Pada era sekarang, titip barang saja bisa dibisniskan. Misalnya, yang dilakoni Willy Ekasalim dan Doddy Lukito. Lewat website-nya www.bistip.com, keduanya mengelola usaha titip barang oleh-oleh dari luar negeri yang selama ini biasa dilakukan orang Indonesia.
SEKARING RATRI A, Jakarta
Hampir 10 tahun Willy Ekasalim menetap di Australia. Dia menimba ilmu di jurusan Information Technology (IT) University of New South Wales. Setelah lulus, dia bekerja di perusahaan IT, bahkan pernah mengabdi di International Business Machines Corporation (IBM).
Selama tinggal di Negeri Kanguru (2002-2010), dia selalu menyempatkan pulang setiap tahun. Nah, saat pulang itulah keluarga maupun kolega di Indonesia “memanfaatkan” Willy untuk titip dibelikan atau dibawakan oleh-oleh dari Australia.
Awalnya hanya dari kalangan saudara atau teman dekat. Namun, lama-kelamaan yang titip barang meluas hingga ke orang yang tidak dikenal secara langsung oleh Willy. Barang yang dipesan mulai majalah atau buku, kaus, suvenir, kosmetik, sampai gadget.
“Lebih dari sembilan tahun tinggal di luar negeri, tiap pulang ke Indonesia selalu bawa titipan orang-orang,” kata Willy saat ditemui Jawa Pos (Grup Sumut Pos) di salah satu pusat perbelanjaan di kawasan Jakarta Selatan, Kamis (8/5).
Pengalaman Doddy Lukito tidak jauh berbeda. Pria asli Surabaya itu pernah tinggal dan bekerja di Amerika Serikat selama enam tahun (1998-2003). Di Negeri Paman Sam tersebut, Doddy menempuh program master di bidang software engineering di Carnegie Mellon University (CMU), Pittsburg. Setelah lulus, dia sempat bekerja sebagai IT consultant di JP Morgan Chase, New York.
Namun, meski memiliki karir yang cemerlang di negeri orang, Doddy merasa hidupnya monoton. Pria yang enggan menyebutkan usianya itu pun akhirnya memilih pulang ke tanah air pada 2003. Di Indonesia, dia membangun perusahaan IT. Dari situlah dia mengenal Willy.
“Saat masih kuliah di Australia, Willy mengontak perusahaan saya untuk magang selama tiga bulan. Dari situ, saya kenal dia,” ungkap Doddy ketika dihubungi melalui telepon, Jumat (9/5).
Seperti Doddy, Willy juga tidak betah tinggal di Australia. Dia pulang ke Indonesia dan menemui Doddy. Mereka lalu saling tukar pengalaman selama tinggal di luar negeri. Banyak kesamaan pengalaman di antara keduanya. Salah satunya pengalaman sering mendapat titipan barang dari sanak saudara dan teman.
Dari pengalaman “dititipi” itu, akhirnya tercetus ide untuk mendirikan perusahaan start-up yang khusus bergerak di bidang titip-menitip barang dari luar negeri pada awal 2011. Willy menilai, demi suatu kebutuhan dari luar negeri, orang rela membayar mahal. Apalagi jika kebutuhan tersebut berkaitan dengan kesehatan.
“Untuk obat atau vitamin yang mereka butuhkan, klien rela bayar mahal untuk tipnya. Begitu pula yang titip kosmetik atau fashion yang di sini nggak ada,” ujarnya.
Perusahaan itu beroperasi dengan menggunakan website layanan pengiriman barang antarteman atau peer-to-peer courier service. Lewat website, seorang traveler dapat menyampaikan pesan rencana bepergiannya ke negara lain atau suatu kota di Indonesia dalam jangka waktu tertentu. Sang traveler bersedia dititipi barang-barang tertentu, sedangkan sang penitip atau yang biasa disebut requester bisa menyampaikan jenis barang titipannya kepada sang traveler.
“Dari situ biasanya mereka lalu bernegosiasi. Di antaranya untuk menentukan besaran tip bagi traveler. Intinya, kami menjadi mediator antara traveler dan requester,” papar Willy.
Untuk keamanan transaksi, Willy dan Doddy membuat sistem pembayaran yang dinamakan safepay. Bentuknya mirip rekening bersama (rekber). Fitur safepay yang berupa messaging disesuaikan dengan fungsi website.
Melalui safepay, requester akan dikenai biaya 3 persen dari biaya pembayaran barang plus tip bagi traveler. Traveler juga bisa langsung memberitahukan kepada requester apakah bisa memperoleh barangnya secara real time.
