31.7 C
Medan
Monday, May 6, 2024

Makam Berisi Jubah dan Topi Kebesaran

Laksamana Cheng Ho diyakini meninggal di tengah laut saat ekspedisi terakhir pada 1435. Jasadnya dilarung ke laut. Tapi, makamnya bisa dijumpai di Nanjing.

Foto: BOY SLAMET/JAWA POS/JPG
DI ATAS GUNUNG: Makam Laksamana Cheng Ho di kawasan Niu Shou Shan (Gunung Niu Shou) Kota Nanjing, Provinsi Jiangsu, Minggu (28/5).

BANGUNAN sederhana yang disebut sebagai makam Cheng Ho itu berada di kompleks wisata Niushoushan atau Bukit Kepala Sapi. Di pinggiran Kota Nanjing. Letaknya bersebelahan dengan mansion tempat dia tinggal sebelum melakukan ekspedisi terakhir enam abad lalu.

Luas bangunan mansion sekitar 400 meter persegi. Tiap sudut ditumbuhi pepohonan yang tertata rapi. Di tengah halaman dalam terdapat patung Cheng Ho setengah badan. Tingginya 2 meter, lebar setengah meter. Di sisi belakang dan kanan patung terpajang memorabilia laksamana besar tersebut.

Tempat yang disebut sebagai makam Cheng Ho tersebut sebenarnya bukan makam sungguhan. Tidak ada jasad pria perkasa itu di dalamnya. Yang dimakamkan di sana hanyalah topi dan jubah kuningmerahnya yang legendaris.

“Tapi, di Tiongkok makam tidak harus ada jasadnya. Yang penting ada benda yang paling sering dipakai atau benda kesayangannya,” kata Chandra Kurniawan, mahasiswa Institut Kereta Api Nanjing asal Indonesia yang menemani kami.

Jasad Cheng Ho sendiri dilarung ke laut setelah meninggal dalam pelayaran di perairan India. Pelarungan itu merupakan permintaan Cheng Ho sendiri. Dia merasa bahwa tempat peristirahatan terakhir yang paling pantas baginya adalah lautan.

Sebenarnya ada versi lain soal kematian Cheng Ho. Yakni, dia sempat pulang dari pelayaran ketujuhnya pada 1435 ke Nanjing. Setelah dianugerahi gelar penjaga Nanjing, dia sakit dan meninggal tak lama kemudian.

Namun, mayoritas peneliti sejarah yakin Cheng Ho meninggal di laut. Bukan di Nanjing. Untuk memastikannya, pemerintah Tiongkok pernah membongkar makam itu dan tak menemukan apa pun sisa jasad Cheng Ho.

Pada 1985, tepatnya ketika haul ke-580 Cheng Ho, makam yang semula berbentuk tapal kuda tersebut dipugar. Bangunan makam lama dihancurkan, kemudian diganti dengan arsitektur Islam. Pada batu nisan tertulis lafaz Allah dalam huruf Arab. Untuk mencapai makam tersebut, dibangun undak-undakan dari batu yang terdiri atas 28 anak tangga. Ke-28 anak tangga itu dibagi empat bagian, dan tiap-tiap bagian terdiri atas tujuh unsur. Tujuh unsur tersebut merupakan lambang total perjalanan ekspedisi yang dilakukan Cheng Ho.

Untuk ziarah ke makam Cheng Ho di Niushoushan, pengunjung mesti menyiapkan diri untuk perjalanan panjang. Dari Kota Nanjing, dibutuhkan waktu sekitar 1,5 jam perjalanan ke kawasan perbukitan tersebut. Pemerintah Kota Nanjing menjadikan bukit itu sebagai kawasan wisata terpadu. Sebab, selain mansion dan makam Cheng Ho, pemerintah menjadikan pemandangan dan suasana perbukitan tersebut sebagai daya tarik wisata.

