32.8 C
Medan
Tuesday, May 28, 2024

UISU, UMSU, dan UHN Terganjal Dana

Diberi Empat Tahun Membangun Rumah Sakit Pendidikan

MEDAN-Aturan Fakultas Kedokteran wajib memiliki Rumah Sakit Pendidikan (RSP) membuat Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Sumut kelabakan. Bagaimana tidak, aturan yang ditenggat selama empat tahun ke depan tersebut tidak disertai bantuan dana dari pemerintah.

“Aturan ini sangat memberatkan apalagi untuk PTS yang tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah. Sementara waktu yang tersedia hanya empat tahun untuk membangun sebuah rumah sakit yang pastinya membutuhkan biaya cukup besar. Paling untuk menyiasatinya kita akan mencari penyandang dana,”sebut Dekan FK Universitas Islam Sumatera Utara (UISU), Rahmat Nasution saat dikonfirmasi, Senin (13/2).

Karena itu, Rahmat mengaku akan meminta kelonggara atau dispensasi waktu. “Seharusnya aturan ini perlu pengkajian lebih dalam sebelum dikeluarkan karena ini akan berdampak terhadap lembaga pendidik dan peserta didik. Seandainya kita tidak mampu untuk membangun sebuah RSP dengan waktu empat tahun ke depan dan izin FK kita dicabut, mau ke mana ratusan mahasiswa yang tengah mengikuti proses pendidikan ini nantinya. Begitu juga dengan FK lainnya yang masih dalam tahap pengembangan,” sebut Rahmat.

Tak berbeda dengan UISU, Dekan FK Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Ade Taufik, juga mempertanyakan aturan tersebut. Namun, pihaknya berusaha menyikapi hal tersebut dengan rencana melakukan MoU antara Dikti dan Majelis Muhammadiyah.

Menurut Ade, sejauh ini Muhammadiyah memiliki rumah sakit di tiap wilayah, salah satunya Sumatera Utara. Sehingga, tidak harus membangun rumah sakit lagi. Namun menurut Ade, bagaimana caranya rumah sakit Muhammadiyah bisa diakreditasi menjadi sebuah rumah sakit pendidikan, kini tengah diupayakan lewat MoU. “Tinggal lagi bagaimana proses RS Muhammadiyah bisa terakreditas sebagai RSP. Itulah yang tengah diupayakan,” ucapnya.
Tanggapan lain diberikan Universitas HKBP Nommensen (UHN). Humas UHN Medan, Bonifasius Tambunan mengatakan, meski belum terlaksana, aturan tersebut akan ditaati dan segera dijalani pihaknya. “Saat ini Univ HKBP Nommensen sedang melakukan penjajakan dengan semua unsur pimpinan dalam hal pendirian RSP ini,” katanya.

Ditambahkan Boni, UHN sudah menjalin kerja sama dengan beberapa pihak dalam pendirian RSP di dalam kampus. “Saat ini sedang dalam pembicaraan pihak yayasan dan pimpinan. Ke depannya akan dibangun RSP di dalam kampus,” sebutnya.

Selama ini, kata Boni, mahasiswa fakultas kedokteran di UHN koas atau praktik ke rumah sakit yang ada di Tarutung. “Karena semua rumah sakit di Medan semua sudah penuh dengan mahasiswa fakultas kedokteran dari universitas lainnya,” akunya.

Lalu, kenapa tidak di RS HKBP yang ada di Balige? “Yang ada di Balige masih dalam pembenahan dan peralatannya juga sedang dalam pembenahan termasuk laboratoriumnya,” terangnya.

Bukan Soal Anak Tiri dan Anak Kandung

Sementara itu, terkait keharusan membangun RSP oleh universitas yang memiliki faklutas kedokteran menuai tangapan Anggota Komisi E DPRDSU, Nurhasanah S Sos. Katanya, pihak PTS harus jemput bola terkait program tersebut. “Kita ketahui memang masih USU. Tapi menurut saya, bukan persoalannya ada anak tiri dan anak kandung. Maksudnya, ketika pemerintah sudah membuka kran air, maka pihak swasta yang harus menyediakan embernya. Artinya, menjemput bola. Pihak swasta harus membuat laporan, membutuhkan ini dan itu. Kalau tidak ada laporan, mana mungkin pemerintah tahu atas hal itu,” tegasnya.

Tanggapan Nurhasanah ini keluar setelah pengamat ekonomi dari Universitas Sumatera Utara (USU), John Tafbu Ritonga, membuat pernyataan soal ketidakadilan pemerintah tentang aliran dana untuk RSP. “Artinya, kalau ada pengalokasian anggaran ke universitas negeri, harusnya ada juga ke swasta. Jangan sampai ada istilah anak kandung dan anak tiri,” katanya, kemarin.

