25 C
Medan
Friday, October 4, 2024

Nilai Cinta dan Perdamaian Leluhur

Gondang Na Poso pada Pesta Bona Taon 2011

Kebudayaan tradisi tidak hanya memiliki kekayaan secara artistik, tapi juga nilai-nilai yang masih relefan untuk diterapkan pada era globalisasi saat ini. Seperti Gondang Na Poso pada Pesta Bona Taon 2011 yang digelar Aliansi Perjuangan Mahasiswa (Alpamas) Universitas Sumatera Utara (USU) di Pelataran Parkir Fakultas Sastra USU, Sabtu (12/3).

Dibagi dalam dua kelompok, para undangan yang didominasi generasi muda berbaris berhadapan. Pihak panitia (hasuhuton) berbaris di depan panggung bersiap menyambut kelompok undangan di hadapannya. Dengan iringan ensamble Batak (uning-uningan, sarunai, gong) rombongan undangan membawa “santisanti”, persembahan (uang) yang diletakkan di atas piring berisi beras maju menjumpai panitia yang mengarahkan ke lapangan.
Setiba di lapangan, terjadi kegiatan berbalas pantun (umpama) antara undangan dan panitia melalui perwakilan yang ditunjuk. Pada kesempatan itu panitia menyampaikan terimakasih kepada ‘pargonsi’ (pemain musik tradisi dalam masyarakat Batak) sekaligus pemberitahuan kehadiran undangan. Lalu juru bicara kelompok undangan pun meyampaikan maksud dan tujuan kedatangan mereka. Setelah mendapat restu dari panitia, kelompok undangan pun meminta gondang kepada pargonsi untuk mengiringi. Bagaimana dialog begitu penting untuk setiap kegiatan dalam masyarakat Batak.

Diawali gondang mula-mula, dilanjutkan dengan gondang mangaliat, di mana undangan berbaris sembari membawa ‘santisanti’ menari ke hadapan hasuhuton. Lalu undangan yang mau menyerahkan ‘santisanti’ tadi meminta gondang dari lagu kesukaan rombongan. Saat itu biasanya gondang dimainkan dalam durasi yang panjang mengingat penyerahan santisanti juga tidak dengan cepat. Untuk itu hasuhuton pun merayu pemegang ‘santisanti’.
Setelah ‘santisanti’ diserahkan, undangan kembali meminta gondang marhusip untuk menyampaikan maksud dan keinginan dari anggota rombongan kepada anggota hasuhuton. Sesi ini adalah kesempatan untuk saling berkenalan di antara dua kelompok yang berbeda jenis kelamin ini. Karena merasa maksud sudah disampaikan, rombongan undangan mengajak pihak hasuhuton manari bersama dengan iringan gondang yang gembira. Kemudian ditutup dengan gondang hasahatan sembari mengucapkan “horas”.

Seperti yang disampaikan Ketua Pelaksana Pesta Bona Taon 2011 Ucok Haleluya, Gondang Naposo merupakan rangkaian kegiatan yang juga sebagai puncak dari kegiatan selama tiga hari sejak Kamis (10/3). Sekitar 25 undangan dari kelompok muda-mudi turut meramaikan kegiatan. “Kita sangat berterima kasih kepada pihak Rektorat USU dan Dekanat Fakultas Sastra atas dukungannya sehingga kegiatan ini dapat terlaksana. Begitu juga dengan sponsor dan undangan yang tak dapat kami sebut satu per satu,” ucap Ucok dalam kata sambutannya.

Meskipun mengalami banyak perubahan, lanjutnya, panitia mencoba mempertahankan nilai-nilai budaya seperti fungsi acara Gondang Naposo tersebut, tata cara dalam menari (manortor) dan meminta gondang tetap seperti dulu. Termasuk membuka kegiatan dengan rombongan orangtua manortor bersama hasuhuton. Dalam hal ini rombongan adalah Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) pimpinan Thompson HS dan dua maestro Opera Batak Allister Nainggolan dan Zulkaidah Harahap. Selanjutnya, acara pun diserahkan kepada panitia sebagai naposo hasuhuton.
Beberapa rombongan yang turut meramaikan antara lain Black Canal Community, Paduan Suara Mahasiswa (PSM), Komunitas Alumni Budi Mulia Pematang Siantar, Satuan Mahasiswa Ikatan Pemuda Karya FISIP USU, Jah Bless Community, dan Naposo GKPI Pamen Padang Bulan Medan.

Pada dasarnya Gondang Naposo adalah pesta adat yang ditunggu-tunggu muda-mudi masyarakat Batak. Pasalnya, di acara yang dilaksanakan saat terang bulan itu sekaligus ajang mereka mencari pasangan hidup. Setiap rombongan undangan memenuhi panggilan “manortor” selalu membawa persembahan kepada naposo hasuhuton. Bila kasih terjalin, cinta tersambung, maka pihak orang tua yang terus mengamati akan mencatatkan dalam agenda mereka dan melakukan penelusuran lanjutan. Para orang tua tidak bisa membiarkan kisah itu berjalan sendiri dan itu menjadi tanggungjawab yang harus diahkiri baik atau buruk.