Seperti tempat wisata lain di Tiongkok, kompleks wisata Bukit Kepala Sapi itu tertata rapi. Dengan membayar tiket masuk CNY 98 (sekitar Rp 196 ribu) dan shuttle bus CNY 20 (Rp40 ribu), pengunjung akan diantar ke satu situs ke situs lainnya. “Tapi, boleh langsung menuju ke tempat yang diinginkan. Tak perlu urut,” ujar Katy Chang, petugas tiket wisata bukit tersebut.

Saat Jawa Pos (grup Sumut Pos) mengunjungi tempat itu, suasana agak ramai. Banyak yang datang untuk menghabiskan sore dan menikmati pemandangan.“Semua tempat saya kunjungi. Termasuk makam ini. Lagi pula, dia juga dianggap orang besar,” kata Wang Dan, warga Nanjing yang juga mengunjungi makam Cheng Ho.

CHENG HO

TUTUP USIA PADA EKSPEDISI TERAKHIR

Mangkatnya Kaisar Zhu Di pada 1424 menjadi awal surutnya superioritas Dinasti Ming di bidang maritim. Setelah menggantikan ayahnya pada 7 September 1424, Zhu Gaozhi, kaisar baru, mengeluarkan maklumat. Isinya, menghentikan semua ekspedisi dan proyek kapal. Semua kapal yang ditambatkan di Taicang (pelabuhan dekat galangan kapal Longjiang di Nanjing) harus ditarik ke Beijing. Ketika itu armada Cheng Ho baru saja menyelesaikan ekspedisi keenam.

Selainitu, semua barang yang ada di dalam kapal harus dikembalikan ke Departemen Dalam Negeri. Para utusan dan duta besar negara sahabat yang ingin pulang tetap diantarkan, tapi dengan ekspedisi minimum. Tidak mewah seperti zaman kaisar Zhu Di. Perwakilan Tiongkok di luar negeri juga diperintah pulang.

Di sisi lain, ketika baru saja menyelesaikan pelayaran selama dua setengah tahun, para kru armada Cheng Ho merasa kecewa. Bukannyamendapatpenyambutanpahlawan seperti sebelumnya, kepulangan tersebut justru seperti tak dihiraukan Zhu Ghaozi yang saat itu akan dilantik menjadi kaisar. Cheng Ho kemudian break dari angkatan laut. Oleh kaisar, dia diberi jabatan sebagai kepala pelabuhan di Nanjing. Di situ dia mendapat julukan Penjaga Nanjing. Pada masa tersebut, dia sempat memugar Masjid Jingjue. Seorang keturunannya (anak kakaknya diambil jadi anak angkat Cheng Ho), Zheng Zhi Hai, kini menjadi pengurus Masjid Jingjue.

“Masjid itu menjadi bagian pentingdari ChengHo,” kataYang Liyun, staf pengelola taman nasional Cheng Ho di Kunyang.

Situasi seperti itu tak bertahan lama. Setahun menjabat, Zhu Gaozhi meninggal pada 1425. Dia digantikan putranya, Zhu Zhanji. Dia tidak sekaku ayahnya. Zhu Zhanji memperbolehkan Cheng Ho melakukan sekali lagi ekspedisi pelayaran. Setelah melakukan persiapan panjang, pada 1433 Cheng Ho melakukan ekspedisi terakhir. Benar-benar terakhir. Setelah sempat mampir di Jawa, armadanya mengarah ke barat. Sampai di perairan India, ChengHo sakit dan meninggal. Pelaut hebat itu mengembuskan napas terakhir di tengah laut. Oleh anak buahnya, jasadnya dilarung ke laut.

Kematian Zhu Di dan Cheng Ho seperti menjadi titik balik bagi Tiongkok. Setelah ZhuZhanjijugameninggalpada1435, Tiongkok makin menutup diri. Seluruh perjalanan ke luar negeri dihentikan. Bahkan, maklumat kaisar baru menitahkan untuk tidak melakukan perdagangan ke luar negeri. Setiap pedagang yang terlibat dalam perdagangan ke luar negeri dianggap pembajak dan dieksekusi. Mempelajari bahasa asing dan sebaliknya, mengajarkan bahasa Mandarin ke orang asing, dilarang. Begitulah Tiongkok menutup diri. Tak dikenal dan tak mengenal dunia sampai lebih dari lima abad kemudian. (*/c10/nw/jpg)

Laksamana Cheng Ho diyakini meninggal di tengah laut saat ekspedisi terakhir pada 1435. Jasadnya dilarung ke laut. Tapi, makamnya bisa dijumpai di Nanjing.