Meski begitu, John Tafbu tak menampik kalau USU adalah salah satu pihak yang memprakarsai RSP di Sumut. “Ya, RS Pendidikan itu sudah lama dibutuhkan. USU di Sumatera Utara sudah memprakarsai. Mencari sumber dananya ke Internasional Develovment Bank (IDB) Jeddah, dan menjadi program pembangunan. Sekarang kalau sudah diputuskan, harus ada yang menyediakan anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi dan kabupaten/kota. Untuk sementara bertahap, dengan pemberdayaan RS yang sudah ada di daerah. Itu bisa dilakukan dengan penyesuaian kurikulum,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Dekan Fakultas Ekonomi USU ini menambahkan, dalam kasus ini, pemerintah juga relatif pasif. “Pemerintah masih belum pro aktif. Ya, masih pasif. Sehingga, muncul citra seperti itu. Harusnya sudah melalui perencanaan yang matang, dengan pengalokasian anggaran berapa triliun, untuk rencana pembangunan itu. Kalau belum cukup, dilakukan secara bertahap. Tidak cukup dananya, tapi harus dimulai seberapa ada dana. Jadi kebijakannya dulu dikerjakan bertahap,” tegasnya lagi.

Sebelumnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyatakan tidak akan mengecurkan bantuan pendirian RSP di kampus swasta.  Kepastian tidak ada bantuan pembiayaan ini disampaikan oleh Dirjen Pendidkan Tinggi (Dikti) Kemendikbud Djoko Santoso Minggu (12/2). “Tidak ada bantuan,” kata dia.

Dalam kesempatan lain, Mendikbud Mohammad Nuh mengatakan aturan kewajiban RSP ini masih digodok dalam bentuk RUU Pendidikan Kedokteran. Dia mengingatkan, kalaupun aturan ini disahkan seluruh perguruan tinggi wajib menjalankan.
Menurut Nuh, RSP harus berfungsi seperti rumah sakit umum. “Harus ada pasien masyarakat umum,” tegas menteri asal Surabaya itu. Dengan demikian, maka proses pembelajaran calon-calon dokter bisa benar-benar efektif. (uma/jon/ari)

Diberi Empat Tahun Membangun Rumah Sakit Pendidikan

MEDAN-Aturan Fakultas Kedokteran wajib memiliki Rumah Sakit Pendidikan (RSP) membuat Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Sumut kelabakan. Bagaimana tidak, aturan yang ditenggat selama empat tahun ke depan tersebut tidak disertai bantuan dana dari pemerintah.

“Aturan ini sangat memberatkan apalagi untuk PTS yang tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah. Sementara waktu yang tersedia hanya empat tahun untuk membangun sebuah rumah sakit yang pastinya membutuhkan biaya cukup besar. Paling untuk menyiasatinya kita akan mencari penyandang dana,”sebut Dekan FK Universitas Islam Sumatera Utara (UISU), Rahmat Nasution saat dikonfirmasi, Senin (13/2).

Karena itu, Rahmat mengaku akan meminta kelonggara atau dispensasi waktu. “Seharusnya aturan ini perlu pengkajian lebih dalam sebelum dikeluarkan karena ini akan berdampak terhadap lembaga pendidik dan peserta didik. Seandainya kita tidak mampu untuk membangun sebuah RSP dengan waktu empat tahun ke depan dan izin FK kita dicabut, mau ke mana ratusan mahasiswa yang tengah mengikuti proses pendidikan ini nantinya. Begitu juga dengan FK lainnya yang masih dalam tahap pengembangan,” sebut Rahmat.

Tak berbeda dengan UISU, Dekan FK Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Ade Taufik, juga mempertanyakan aturan tersebut. Namun, pihaknya berusaha menyikapi hal tersebut dengan rencana melakukan MoU antara Dikti dan Majelis Muhammadiyah.

Menurut Ade, sejauh ini Muhammadiyah memiliki rumah sakit di tiap wilayah, salah satunya Sumatera Utara. Sehingga, tidak harus membangun rumah sakit lagi. Namun menurut Ade, bagaimana caranya rumah sakit Muhammadiyah bisa diakreditasi menjadi sebuah rumah sakit pendidikan, kini tengah diupayakan lewat MoU. “Tinggal lagi bagaimana proses RS Muhammadiyah bisa terakreditas sebagai RSP. Itulah yang tengah diupayakan,” ucapnya.
Tanggapan lain diberikan Universitas HKBP Nommensen (UHN). Humas UHN Medan, Bonifasius Tambunan mengatakan, meski belum terlaksana, aturan tersebut akan ditaati dan segera dijalani pihaknya. “Saat ini Univ HKBP Nommensen sedang melakukan penjajakan dengan semua unsur pimpinan dalam hal pendirian RSP ini,” katanya.

