningkatkan kunjungan wisatawan ke Danau oba itu digelar biasa saja, karena even ini skala nasional bahkan internasional. Jadi harus berkualitas sehingga dapat menarik minat wisatawan untuk menghadirinya. “Bagaimana mendatangkan orang kalau acaranya tidak menarik. Jangankan orang luar, orang sini saja enggak mau nonton. FDT tidak bisa diharapkan hanya dikunjungi oleh warga setempat,” cetusnya.
Selain itu, FDT juga harusnya bisa mendorong pertumbuhan ekonomian masyarakat sekitar. “Tidak seperti yang terjadi selama empat hari ini, pedagang yang berjualan banyak yang rugi dan tidak banyak jasa-jasa yang bisa dikelola,” sebutnya.
Dia menambahkan, pelaksanaan FDT di Kabupaten Samosir Tahun 2013 lalu adalah yang terbaik dan setelah itu, terus mengalami penurunan kualitas dari tahun ke tahun. Harusnya, ada peningkatkan dan konsep baru dalam pelaksanaan FDT setiap tahunnya. “Provinsi tetap bertahan dengan model-model begini, makanya saya tidak mau ikut acara (penutupan) ini. Saya dipanggil tapi tidak mau (hadir dalam acara) karena sudah marah sekali,” pungkasnya.
Pedagang Merugi
Sepinya pengunjung selama gelaran FDT, dirasakan para pedagang. Mereka tidak merasakan dampak signifikan ekonomi selama pelaksanaan FDT. Ali (42) pedagang jam dan aksesoris di seputaran zona A atau kompleks panggung utama mengaku, omzet penjualannya hanya Rp140.000 per hari. Sehingga, jika dihitung selama di gelaran FDT omzet tidak sampai Rp1 juta.
Ali mengatakan, dia datang berjualan ke FDT Silalahi rugi besar. Pasalnya, untung diperoleh dari hasil penjualan tidak cukup untuk biaya makan selama 4 hari di sana. “Termakan modal datang ke sini,” keluh keduanya.
Ali asal Kota Medan itu menerangkan, saat pembukaan pedagang penuh. Usai pembukaan, pedagang pindah ke tempat lain karena sepi pembeli. Menurut Ali, dibandingkan di Silalahi ini, masih lebih baik FDT 2017 di Sipissur, Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas).
Belman Sidabutar (56) penduduk Desa Sialalhi 2 yang berjualan makanan serta minuman dan jasa toilet di lintasan jalan Silalahi-Paropo juga mengatakan hal sama. Menurutnya, sejak FDT dibuka 5 Desember lalu, penjualan di hari pertama Rp400.000. Lalu di hari kedua sampai penutupan, penjualan rata-rata hanya Rp150.000.
Bila dilihat dari jumlah pengunjung, lanjut Belman, pelaksanaan pesta Tugu Marga Silalahi yang digelar setiap tahun, jauh lebih ramai daripada gelaran FDT. Ia menyebutkan, selama berlangsung pesta tugu, kondisi lalulintas di sepanjang lintasan Silalahi-Paropo macet karena banyaknya pengunjung. Begitu juga dengan kunjungan turis ramai.
“Selama 4 hari ini nyaris tidak ada saya lihat wisatawan mancanegara datang. Artinya, kami sebagai warga lokal mempertanyakan kenapa bisa seperti itu. Padahal gelaran FDT adalah skala nasional, tapi kok kalah pamor sama pesta tugu marga Silalah,” ujarnya.
Lasntas, seperti apa pendapat pengunjung tentang gelaran FDT 2018. Sari (19), warga Kota Medan, mengaku sengaja datang ke Dairi untuk menyaksikan FDT. Dia mengaku tertarik hadir, karena ingin melihat langsung pagelaran budaya yang diselenggarakan setiap setahun sekali ini.
Menurut dia, di FDT pengunjung dapat melihat berbagai keanekaragaman budaya di Sumatera Utara. Hal itu pun dapat menambah pengetahuan pengunjung terhadap budaya masing-masing daerah. “Ini momentum yang pastinya menambah pengetahuan tentang Sumatera Utara. Seperti budaya di Sumatera Utara ini, setiap kabupaten di sini berbeda-beda budayanya. Seperti tari tor-tor itu ternyata berbeda antara Batak Toba, Simalungun dan lainnya,” ungkapnya.
Pada Festival Danau Toba 2018 ini, berbagai kegiatan diselenggarakan. Mulai dari pagelaran seni dan budaya, festival kuliner, festival kopi, lomba tenda, lomba hammock, pameran wisata, pameran ekonomi kreatif dan berbagai acara lainnya. Berbagai acara tersebut, digelar dengan pembagian tiga zona. Yakni, zona A di Panggung Utama atas Tugu Silalahi, zona B di Tugu Silalahi dan Zona C di Pantai Silalahi. (gus)