Foto: BOY SLAMET/JAWA POS/JPG
DI ATAS GUNUNG: Makam Laksamana Cheng Ho di kawasan Niu Shou Shan (Gunung Niu Shou) Kota Nanjing, Provinsi Jiangsu, Minggu (28/5).

BANGUNAN sederhana yang disebut sebagai makam Cheng Ho itu berada di kompleks wisata Niushoushan atau Bukit Kepala Sapi. Di pinggiran Kota Nanjing. Letaknya bersebelahan dengan mansion tempat dia tinggal sebelum melakukan ekspedisi terakhir enam abad lalu.

Luas bangunan mansion sekitar 400 meter persegi. Tiap sudut ditumbuhi pepohonan yang tertata rapi. Di tengah halaman dalam terdapat patung Cheng Ho setengah badan. Tingginya 2 meter, lebar setengah meter. Di sisi belakang dan kanan patung terpajang memorabilia laksamana besar tersebut.

Tempat yang disebut sebagai makam Cheng Ho tersebut sebenarnya bukan makam sungguhan. Tidak ada jasad pria perkasa itu di dalamnya. Yang dimakamkan di sana hanyalah topi dan jubah kuningmerahnya yang legendaris.

“Tapi, di Tiongkok makam tidak harus ada jasadnya. Yang penting ada benda yang paling sering dipakai atau benda kesayangannya,” kata Chandra Kurniawan, mahasiswa Institut Kereta Api Nanjing asal Indonesia yang menemani kami.

Jasad Cheng Ho sendiri dilarung ke laut setelah meninggal dalam pelayaran di perairan India. Pelarungan itu merupakan permintaan Cheng Ho sendiri. Dia merasa bahwa tempat peristirahatan terakhir yang paling pantas baginya adalah lautan.

Sebenarnya ada versi lain soal kematian Cheng Ho. Yakni, dia sempat pulang dari pelayaran ketujuhnya pada 1435 ke Nanjing. Setelah dianugerahi gelar penjaga Nanjing, dia sakit dan meninggal tak lama kemudian.

Namun, mayoritas peneliti sejarah yakin Cheng Ho meninggal di laut. Bukan di Nanjing. Untuk memastikannya, pemerintah Tiongkok pernah membongkar makam itu dan tak menemukan apa pun sisa jasad Cheng Ho.

Pada 1985, tepatnya ketika haul ke-580 Cheng Ho, makam yang semula berbentuk tapal kuda tersebut dipugar. Bangunan makam lama dihancurkan, kemudian diganti dengan arsitektur Islam. Pada batu nisan tertulis lafaz Allah dalam huruf Arab. Untuk mencapai makam tersebut, dibangun undak-undakan dari batu yang terdiri atas 28 anak tangga. Ke-28 anak tangga itu dibagi empat bagian, dan tiap-tiap bagian terdiri atas tujuh unsur. Tujuh unsur tersebut merupakan lambang total perjalanan ekspedisi yang dilakukan Cheng Ho.

Untuk ziarah ke makam Cheng Ho di Niushoushan, pengunjung mesti menyiapkan diri untuk perjalanan panjang. Dari Kota Nanjing, dibutuhkan waktu sekitar 1,5 jam perjalanan ke kawasan perbukitan tersebut. Pemerintah Kota Nanjing menjadikan bukit itu sebagai kawasan wisata terpadu. Sebab, selain mansion dan makam Cheng Ho, pemerintah menjadikan pemandangan dan suasana perbukitan tersebut sebagai daya tarik wisata.

Seperti tempat wisata lain di Tiongkok, kompleks wisata Bukit Kepala Sapi itu tertata rapi. Dengan membayar tiket masuk CNY 98 (sekitar Rp 196 ribu) dan shuttle bus CNY 20 (Rp40 ribu), pengunjung akan diantar ke satu situs ke situs lainnya. “Tapi, boleh langsung menuju ke tempat yang diinginkan. Tak perlu urut,” ujar Katy Chang, petugas tiket wisata bukit tersebut.

