28.9 C
Medan
Wednesday, May 1, 2024

Teroris Bergerak Tanpa Komando, Sulit Dilacak

SUMUTPOS.CO – Mantan narapidana terorisme, Abu Nisa menilai, aksi teror di Surabaya dilakukan grup ISIS. Menurutnya, ISIS memiliki pemahaman takfir, mengkafirkan orang selain dari kelompoknya atau tanjim jamaahnya. Disebutnya, kelompok itu salah menempatkan doktrin “hidup mulia atau mati syahid”.

“Ini rentetan dari Mako Brimob. Jadi mereka membuat pembalasan ini. Bagi mereka, ini dunia perang karena tanjim jamaahnya, JAD sudah banyak ditangkap, bahkan komandannya, Aman Abdurrahman sudah ditangkap,” ungkap Abu Nisa saat diwawancarai Sumut Pos, Senin (14/5) siang.

Lebih lanjut dikatakannya,  kelompok yang melakukan pemboman di Surabaya tidak paham Sirah Nabawiyah. Namun, dia menilai, kelompok itu membawa fatwa dari Syria. Dan saat ini kelompok itu bergerak secara individu, tanpa ada komando sehingga sulit dilacak.

“Kalau di Medan, kemungkinan sel-sel ini tidur. Kalau di Jawa kita tidak tahu. Bisa saja mereka melakukan penyerangan-penyerangan kembali. Karena ini sudah unsur balas dendam,” sambungnya.

Meski begitu, dia menilai skala akibat serangan kelompok itu, tidak besar seperti serangan yang pernah dia lakukan bersama kelompoknya dulu, yakni Bom Bali 1, Bom Bali 2, Bom JW Marriot dan Bom Kedutaan Australia. Selain itu, sebut Abu Nisa, gerakan yang mereka lakukan dulu merupakan pembelaan diri dan target bukan Polisi, TNI dan Pemerintah, melainkan CIA dan FBI di Bali serta musuh-musuh Islam yang ada di Indonesia.

“Kalau kita dalam bentuk sel-sel yang sudah tersusun untuk membela diri. Kita tidak pernah mendahului. Kita didahului dan ketika kita membalas, kita yang kena dan setelah itu kita tidak membalas lagi. Adapun bom Natal, eskalasi supaya kita tidak didahului. Tidak asal bom saja. Kita punya dalil sendiri, ” lanjutnya.

Abu Nisa juga mengakui, sebelumnya dia sempat berpikir kalau aksi ini akan dihabiskan di Mako Brimob saja. Namun ternyata tidak. Menurut Abu Nisa, ini mengindikasikan bahwa serangan yang dilakukan kelompok tersebut tidak berpikir akan kemaslahatan umat yang lebih besar lagi. “Ini kondisinya sudah dekat Ramadan. Banyak fitnah, apalagi nanti sampai disahkan revisi Undang-undang Teroris. Ulama bisa habis ditangkapi. Mereka tidak berpikir arah ke sana. Ini kehancuran gara-gara perbuatan segelintir orang yang mereka anggap benar. Ketika nanti ulama berkata keras sedikit saja, seperti masuk pada Surah At-Taubah, habis kita ditangkapi,” ungkapnya. Disebutnya, permasalahan ini bisa lebih besar, umat akan marah ketika ulama ditangkap. “Bisa perang Indonesia, walau Undang-undang diatur, namun umat tidak akan terima. Seperti Uganda kita terakhirnya. Lebih terpuruknya ketika orang berjenggot melakukan gerakan perlawan, mereka tinggal bilang ini Teroris,” tandasnya.

SUMUTPOS.CO – Mantan narapidana terorisme, Abu Nisa menilai, aksi teror di Surabaya dilakukan grup ISIS. Menurutnya, ISIS memiliki pemahaman takfir, mengkafirkan orang selain dari kelompoknya atau tanjim jamaahnya. Disebutnya, kelompok itu salah menempatkan doktrin “hidup mulia atau mati syahid”.

“Ini rentetan dari Mako Brimob. Jadi mereka membuat pembalasan ini. Bagi mereka, ini dunia perang karena tanjim jamaahnya, JAD sudah banyak ditangkap, bahkan komandannya, Aman Abdurrahman sudah ditangkap,” ungkap Abu Nisa saat diwawancarai Sumut Pos, Senin (14/5) siang.

Lebih lanjut dikatakannya,  kelompok yang melakukan pemboman di Surabaya tidak paham Sirah Nabawiyah. Namun, dia menilai, kelompok itu membawa fatwa dari Syria. Dan saat ini kelompok itu bergerak secara individu, tanpa ada komando sehingga sulit dilacak.

“Kalau di Medan, kemungkinan sel-sel ini tidur. Kalau di Jawa kita tidak tahu. Bisa saja mereka melakukan penyerangan-penyerangan kembali. Karena ini sudah unsur balas dendam,” sambungnya.

Meski begitu, dia menilai skala akibat serangan kelompok itu, tidak besar seperti serangan yang pernah dia lakukan bersama kelompoknya dulu, yakni Bom Bali 1, Bom Bali 2, Bom JW Marriot dan Bom Kedutaan Australia. Selain itu, sebut Abu Nisa, gerakan yang mereka lakukan dulu merupakan pembelaan diri dan target bukan Polisi, TNI dan Pemerintah, melainkan CIA dan FBI di Bali serta musuh-musuh Islam yang ada di Indonesia.

“Kalau kita dalam bentuk sel-sel yang sudah tersusun untuk membela diri. Kita tidak pernah mendahului. Kita didahului dan ketika kita membalas, kita yang kena dan setelah itu kita tidak membalas lagi. Adapun bom Natal, eskalasi supaya kita tidak didahului. Tidak asal bom saja. Kita punya dalil sendiri, ” lanjutnya.

Abu Nisa juga mengakui, sebelumnya dia sempat berpikir kalau aksi ini akan dihabiskan di Mako Brimob saja. Namun ternyata tidak. Menurut Abu Nisa, ini mengindikasikan bahwa serangan yang dilakukan kelompok tersebut tidak berpikir akan kemaslahatan umat yang lebih besar lagi. “Ini kondisinya sudah dekat Ramadan. Banyak fitnah, apalagi nanti sampai disahkan revisi Undang-undang Teroris. Ulama bisa habis ditangkapi. Mereka tidak berpikir arah ke sana. Ini kehancuran gara-gara perbuatan segelintir orang yang mereka anggap benar. Ketika nanti ulama berkata keras sedikit saja, seperti masuk pada Surah At-Taubah, habis kita ditangkapi,” ungkapnya. Disebutnya, permasalahan ini bisa lebih besar, umat akan marah ketika ulama ditangkap. “Bisa perang Indonesia, walau Undang-undang diatur, namun umat tidak akan terima. Seperti Uganda kita terakhirnya. Lebih terpuruknya ketika orang berjenggot melakukan gerakan perlawan, mereka tinggal bilang ini Teroris,” tandasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/