27.8 C
Medan
Monday, May 20, 2024

Mahfud MD: Korupsi Marak Bukti Gagalnya Reformasi

MEDAN-Reformasi bergulir menjatuhkan rezim orde baru ternyata gagal memberantas korupsi kolusi dan nepotisme KKN di Indonesia.

Penegakkan demokrasi, hukum dan hak asasi juga tidak berjalan. Korupsi masih berlangsung bahkan banyak terjadi di Indonesia.

Hal itu disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Dr. Mohammad Mahfud MD, SH, SU dalam temu wicara dengan para tokoh masyarkat dan guru pendidikan kewarganegaraan di Rahmat Internatoinal Wildfile Museum and Gallery, Jalan S Parman Medan.

“Reformasi belum mampu menghapuskan KKN, menegakkan demokrasi, hukum dan memberikan perlindungan hak asasi,” kata Mahfud yang mengatakan korupsi masih berlangsung di birokrasi pemerintah.

Ada beberapa hal yang mendasar penyebab kegagalan reformasi membangun Indonesia dan memberantas KKN sebagaiamana cita-cita reformasi. Semangat reformasi yang berkobar mampu menggulingkan pemerintahan orde baru.
Namun kenyataanya pemangkasan itu hanya terjadi di tingkat atas, pimpinan. Sedangkan sistem yang dibangun Orba sudah menjalar ke seluruh elemen, sampai ke pemerintahan di tingkat bawah.

“Tidak adanya reformasi di sistem membuat yang terpangkas hanya pada pucuk semata. Sedangkan di bawah. Hal itu belum terjamah. KKN birokrasi terus berlangsung dan semakin banyak kasusnya,” sebutnya.
Korupsi di birokrasi, lanjut Mahfud, menjadi biasa ketika kita mendengar pengusaha urung menginvestasikan modalnya hanya karena birokrasi yang berbelit. “Urusan selesai dengan pengeluaran yang tidak jelas pada itu merupakan bentuk korupsi,” katanya.

Politik Indonesia dibangun dengan dengan megatasnamakan demokrasi. Namun pada kenyataanya, tidak ada seleksi demokrasi di Indonesia, sehingga politikus yang berperan di masa orba kembali mengambil peran di masa reformasi.
Mereka mengalaskan pemikiran perubahan padahal kekuaran orba sudah kental pada dirinya.Hal ini bisa dilihat dengan banyaknya tokoh parpol Orba pindah parpol atau membantuk parpol baru dan menyebutkan tidak terlibat Orba. Kenyataanya, sistem Orba masih berlangsung dan tidak memberikan perubahan.
“Masih sama saat ini dengan masa orde baru. Kebebasan politik tidak memiliki filter sehingga seleksi kepemimpinan tidak terjadi,” katanya.

Mengenai persoalan itu, pertanyaanya, lanjut Mahfud, “Apakah perlu adanya pemangkasan generasi. Sehingga henerasi yang sudah ‘dicekoki’ sistem orba terpangkas?”.

Mahfud mencontohkan negara yang memangkas generasi. Dimana ada hukum yang mengikat jika pemain lama membuat kesalahan akan mendapatkan hukuman pemberhetian. Misalnya terjadi di negara Latvia-Eropa Timur.
Masih mengenai demokrasi, pemain baru di era reformasi tidak memiliki visi yang jelas dan kuat. Dimana korupsi di terjadi mengandung makna ‘bergantian’. “Kini saatnya melakukan korupsi. Dulu saya tidak kebagian,” ucap Mahfud mengutarakan pemikirannya.

Dengan pemikiran itu, dalam mencapai kedudukan politikus melakukan segala cara. “Apapun dilakukan untuk mendapatkan kedudukan. Baik di pemerintahan maupun jabatan politik,” katanya.

Dengan visi dan misi yang tak jelas di era reformasi itu praktik korupsi pun kembali terjadi. Ditambah adanya pengaruh dari pemain lama sehingga korupsi berlangsung turun temurun.

Pun demikian, lanjut Mahfud, masyarkat tidak langsung apatis dengan masih belum berjalannya penegajkkan reformasi sebagaiaman yang dicita-citakan. Pasalnya, Amerika Serikat butuh 200 tahun membangun negaranya. Sedangkan Indonesia masih muda dibadingkan hal itu.