Saat Jawa Pos (grup Sumut Pos) mengunjungi tempat itu, suasana agak ramai. Banyak yang datang untuk menghabiskan sore dan menikmati pemandangan.“Semua tempat saya kunjungi. Termasuk makam ini. Lagi pula, dia juga dianggap orang besar,” kata Wang Dan, warga Nanjing yang juga mengunjungi makam Cheng Ho.

CHENG HO

TUTUP USIA PADA EKSPEDISI TERAKHIR

Mangkatnya Kaisar Zhu Di pada 1424 menjadi awal surutnya superioritas Dinasti Ming di bidang maritim. Setelah menggantikan ayahnya pada 7 September 1424, Zhu Gaozhi, kaisar baru, mengeluarkan maklumat. Isinya, menghentikan semua ekspedisi dan proyek kapal. Semua kapal yang ditambatkan di Taicang (pelabuhan dekat galangan kapal Longjiang di Nanjing) harus ditarik ke Beijing. Ketika itu armada Cheng Ho baru saja menyelesaikan ekspedisi keenam.

Selainitu, semua barang yang ada di dalam kapal harus dikembalikan ke Departemen Dalam Negeri. Para utusan dan duta besar negara sahabat yang ingin pulang tetap diantarkan, tapi dengan ekspedisi minimum. Tidak mewah seperti zaman kaisar Zhu Di. Perwakilan Tiongkok di luar negeri juga diperintah pulang.

Di sisi lain, ketika baru saja menyelesaikan pelayaran selama dua setengah tahun, para kru armada Cheng Ho merasa kecewa. Bukannyamendapatpenyambutanpahlawan seperti sebelumnya, kepulangan tersebut justru seperti tak dihiraukan Zhu Ghaozi yang saat itu akan dilantik menjadi kaisar. Cheng Ho kemudian break dari angkatan laut. Oleh kaisar, dia diberi jabatan sebagai kepala pelabuhan di Nanjing. Di situ dia mendapat julukan Penjaga Nanjing. Pada masa tersebut, dia sempat memugar Masjid Jingjue. Seorang keturunannya (anak kakaknya diambil jadi anak angkat Cheng Ho), Zheng Zhi Hai, kini menjadi pengurus Masjid Jingjue.

“Masjid itu menjadi bagian pentingdari ChengHo,” kataYang Liyun, staf pengelola taman nasional Cheng Ho di Kunyang.

Situasi seperti itu tak bertahan lama. Setahun menjabat, Zhu Gaozhi meninggal pada 1425. Dia digantikan putranya, Zhu Zhanji. Dia tidak sekaku ayahnya. Zhu Zhanji memperbolehkan Cheng Ho melakukan sekali lagi ekspedisi pelayaran. Setelah melakukan persiapan panjang, pada 1433 Cheng Ho melakukan ekspedisi terakhir. Benar-benar terakhir. Setelah sempat mampir di Jawa, armadanya mengarah ke barat. Sampai di perairan India, ChengHo sakit dan meninggal. Pelaut hebat itu mengembuskan napas terakhir di tengah laut. Oleh anak buahnya, jasadnya dilarung ke laut.

Kematian Zhu Di dan Cheng Ho seperti menjadi titik balik bagi Tiongkok. Setelah ZhuZhanjijugameninggalpada1435, Tiongkok makin menutup diri. Seluruh perjalanan ke luar negeri dihentikan. Bahkan, maklumat kaisar baru menitahkan untuk tidak melakukan perdagangan ke luar negeri. Setiap pedagang yang terlibat dalam perdagangan ke luar negeri dianggap pembajak dan dieksekusi. Mempelajari bahasa asing dan sebaliknya, mengajarkan bahasa Mandarin ke orang asing, dilarang. Begitulah Tiongkok menutup diri. Tak dikenal dan tak mengenal dunia sampai lebih dari lima abad kemudian. (*/c10/nw/jpg)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/