Kemampuan berstruktur, kematangan jiwa, ekspresi batin, lobby, diplomasi, kepemimpinan, dan pemupukan persaudaraan sejati tertempa melalui gondang naposo yang mengacu kepada kearifan leluhur. Dan itu sudah dilakukan sejak lama, konon lama sudah ditinggalkan.(*)

Gondang Na Poso pada Pesta Bona Taon 2011

Kebudayaan tradisi tidak hanya memiliki kekayaan secara artistik, tapi juga nilai-nilai yang masih relefan untuk diterapkan pada era globalisasi saat ini. Seperti Gondang Na Poso pada Pesta Bona Taon 2011 yang digelar Aliansi Perjuangan Mahasiswa (Alpamas) Universitas Sumatera Utara (USU) di Pelataran Parkir Fakultas Sastra USU, Sabtu (12/3).

Dibagi dalam dua kelompok, para undangan yang didominasi generasi muda berbaris berhadapan. Pihak panitia (hasuhuton) berbaris di depan panggung bersiap menyambut kelompok undangan di hadapannya. Dengan iringan ensamble Batak (uning-uningan, sarunai, gong) rombongan undangan membawa “santisanti”, persembahan (uang) yang diletakkan di atas piring berisi beras maju menjumpai panitia yang mengarahkan ke lapangan.
Setiba di lapangan, terjadi kegiatan berbalas pantun (umpama) antara undangan dan panitia melalui perwakilan yang ditunjuk. Pada kesempatan itu panitia menyampaikan terimakasih kepada ‘pargonsi’ (pemain musik tradisi dalam masyarakat Batak) sekaligus pemberitahuan kehadiran undangan. Lalu juru bicara kelompok undangan pun meyampaikan maksud dan tujuan kedatangan mereka. Setelah mendapat restu dari panitia, kelompok undangan pun meminta gondang kepada pargonsi untuk mengiringi. Bagaimana dialog begitu penting untuk setiap kegiatan dalam masyarakat Batak.

Diawali gondang mula-mula, dilanjutkan dengan gondang mangaliat, di mana undangan berbaris sembari membawa ‘santisanti’ menari ke hadapan hasuhuton. Lalu undangan yang mau menyerahkan ‘santisanti’ tadi meminta gondang dari lagu kesukaan rombongan. Saat itu biasanya gondang dimainkan dalam durasi yang panjang mengingat penyerahan santisanti juga tidak dengan cepat. Untuk itu hasuhuton pun merayu pemegang ‘santisanti’.
Setelah ‘santisanti’ diserahkan, undangan kembali meminta gondang marhusip untuk menyampaikan maksud dan keinginan dari anggota rombongan kepada anggota hasuhuton. Sesi ini adalah kesempatan untuk saling berkenalan di antara dua kelompok yang berbeda jenis kelamin ini. Karena merasa maksud sudah disampaikan, rombongan undangan mengajak pihak hasuhuton manari bersama dengan iringan gondang yang gembira. Kemudian ditutup dengan gondang hasahatan sembari mengucapkan “horas”.

Seperti yang disampaikan Ketua Pelaksana Pesta Bona Taon 2011 Ucok Haleluya, Gondang Naposo merupakan rangkaian kegiatan yang juga sebagai puncak dari kegiatan selama tiga hari sejak Kamis (10/3). Sekitar 25 undangan dari kelompok muda-mudi turut meramaikan kegiatan. “Kita sangat berterima kasih kepada pihak Rektorat USU dan Dekanat Fakultas Sastra atas dukungannya sehingga kegiatan ini dapat terlaksana. Begitu juga dengan sponsor dan undangan yang tak dapat kami sebut satu per satu,” ucap Ucok dalam kata sambutannya.

Meskipun mengalami banyak perubahan, lanjutnya, panitia mencoba mempertahankan nilai-nilai budaya seperti fungsi acara Gondang Naposo tersebut, tata cara dalam menari (manortor) dan meminta gondang tetap seperti dulu. Termasuk membuka kegiatan dengan rombongan orangtua manortor bersama hasuhuton. Dalam hal ini rombongan adalah Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) pimpinan Thompson HS dan dua maestro Opera Batak Allister Nainggolan dan Zulkaidah Harahap. Selanjutnya, acara pun diserahkan kepada panitia sebagai naposo hasuhuton.
Beberapa rombongan yang turut meramaikan antara lain Black Canal Community, Paduan Suara Mahasiswa (PSM), Komunitas Alumni Budi Mulia Pematang Siantar, Satuan Mahasiswa Ikatan Pemuda Karya FISIP USU, Jah Bless Community, dan Naposo GKPI Pamen Padang Bulan Medan.

Pada dasarnya Gondang Naposo adalah pesta adat yang ditunggu-tunggu muda-mudi masyarakat Batak. Pasalnya, di acara yang dilaksanakan saat terang bulan itu sekaligus ajang mereka mencari pasangan hidup. Setiap rombongan undangan memenuhi panggilan “manortor” selalu membawa persembahan kepada naposo hasuhuton. Bila kasih terjalin, cinta tersambung, maka pihak orang tua yang terus mengamati akan mencatatkan dalam agenda mereka dan melakukan penelusuran lanjutan. Para orang tua tidak bisa membiarkan kisah itu berjalan sendiri dan itu menjadi tanggungjawab yang harus diahkiri baik atau buruk.

Kemampuan berstruktur, kematangan jiwa, ekspresi batin, lobby, diplomasi, kepemimpinan, dan pemupukan persaudaraan sejati tertempa melalui gondang naposo yang mengacu kepada kearifan leluhur. Dan itu sudah dilakukan sejak lama, konon lama sudah ditinggalkan.(*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/