30 C
Medan
Thursday, May 16, 2024

Murid-murid Terpaksa Arungi Sungai

Murid MTsN Barus Kabupaten Tapteng terpaksa seberangi Sungai Aek Sirahar untuk pergi ke sekolah.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Begitu besar tantangan yang harus dilalui murid Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Barus Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng). Bayangkan, untuk sampai ke sekolah, sebagian besar muridnya harus melalui Sungai Aek Sirahar. “Kalau air lagi surut anak-anak bisa melaluinya dengan berjalan kaki, tapi kalau sudah air pasang terpaksa mereka menggunakan rakit,” kata Kepala Sekolah (Kasek) MTsN Barus, Irfan Pasaribu kepada Sumut Pos via telepon, Minggu (14/5) pagi

Irfan menceritakan, biasanya air sungai pasang itu terjadi di saat hujan deras. Para siswa terpaksa menumpangi rakit yang hanya bermuatan enam orang. Itu dilakukan secara bergantian. “Rakit itu sengaja disediakan masyarakat setempat untuk mereka,” jelasnya.

Kondisi itu menurut Irfan sudah dialami para murid sejak jembatan gantung penghubungkan Desa Bungotanjung dan Kampung Mudik hancur dihantam banjir bandang pada 22 Maret 2016 lalu.

“Keadaan ini sudah saya sampaikan pada pihak terkait, namun belum ada tindak lanjutnya, saya sangat prihatin dan khawatir sejak banjir bandang mengahncurkan jembatan penghubung dua desa tersebut,” ujarnya.

Kata Irfan sebagian besar muridnya tinggal di Desa Uratan, Ladangtengah, Labotua dan Uratan yang berjarak 10 kilometer (km) hingga 20 km dari sekolah MTsN Barus.

“Setiap hari murid-murid itu pergi ke sekolah dengan berjalan kaki, saya sangat khawatir dengan kelelahan yang dialami mereka apalagi harus mengarungi sungai seluas sekitar 100 meter, terlebih di saat pulang sekolah, padahal mereka itukan anak Bangsa, tapi mengapa harus mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkan pendidikan,” urainya.

Diakui Irfan bahwa jembatan gantung yang hancur dihantam banjir bandang itu sebenarnya bukanlah akses satu-satunya di Barus, masih ada jembatan lain di Desa Sihorbo. Namun, untuk melalui jembatan tersebut anak-anak harus menempuh perjalanan sekitar 30 km. Jelas, kondisi itu menurut Irfan sangat tidak memungkinkan bagi murid-murid melalui jembatan yang ada di Desa Sihorbo, mengingat jarak tempuhnya semakin jauh.

“Kadang saya berpikir, jam berapa murid-murid saya itu bangun, kalau masuk kelas pukul 07.15 WIB, sementara mereka harus menempuh perjalanan sekitar 20 kilometer, dan bagaimana lagi kalau mereka lewat jembatan di Sihorbo, jam berapa lagi itu harus bangun,” tambah Irfan.

Murid MTsN Barus Kabupaten Tapteng terpaksa seberangi Sungai Aek Sirahar untuk pergi ke sekolah.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Begitu besar tantangan yang harus dilalui murid Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Barus Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng). Bayangkan, untuk sampai ke sekolah, sebagian besar muridnya harus melalui Sungai Aek Sirahar. “Kalau air lagi surut anak-anak bisa melaluinya dengan berjalan kaki, tapi kalau sudah air pasang terpaksa mereka menggunakan rakit,” kata Kepala Sekolah (Kasek) MTsN Barus, Irfan Pasaribu kepada Sumut Pos via telepon, Minggu (14/5) pagi

Irfan menceritakan, biasanya air sungai pasang itu terjadi di saat hujan deras. Para siswa terpaksa menumpangi rakit yang hanya bermuatan enam orang. Itu dilakukan secara bergantian. “Rakit itu sengaja disediakan masyarakat setempat untuk mereka,” jelasnya.

Kondisi itu menurut Irfan sudah dialami para murid sejak jembatan gantung penghubungkan Desa Bungotanjung dan Kampung Mudik hancur dihantam banjir bandang pada 22 Maret 2016 lalu.

“Keadaan ini sudah saya sampaikan pada pihak terkait, namun belum ada tindak lanjutnya, saya sangat prihatin dan khawatir sejak banjir bandang mengahncurkan jembatan penghubung dua desa tersebut,” ujarnya.

Kata Irfan sebagian besar muridnya tinggal di Desa Uratan, Ladangtengah, Labotua dan Uratan yang berjarak 10 kilometer (km) hingga 20 km dari sekolah MTsN Barus.

“Setiap hari murid-murid itu pergi ke sekolah dengan berjalan kaki, saya sangat khawatir dengan kelelahan yang dialami mereka apalagi harus mengarungi sungai seluas sekitar 100 meter, terlebih di saat pulang sekolah, padahal mereka itukan anak Bangsa, tapi mengapa harus mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkan pendidikan,” urainya.

Diakui Irfan bahwa jembatan gantung yang hancur dihantam banjir bandang itu sebenarnya bukanlah akses satu-satunya di Barus, masih ada jembatan lain di Desa Sihorbo. Namun, untuk melalui jembatan tersebut anak-anak harus menempuh perjalanan sekitar 30 km. Jelas, kondisi itu menurut Irfan sangat tidak memungkinkan bagi murid-murid melalui jembatan yang ada di Desa Sihorbo, mengingat jarak tempuhnya semakin jauh.

“Kadang saya berpikir, jam berapa murid-murid saya itu bangun, kalau masuk kelas pukul 07.15 WIB, sementara mereka harus menempuh perjalanan sekitar 20 kilometer, dan bagaimana lagi kalau mereka lewat jembatan di Sihorbo, jam berapa lagi itu harus bangun,” tambah Irfan.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/