“Melalui smartphone, mereka bisa menekan ikon bertulisan “I bought the item already” kalau sudah dapat barangnya atau “cancel this transaction” karena barangnya nggak ada. Semua pemberitahuan akan langsung dikirim ke e-mail requester. Jadi, kami nggak ikut-ikut dalam proses negosiasi ini,” jelasnya.
Sejak didirikan hingga sekarang, respons yang diperoleh bistip.com cukup banyak. Menurut Willy, total member-nya kini sudah mencapai 22 ribu orang. Pria asli Jakarta itu menuturkan, animo traveler maupun requester cukup besar. Transaksi yang terjadi dalam sebulan mencapai Rp50 juta-Rp150 juta. Barang yang dipesan pun beragam. Mulai kosmetik, suvenir, gadget, spare part mesin, camilan, sampai barang-barang ikonik suatu negara.
Bahkan, lanjut Willy, para traveler lantas bisa membuka lapak di bistip. Sebab, mereka menyadari bahwa peminat barang-barang ikonik cukup tinggi. Para traveler bisa mem-posting penawaran barang-barang tersebut di website itu.
“Mereka bisa sekalian jualan di web kami. Mereka sudah tahu barang apa saja yang laku dari luar negeri,” lanjutnya.
Doddy menambahkan, kini jenis barang yang dipesan dari luar negeri juga bergantung pada tren atau mode. Misalnya, ketika di Indonesia tengah booming produk kosmetik Blemish Balm (BB) Cream dari Korea, pesanan untuk produk itu membeludak. Termasuk para anggota komunitas pencinta budaya Korea atau K-Pop.
“Dua tahun lalu itu banyak banget titipan BB Cream,” kata Doddy.
Animo titipan yang tinggi, tambah dia, juga membawa keuntungan lumayan bagi traveler. Bahkan, berdasar pengalaman pribadi, Doddy pernah sampai tidak mengeluarkan uang tiket pesawat karena memperoleh tip yang lumayan besar dari para requester.
“Waktu saya lagi ada bisnis di Singapura, hampir dua minggu sekali saya ke sana. Dari pesanan para requester itulah saya bisa terbang tanpa harus membayar tiket. Bahkan, dari tip itu saya masih bisa mengantongi. Misalnya, ketika banyak yang titip gadget, saya bisa bawa tujuh iPhone dan iPad,” tuturnya.
Doddy tidak mengira antusiasme para requester cukup tinggi. Saat barangnya bisa didapat, dia rela menjemput traveler di bandara. “Namun, saking tingginya antusiasme pengguna bistip, jenis titipan juga aneh-aneh,” kata alumnus jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) itu.
Ayah dua anak itu menuturkan, suatu kali pernah ada seorang ibu yang berniat menitipkan bayinya kepada Doddy yang akan bepergian ke luar kota. Namun, permintaan requester tersebut ditolak mentah-mentah.
“Dia nitip bayinya, tapi nggak ikut pergi. Waduh, itu berisiko banget. Sebenarnya kami siap terima barang apa saja asal nggak ilegal. Tapi, kalau bayi, kami nggak berani ambil risiko,” ujar Doddy lantas terbahak.
Doddy juga pernah mendapat titipan sebuah kotak rokok saat akan bepergian ke Taiwan. Namun, yang mencurigakan, sang requester meminta Doddy tidak membuka isi kotak yang tertutup rapat tersebut. Konon isinya adalah obat sehingga dikhawatirkan terkena udara kalau dibuka. Dia pun merasa waswas. Apalagi tip yang ditawarkan cukup besar: Rp1,5 juta.
“Saya deg-degan. Kalau isinya narkoba, bisa bahaya. Akhirnya saya tolak,” ungkapnya.
Tidak hanya itu, bistip juga pernah mendapat tawaran klien yang ingin menitip uang cash dari Jakarta ke Bangkok. Masalahnya, jumlah duit yang dititipkan sangat banyak, USD 6 juta. “Jujur, kami tidak berani. Risikonya besar.”
Doddy maupun Willy mengaku senang dengan tingginya animo pengguna bistip, meski terkadang ada permintaan yang aneh-aneh. Namun, di antara para pengguna jasa titip-menitip barang itu, ada beberapa yang menolak menggunakan safepay. Akibatnya, ada yang kemudian menjadi korban penipuan.
“Karena itu, kami getol menyosialisasikan penggunaan safepay bagi para pengguna bistip. Nggak apa-apa bayar dikit, tapi aman. Kalau sudah ketipu, kami juga nggak bisa bantu karena kami nggak mungkin tracking orangnya ke mana-mana,” tegas Doddy. (*/c5/ari/jpnn)