Ditambahkan Boni, UHN sudah menjalin kerja sama dengan beberapa pihak dalam pendirian RSP di dalam kampus. “Saat ini sedang dalam pembicaraan pihak yayasan dan pimpinan. Ke depannya akan dibangun RSP di dalam kampus,” sebutnya.

Selama ini, kata Boni, mahasiswa fakultas kedokteran di UHN koas atau praktik ke rumah sakit yang ada di Tarutung. “Karena semua rumah sakit di Medan semua sudah penuh dengan mahasiswa fakultas kedokteran dari universitas lainnya,” akunya.

Lalu, kenapa tidak di RS HKBP yang ada di Balige? “Yang ada di Balige masih dalam pembenahan dan peralatannya juga sedang dalam pembenahan termasuk laboratoriumnya,” terangnya.

Bukan Soal Anak Tiri dan Anak Kandung

Sementara itu, terkait keharusan membangun RSP oleh universitas yang memiliki faklutas kedokteran menuai tangapan Anggota Komisi E DPRDSU, Nurhasanah S Sos. Katanya, pihak PTS harus jemput bola terkait program tersebut. “Kita ketahui memang masih USU. Tapi menurut saya, bukan persoalannya ada anak tiri dan anak kandung. Maksudnya, ketika pemerintah sudah membuka kran air, maka pihak swasta yang harus menyediakan embernya. Artinya, menjemput bola. Pihak swasta harus membuat laporan, membutuhkan ini dan itu. Kalau tidak ada laporan, mana mungkin pemerintah tahu atas hal itu,” tegasnya.

Tanggapan Nurhasanah ini keluar setelah pengamat ekonomi dari Universitas Sumatera Utara (USU), John Tafbu Ritonga, membuat pernyataan soal ketidakadilan pemerintah tentang aliran dana untuk RSP. “Artinya, kalau ada pengalokasian anggaran ke universitas negeri, harusnya ada juga ke swasta. Jangan sampai ada istilah anak kandung dan anak tiri,” katanya, kemarin.

Meski begitu, John Tafbu tak menampik kalau USU adalah salah satu pihak yang memprakarsai RSP di Sumut. “Ya, RS Pendidikan itu sudah lama dibutuhkan. USU di Sumatera Utara sudah memprakarsai. Mencari sumber dananya ke Internasional Develovment Bank (IDB) Jeddah, dan menjadi program pembangunan. Sekarang kalau sudah diputuskan, harus ada yang menyediakan anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi dan kabupaten/kota. Untuk sementara bertahap, dengan pemberdayaan RS yang sudah ada di daerah. Itu bisa dilakukan dengan penyesuaian kurikulum,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Dekan Fakultas Ekonomi USU ini menambahkan, dalam kasus ini, pemerintah juga relatif pasif. “Pemerintah masih belum pro aktif. Ya, masih pasif. Sehingga, muncul citra seperti itu. Harusnya sudah melalui perencanaan yang matang, dengan pengalokasian anggaran berapa triliun, untuk rencana pembangunan itu. Kalau belum cukup, dilakukan secara bertahap. Tidak cukup dananya, tapi harus dimulai seberapa ada dana. Jadi kebijakannya dulu dikerjakan bertahap,” tegasnya lagi.

Sebelumnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyatakan tidak akan mengecurkan bantuan pendirian RSP di kampus swasta.  Kepastian tidak ada bantuan pembiayaan ini disampaikan oleh Dirjen Pendidkan Tinggi (Dikti) Kemendikbud Djoko Santoso Minggu (12/2). “Tidak ada bantuan,” kata dia.

Dalam kesempatan lain, Mendikbud Mohammad Nuh mengatakan aturan kewajiban RSP ini masih digodok dalam bentuk RUU Pendidikan Kedokteran. Dia mengingatkan, kalaupun aturan ini disahkan seluruh perguruan tinggi wajib menjalankan.
Menurut Nuh, RSP harus berfungsi seperti rumah sakit umum. “Harus ada pasien masyarakat umum,” tegas menteri asal Surabaya itu. Dengan demikian, maka proses pembelajaran calon-calon dokter bisa benar-benar efektif. (uma/jon/ari)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/