Nah, sejak ayahnya ditahan itulah, ia bersama ibunya selalu berpindah-pindah tempat tinggal. Akibatnya iapun harus putus sekolah. Terakhir, AZA bersekolah di SDN 084044 Sei Nangka, Tanjungbalai. Ia hanya mengenyam pendidikan hingga kelas empat SD.
“Ibu enggak kerja. Sebelum dibawa ke sini (pesantren), saya tinggal sama nenek,” ucapnya.
Ketika di rumah neneknya, dia ikut membantu sang nenek berjualan. Namun, ada pesan dari ayahnya yang tetap diingatnya. “Ayah berpesan, saya harus menjadi anak yang baik dan taat beribadah. Saya diminta untuk terus mengaji dan membaca kitab suci Al-quran meski putus sekolah. Saya ingin jadi ustad, biar tahu agama dan jalankan perintah Allah,” ungkapnya sembari tersenyum.
Pada Agustus 2016 lalu, ayahnya sudah bebas dari Nusakambangan. Dia pun sempat pulang ke Tanjungbalai untuk bertemu ayahnya yang baru bebas. “Hanya beberapa hari. Lalu pulang lagi ke pesantren. Ayah yang mengantar dan bertemu dengan Ustad Ghozali,” tambah dia.
Menurut dia, sang ayah kini menjadi nelayan di Tanjungbalai. “Ikut kapal orang,” sambungnya.
Selama di pesantren, sejak Juli 2016 lalu, bocah berkulit sawo matang ini mengaku senang bisa belajar agama lebih dalam dan bertemu banyak teman di Pesantren Darusy Syifa ini. Apalagi, setiap selepas salat subuh, Ustad Ghazali rutin memberikan ceramah. “Dalam ceramahnya, Ustad menganjarkan kami untuk menjadi orang yang pemaaf ketika bertemu dengan orang yang bersalah,” katanya.
Dia berharap, pesantren ini dapat berkembang pesat. “Saya senang di sini, belajar menjadi maafkan orang yang bersalah. Tiap subuh kami dengar ceramah ustad, telah mengajarkan untuk berbuat baik,” tandasnya. (*/adz)