Sementara analis peneliti parasit malaria, Sahat Siregar mengungkapkan, pengalamannya hingga sekarang sudah memeriksa sembilan ribu lebih sampel plasmodium. Selama ini ada empat jenis plasmodiun yang diketahui di Sumut, yakni plasmodium falciparum, plasmodium vivax, plasmodium ovale, dan plasmodium malarie. ”Bentuk yang keempat ini saya sudah familiar untuk membedakannya. Dan untuk yang baru ini, saya nilai bentuk mofologinya lain dari keempat jenis tersebut,” paparnya.
Disimpulkan, Plasmodium itu bukan spesies dari empat jenis Plasmodium tersebut. Dengan keterbatasan dana dan mitra, saya ingin memiliki mitra untuk meneliti lebih lanjut. Dia merasa heran, plasmodium jenis baru itu kenapa justeru ditemukannya di dataran tinggi atau daerah pegunungan. “Padahal, Plasmodium ini berdasarkan pengalaman sering ditemukan justeru di daerah pesisir,” ujarnya.
Umar Zein kembali menambahkan, dengan adanya jenis baru ini telah muncul epidemi baru disebabkan oleh faktor cuaca atau lingkungan. Jika tidak dilakukan penelitian secara cepat, dikhawatirkan justru masuk para peneliti asing. Sementara, parasit tersebut berada di wilayah Sumut.
”Ini kan merupakan aset ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan itu kita anggap tidak bernilai. Bagi orang asing, pengetahuan seperti ini sangat berharga sekali. Dan mereka penemu-penemu itu justru diberi insentif dan diberi dana untuk meneliti lebih jauh,” katanya.
Kata Umar sebenarnya Sumut maupun Medan memiliki badan penelitian dan pengembangan, serta universitas baik swasta dan negeri juga memiliki unit penelitian. Namun, sampai saat ini belum ada penemuan spektakuler dari sisi ilmiah. “Nanti kalau ada orang yang meneliti dan dipatenkan, baru kita sibuk,” keluhnya. (put/rbb)