31.8 C
Medan
Saturday, May 18, 2024

DPRD Sumut Minta BPJS Kesehatan: Kembalikan Kelebihan Dana Peserta

BPJS KESEHATAN: Warga mengantre di BPJS Kesehatan. DPRD Sumut meminta BPJS Kesehatan mengembalikan kelebihan dana peserta.

Mahkamah Agung (MA) membatalkan kenaikan Iuran Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) Kesehatan. Maka dari itu, DPRD Sumut meminta agar kelebihan iuran per Januari dan Februari 2020 harus dikembalikan kepada peserta.

Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara, Hendro Susanto mengapresiasi dan menyambut positif terhadap keputusan MA yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan pada Februari 2020 lalu.

“BPJS Kesehatan harus mengembalikan kelebihan iuran yang sudah dibayarkan peserta pada Januari dan Februari 2020. Hak masyarakat mendapatkan kesehatan dijamin dalam UUD 1945 selain hak mendapatkan pendidikan. Pemerintah/BPJS Kesehatan harus segera menyusun teknis pengembalian uang tersebut,” tegas Hendro.

Langkah tersebut menurut dia, harus dilakukan menyusul putusan MA terkait pembatalan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.”Jika pemerintah konsisten terhadap konsep equality before the law dan rule of law, putusan MA wajib dilaksanakan,” ujarnya.

Teknis pengembalian, katanya, harus segera disusun melalui regulasi/tupoksi agar masyarakat, dalam hal ini peserta BPJS Kesehatan, segera mendapatkan kepastian hukum dan uangnya kembali. Regulasi/tupoksi tersebut juga diperlukan agar aparat di lapangan tidak kebingungan.

“Prinsipnya, jangan sampai hak-hak konsumen yang sudah membayar iuran dikurangi atau dirugikan. Jangan pemerintah zalim pada masyarakat,” tuturnya.

Hendro mengatakan, jika kelebihan iuran Januari dan Februari 2020 tidak dikembalikan, peserta BPJS Kesehatan bisa menyelesaikan persoalan tersebut melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang ada di kabupaten/kota se-Indonesia.

Hak itu diatur dalam Pasal 23 jo Pasal 45 ayat (3) UU No.8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. “Ini bisa menjadi opsi penyelesaian sengketa secara cepat, sederhana, dan biaya ringan,” tegasnya.

Ia juga meminta agar pemerintah tidak arogan, otoriter, dan sewenang-wenang, dengan mengabaikan putusan MA. Apalagi, Indonesia adalah negara hukum rechtsstaat atau rule of law.

“Sebetulnya pembuat dan penandatangan Perpres No. 75 Tahun 2019 harus malu sampai MA membatalkan hasil kerja mereka. Hak itu membuktikan bahwa peraturan tersebut bertolakbelakang dengan kondisi/aspirasi masyarakat,” kata hendro.

Ia menuturkan, dalam persoalan BPJS Kesehatan sejatinya bukan hanya kenaikan iuran yang melanggar perundang-undangan. Peraturan tentang pengenaan sanksi kepada masyarakat yang menunggak iuran dengan tidak melakukan pelayanan publik pun ia nilai melanggar UUD 1945 dan UU No. 25 Tahun 2009.

“Harusnya negara hadir dalam membantu masyarakat, banyak hal yang menjadi sorotan dan aduan dari masyarakat, mulai dari fasilitas kesehatan (faskes) baik tingkat 1 dan rujukan harus diperbaiki dan di monitoring secara berkala, klaim rumah sakit (RS) se Indonesia yang BPJS Kesehatan masih nunggak 4 sampai 5 bulan harus segera dibayarkan, agar tidak terganggu pelayanan kesehatan pada pasien BPJS,” pungkasnya. (mag-1/ila)

BPJS KESEHATAN: Warga mengantre di BPJS Kesehatan. DPRD Sumut meminta BPJS Kesehatan mengembalikan kelebihan dana peserta.

Mahkamah Agung (MA) membatalkan kenaikan Iuran Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) Kesehatan. Maka dari itu, DPRD Sumut meminta agar kelebihan iuran per Januari dan Februari 2020 harus dikembalikan kepada peserta.

Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara, Hendro Susanto mengapresiasi dan menyambut positif terhadap keputusan MA yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan pada Februari 2020 lalu.

“BPJS Kesehatan harus mengembalikan kelebihan iuran yang sudah dibayarkan peserta pada Januari dan Februari 2020. Hak masyarakat mendapatkan kesehatan dijamin dalam UUD 1945 selain hak mendapatkan pendidikan. Pemerintah/BPJS Kesehatan harus segera menyusun teknis pengembalian uang tersebut,” tegas Hendro.

Langkah tersebut menurut dia, harus dilakukan menyusul putusan MA terkait pembatalan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.”Jika pemerintah konsisten terhadap konsep equality before the law dan rule of law, putusan MA wajib dilaksanakan,” ujarnya.

Teknis pengembalian, katanya, harus segera disusun melalui regulasi/tupoksi agar masyarakat, dalam hal ini peserta BPJS Kesehatan, segera mendapatkan kepastian hukum dan uangnya kembali. Regulasi/tupoksi tersebut juga diperlukan agar aparat di lapangan tidak kebingungan.

“Prinsipnya, jangan sampai hak-hak konsumen yang sudah membayar iuran dikurangi atau dirugikan. Jangan pemerintah zalim pada masyarakat,” tuturnya.

Hendro mengatakan, jika kelebihan iuran Januari dan Februari 2020 tidak dikembalikan, peserta BPJS Kesehatan bisa menyelesaikan persoalan tersebut melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang ada di kabupaten/kota se-Indonesia.

Hak itu diatur dalam Pasal 23 jo Pasal 45 ayat (3) UU No.8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. “Ini bisa menjadi opsi penyelesaian sengketa secara cepat, sederhana, dan biaya ringan,” tegasnya.

Ia juga meminta agar pemerintah tidak arogan, otoriter, dan sewenang-wenang, dengan mengabaikan putusan MA. Apalagi, Indonesia adalah negara hukum rechtsstaat atau rule of law.

“Sebetulnya pembuat dan penandatangan Perpres No. 75 Tahun 2019 harus malu sampai MA membatalkan hasil kerja mereka. Hak itu membuktikan bahwa peraturan tersebut bertolakbelakang dengan kondisi/aspirasi masyarakat,” kata hendro.

Ia menuturkan, dalam persoalan BPJS Kesehatan sejatinya bukan hanya kenaikan iuran yang melanggar perundang-undangan. Peraturan tentang pengenaan sanksi kepada masyarakat yang menunggak iuran dengan tidak melakukan pelayanan publik pun ia nilai melanggar UUD 1945 dan UU No. 25 Tahun 2009.

“Harusnya negara hadir dalam membantu masyarakat, banyak hal yang menjadi sorotan dan aduan dari masyarakat, mulai dari fasilitas kesehatan (faskes) baik tingkat 1 dan rujukan harus diperbaiki dan di monitoring secara berkala, klaim rumah sakit (RS) se Indonesia yang BPJS Kesehatan masih nunggak 4 sampai 5 bulan harus segera dibayarkan, agar tidak terganggu pelayanan kesehatan pada pasien BPJS,” pungkasnya. (mag-1/ila)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/