
Syamsul dan istrinya, Radika, saat hendak menuju mobil Honda Jazz miliknya, hendak ke kantor polisi. Pasangan ini dituding melakukan penganiayaan terhadap pekerjanya, Kamis (27/11/2014).
Parlindungan Harahap-M Idris, Medan
Imej Syamsul dan Randika sudah telanjur negatif. Setidaknya, status tersangka yang disematkan oleh kepolisian telah membuat mereka dicap sadis, pembunuh, bahkan sampai tukang mutilasi. Pihak keluarga keberatan dengan itu. Mereka malah menganggap Syamsul dan Randika sebagai korban dari ‘ulah’ polisi.
“Saya tidak yakin dia itu membunuh. Saya mengenali betul watak Syamsul, meski saat ini tak tinggal serumah lagi. Dia itu orangnya sangat penyayang dan jujur. Dia juga gentleman, tak takut menghadapi suatu masalah,” ungkap abang kandung Syamsul, H Ahmad Parwez saat ditemui Sumut Pos di kediamannya, Jalan Tuamang, Medan Tembung, kemarin sore.
Ia menceritakan, semasa anak-anak hingga tumbuh dewasa, Syamsul tak mempunyai apapun kelainan. Sifat dan wataknya tak jauh beda seperti orang pada umumnya. Malahan, dia suka memberi dan berbagi kepada orang lain.
Dikatakannya, dalam didikan keluarganya tak pernah ditanamkan sifat yang keras dan kasar, apalagi menggunakan kekerasan. “Orangtua kami selalu menanamkan rasa kasih sayang terhadap sesama yang amat erat dan hindari kekerasan. Jika kami salah, kekerasan bukanlah jawabannya,” jelas Parwez.
Menurutnya, sifat Syamsul tak jauh beda dengan orang umumnya. Jika ada orang yang datang dengan cara tidak benar, pasti dilawannya. “Dia orangnya juga enggak pernah usil. Artinya, dia tak pernah mengurusi kehidupan orang lain. Dia enggak peduli orang lain mau bagaimana, asalkan jangan sampai mengganggunya. Karena, pasti dia marah dan semua orang juga seperti itu,” sebutnya.
Disinggung melihat pemberitaan selama ini mengindikasikan sosok Syamsul yang keras dan temperamen, Parwez menepisnya. “Sepengetahuan saya sifat keras dan temperamen tidak ada dalam wataknya. Mungkin kedua sifat itu muncul disebabkan karena hak-haknya ‘dirampas’. Atau mungkin juga dia merasa tersudutkan bahkan dipojokkan dalam sesuatu hal. Tetapi, saya rasa juga semua orang seperti itu,” ucapnya.
Saat disinggung soal perbuatan yang saat ini disangkakan pada Syamsul, disebut pria berjanggut itu kalau pihaknya tidak akan menghalangi dan bersedia Syamsul diproses sesuai hukum yang berlaku. Namun, dikatakannya kalau pihaknya merasa terzalimi dengan tudingan berlebihan dari pihak kepolisian, yang seakan membentuk opini publik. Termasuk pembongkaran rumah Syamsul, dikatakannya sangat tidak beralasan.
“Rumah itu dulu dibeli dari seorang bernama Misnan. Sekarang si Misnan itu tinggal di Jakarta. Sejak rumah itu dibeli, tidak pernah dibongkar, termasuk lantainya dan itu akan kami buktikan. Terlebih, setelah 2 hari menggali dan tidak menemukan bukti, mereka melakukan penyedotan. Saya tidak menuduh, namun di belakang rumah itu, sekitar 70 meter, memang ada perkuburan Muslim, ” sambungnya.
Dia juga mengatakan Syamsul sudah tidak lagi menggunakan CV Maju Jaya, sejak izin operasi CV itu habis. Bahkan, dikatakannya kalau hal itu sudah diketahui polisi karena Syamsul memang pernah berurusan dengan Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Sat Reskrim Polresta Medan. Disebutnya, saat itu Polisi tidak dapat berbuat banyak karena Syamsul menunjukkan bukti bahwasanya perusahaan yang digunakannya dalam penyaluran tenaga kerja adalah PT Bayu Arfan.
” Kenapa CV Maju Jaya yang terus diangkat Polisi. Supaya menunjukkan kalau perbuatannya sudah salah dari mulai perusahaannya. Padahal Polisi tahu kalau Syamsul menggunakan PT Bayu Arfan dalam menjalankan usaha sampingannya. Kalau usaha tetap Syamsul itu, sama seperti saya yaitu menjual batu permata. Namun Syamsul terkenal dengan batu permata asal Srilangka, ” lanjutnya.