“Bukan berarti seperti Amerika. Perubahan di Indonesia dapat sesegera mungkin jika semua elemen masyarakat dan pemerintah mau bekerjasama dan memiliki mental yang tegas dalam membangun pemerintahan yang bersih,” kata Mahfud.(rud)

MEDAN-Reformasi bergulir menjatuhkan rezim orde baru ternyata gagal memberantas korupsi kolusi dan nepotisme KKN di Indonesia.

Penegakkan demokrasi, hukum dan hak asasi juga tidak berjalan. Korupsi masih berlangsung bahkan banyak terjadi di Indonesia.

Hal itu disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Dr. Mohammad Mahfud MD, SH, SU dalam temu wicara dengan para tokoh masyarkat dan guru pendidikan kewarganegaraan di Rahmat Internatoinal Wildfile Museum and Gallery, Jalan S Parman Medan.

“Reformasi belum mampu menghapuskan KKN, menegakkan demokrasi, hukum dan memberikan perlindungan hak asasi,” kata Mahfud yang mengatakan korupsi masih berlangsung di birokrasi pemerintah.

Ada beberapa hal yang mendasar penyebab kegagalan reformasi membangun Indonesia dan memberantas KKN sebagaiamana cita-cita reformasi. Semangat reformasi yang berkobar mampu menggulingkan pemerintahan orde baru.
Namun kenyataanya pemangkasan itu hanya terjadi di tingkat atas, pimpinan. Sedangkan sistem yang dibangun Orba sudah menjalar ke seluruh elemen, sampai ke pemerintahan di tingkat bawah.

“Tidak adanya reformasi di sistem membuat yang terpangkas hanya pada pucuk semata. Sedangkan di bawah. Hal itu belum terjamah. KKN birokrasi terus berlangsung dan semakin banyak kasusnya,” sebutnya.
Korupsi di birokrasi, lanjut Mahfud, menjadi biasa ketika kita mendengar pengusaha urung menginvestasikan modalnya hanya karena birokrasi yang berbelit. “Urusan selesai dengan pengeluaran yang tidak jelas pada itu merupakan bentuk korupsi,” katanya.

Politik Indonesia dibangun dengan dengan megatasnamakan demokrasi. Namun pada kenyataanya, tidak ada seleksi demokrasi di Indonesia, sehingga politikus yang berperan di masa orba kembali mengambil peran di masa reformasi.
Mereka mengalaskan pemikiran perubahan padahal kekuaran orba sudah kental pada dirinya.Hal ini bisa dilihat dengan banyaknya tokoh parpol Orba pindah parpol atau membantuk parpol baru dan menyebutkan tidak terlibat Orba. Kenyataanya, sistem Orba masih berlangsung dan tidak memberikan perubahan.
“Masih sama saat ini dengan masa orde baru. Kebebasan politik tidak memiliki filter sehingga seleksi kepemimpinan tidak terjadi,” katanya.

Mengenai persoalan itu, pertanyaanya, lanjut Mahfud, “Apakah perlu adanya pemangkasan generasi. Sehingga henerasi yang sudah ‘dicekoki’ sistem orba terpangkas?”.

Mahfud mencontohkan negara yang memangkas generasi. Dimana ada hukum yang mengikat jika pemain lama membuat kesalahan akan mendapatkan hukuman pemberhetian. Misalnya terjadi di negara Latvia-Eropa Timur.
Masih mengenai demokrasi, pemain baru di era reformasi tidak memiliki visi yang jelas dan kuat. Dimana korupsi di terjadi mengandung makna ‘bergantian’. “Kini saatnya melakukan korupsi. Dulu saya tidak kebagian,” ucap Mahfud mengutarakan pemikirannya.

Dengan pemikiran itu, dalam mencapai kedudukan politikus melakukan segala cara. “Apapun dilakukan untuk mendapatkan kedudukan. Baik di pemerintahan maupun jabatan politik,” katanya.

Dengan visi dan misi yang tak jelas di era reformasi itu praktik korupsi pun kembali terjadi. Ditambah adanya pengaruh dari pemain lama sehingga korupsi berlangsung turun temurun.

Pun demikian, lanjut Mahfud, masyarkat tidak langsung apatis dengan masih belum berjalannya penegajkkan reformasi sebagaiaman yang dicita-citakan. Pasalnya, Amerika Serikat butuh 200 tahun membangun negaranya. Sedangkan Indonesia masih muda dibadingkan hal itu.

“Bukan berarti seperti Amerika. Perubahan di Indonesia dapat sesegera mungkin jika semua elemen masyarakat dan pemerintah mau bekerjasama dan memiliki mental yang tegas dalam membangun pemerintahan yang bersih,” kata Mahfud.(rud)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/