Parwez mengutarakan, selain masa kecil hingga dewasa hidup bersama, sesudah memiliki keluarga pun mereka pernah tinggal satu lokasi. Dirinya dan Syamsul tinggal berdempetan rumah sewaktu berdomisili di Jalan Sei Kera Gang Gelatik. Selama 9 tahun hidup berdampingan dengan keluarga masing-masing.
“Syamsul itu menikah tahun 1995. Setelah itu, tahun 1996 kami tinggal satu lokasi selama kurang lebih 9 tahun (1996-2004). Dia sungguh luar biasa sayangnya terhadap anak-anaknya. Bahkan, memukul anaknya sekalipun tak pernah,” akunya.
Jikalau Syamsul tempramen, lanjut Parwez, pasti anak-anaknya sudah dipukul, tetapi ini tidak. “Jadi, jika Syamsul dibilang kejam dan sadis, saya rasa salah menilai,” sambungnya.
Ia menyebut, kebanyakan PRT yang dibawa Syamsul ke Medan dan dirinya juga pernah menggunakan jasanya, ternyata bermasalah. Rata-rata kebanyakan ada ‘kurang-kurangnya’. “Mungkin karena terpancing emosinya karena adanya kekurangan itu, sehingga dia secara tak sadar sifatnya menjadi keras atau tempramen,” papar Parwez.
Mengenai pekerjaannya, lebih lanjut Parwez mengatakan, bisnis batu permata yang menjadi mata pencaharian pokok dalam menghidupi keluarga. Kalau bisnis penyalur tenaga kerja hanya sampingan saja.
“Orangtua kami menurunkannya kepada kami semua, termasuk juga Syamsul. Dia mulai bisnis itu sejak umur 17 tahun. Kami sekeluarga hampir rata-rata bisnis batu permata,” katanya sembari menambahkan, mungkin karena dia tak punya toko dan langganannya terbatas, sehingga terkesan tak serius menggeluti bisnis batu permata itu.
Disinggung apakah ada bisnis lain seperti jual beli kendaraan atau rumah dan lainnya, Parwez menyebut tidak pernah ada. Terkecuali dia ini mengganti kendaraan atau ingin punya rumah, pasti membelinya tetapi tidak untuk dijadikan bisnis.
Lalu bagaimana dengan sang istri? Habib Qodrat Sah alias Musa, abang kandung Bibi Randika saat ditemui Sumut Pos di kawasan Jalan Perdana, Sabtu (13/12) malam, memberikan penjelasan. ” Adik saya itu lahir di Bangil Pasuruan Jawa Timur pada 25 Desember 1979. Dia anak ke 4 dari 5 bersaudara. Dia itu, termasuk anak yang taat. Dulu, rutinitasnya, pagi dia pergi sekolah, setelah pulang di rumah saja membantu orangtua, ” ungkap Musa.
Randika dulunya bersekolah di Sekolah Dasar Madrasah Sabilul Falah. Saat duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, Randika belajar di Madrasah Tsanawiyah Maarif. Namun, pada 1995, anak kandung pasangan Almarhum Ali Syah dan Almarhumah Rihima Bibi itu dilamar dan menikah dengan Syamsul Anwar, saat Randika masih duduk di bangku kelas 3 SMP. Setelah itu, Randika dan Syamsul Anwar tinggal di Jalan Sei Kera Gang Gelatik Kecamatan Medan Perjuangan, dibeli dari seorang bernama Misnan.
“Sekitar 2005, barulah mereka pindah ke rumah di Jalan Angsa Simpang Jalan Beso Kecamatan Medan Timur. Kalau untuk kerjaan, setahu saya dulu si Syamsul bekerja sebagai penjual batu permata. Kalau untuk penyaluran pembantu rumah tangga, sebenarnya dulu itu usaha saya, ” sambung Musa.
Saat disinggung soal perbuatan Randikan dan Syamsul Anwar, disebut Musa kalau hal itu tidak dipungkiri pihaknya berdasarkan bukti dan pengakuan para tersangka. Namun, Musa mengaku kalau hal itu di luar dari pengetahuannya. Disebutnya, dirinya melihat perubahan sikap Randika menjadi pemarah sejak beberapa waktu lalu saat penyakit gula yang diderita semakin parah. Bahkan, disebut Musa kalau sejak itu, dirinya juga pernah dimarahi oleh Randika.
“Saya baru menikah, semua biaya, ditanggung sama Syamsul dan Randika. Begitulah mereka bersaudara itu. Namun, karena penyakit gulanya kambuh, saya pernah dikasarinya. Namun, semua itu dapat saya maklumi, ” jelas Musa.
Saat disinggung aksi kekerasan dan pemukulan yang dilakukan Bibi Randika, diakui Musa kalau dirinya memang pernah melihat hal itu. Namun, dikatakannya kalau pemukulan yang pernah dilihatnya itu, bukan penganiayaan, melainkan teguran Bibi Randika terhadap pembantunya, yang disebutnya tidak becus dalam bekerja. (rbb)