26.7 C
Medan
Saturday, May 25, 2024

Nilai Jaminan Lebih Tinggi dari Permohonan Kredit

Sidang Kasus Kredit di BNI SKM Medan

MEDAN- Perjanjian kredit antara BNI SKM Medan dan PT Bahari Dwi Kencana Lestari (BDKL) sudah sesuai prosedur. Bahkan pembayaran kredit hingga kini masih berjalan. Hal itu disampaikan Mashkuri selaku Commersial Relationship Manager BNI Sentra Kecil Menengah (SKM) Medan, yang dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Medan, Senin (17/12) atas perkara jaminan kredit tidak terpasang di Bank BNI SKM Medan
Mashkuri yang pada saat itu menjabat Credit Officer (CO) di Bank BNI SKM Medan mengaku, pengajuan permohonan kredit yang dilakukan Boy Hermansyah selaku Direktur PT BDKL terhadap BNI SKM Medan, disertai pemberian jaminan pokok. Di antaranya jaminan SHGB 02 atas nama PT BDKL yang di atasnya ada kebun kelapa sawit. Kemudian HGU 102 yakni tanah dan perkebunan kelapa sawit seluas 3.445 hektare di Desa berandang Aceh Timur atas nama PT Atakana. Bahkan menurutnya, nilai jaminan lebih tinggi dari pada permohonan kredit.

“Saya pernah memproses kredit PT BDKL, pada saat itu posisi saya Credit Officer. Finalisasi November 2010 untuk mengajukan fasilitas PT Modal Kerja maksimum Rp23 miliar. Lalu kredit Rp20 miliar, kredit investasi untuk pembelian kebun kelapa sawit maksimum Rp74,5 miliar. Kredit investasi untuk rehabilitasi maksimum Rp11,5 miliar, di mana total pengajuannya ke BNI mencapai Rp129 miliar. Tapi pencairan yang disetujui totalnya Rp117,5 miliar, karena yang Rp11,5 miliar itu tidak cair,” ujar saksi.

Disebutkannya, untuk jaminan kebun, setelah dianalisa dinyatakan layak karena kondisi kebun hasilnya dengan produksi 100 ton per hari dan memiliki letak strategis. Dari situ pihaknya berpikir wajar pinjaman dipertimbangkan.

Saksi mengaku, pencairan dana pinjaman di luar kewenangannya. Banyak tahapan yang harus dilalui untuk pencairan. Terutama kelayakan aspek usaha, aspek manageman, dan legalitas PT BDKL, aspek keuangan, aspek jaminan, dan lainnya.

“Setahu saya, total dana yang sudah dicairkan Rp117,5 miliar. Tugas saya di antaranya menyusun aplikasi kredit, formulir analisa keuangan, formulir agunan, aspek usaha debitur industri dan perkebunan kelapa sawit. Nah, setelah saya analisis ternyata layak untuk dipertimbangkan,” jelasnya.
Saksi menambahkan, tahap pencairan harus melalui tiga pejabat, yakni Titin Indriani selaku Relationship BNI SKM Medan yang menyusun tahapannya, lalu Darul Azli selaku pimpinan Kelompok Pemasaran Bisnis BNI Pemuda Medan akan memberikan pendapat. Selanjutnya akan dibahas oleh Radiyasto selaku Pimpinan Sentra Kredit Menengah BNI Pemuda Medan yang kemudian menyetujuinya.

“Permohonan kredit saya peroleh dari Titin, lalu diserahkan ke saya, lalu diserahkan ke Titin lagi. Kredit ini sudah kewenangan SKM, maka keputusannya juga di direksi. Saya hanya menganalisa seluruh dokumen-dokumen yang diberikan. Syarat-syarat yang diajukan dipenuhi semua. Dalam memorandum analisa kredit, kesimpulannya permohonan yang diajukan PT BDKL bisa dipertimbangkan. Lalu dilakukan ikhtisar pengusulan kredit oleh BDKL. Di tahap ini dilakukan pimpinan SKM,” terangnya.

Menurut saksi, pembayaran kredit tersebut hingga kini masih lancar. Jika kelak kredit macet, maka pihak BNI akan menyita agunan dengan berbagai tahapan. “Saat itu, hasil BI Checking yang saya lakukan terhadap PT BDKL lancar tidak ada masalah. Tidak ada tunggakan sama sekali dari PT BDKL. Setau saya kreditnya masih berjalan. Saya juga nggak tau permasalahannya di mana,” ujar saksi.

Sementara itu, saksi Shahjehan Jimmy Azis yang saat itu menjabat sebagai Pimpinan BNI SKM Medan mengaku, kredit pinjaman PT Atakana sendiri mulai mengalami kemacetan pada Juni 2010.

Karena itu, BNI SKM Medan berupaya mengeksekusi jaminan, dengan melelang agunan berupa kebun seluas 3.445 hektare, guna pelunasan atas kredit PT Atakana Group tersebut.

Namun M.Aka selaku Dirut PT Atakana berkeberatan dengan upaya lelang tersebut, dan memohon agar agunan SHGU No. 102 dapat dijual di bawah tangan. Alasannya, PT Atakana memiliki calon pembeli.

“M.Aka memang pernah menemui saya. Kita juga pernah menyuratinya sebagai teguran serta berupaya mengeksekusi jaminan, dengan melelang agunan berupa kebun seluas 3.445 hektare guna pelunasan atas kredit PT Atakana Group tersebut. Tapi, M.Aka bilang bahwa pihaknya sudah ada calon pembeli. Dia tidak mengatakan sudah sejauh mana proses jual beli nya kepada Boy Hermansyah. Kami juga tidak pernah bertemu dengan calon pembelinya itu. Saya tidak tahu kalau yang punya saham di PT Atakana itu ada empat orang,” bebernya.

Sementara itu, Hotma Ruma Pangaribuan, saksi yang diajukan JPU berasal dari Bank Mandiri ini, ternyata mengaku tidak tahu apa-apa. Karena pada saat kejadian, dia masih bertugas di Bank Mandiri Banjarmasin.

Adapun saksi lain yang diajukan, yakni Arif Hartono yang juga pegawai PT BDKL, ngotot menyatakan, bahwa jual beli SHGU 102 sudah berjalan dan PT BDKL sudah melakukan pembayaran atas pembelian kebun langsung kepada para pemegang saham PT Atakana Company. Sebagian lagi dilakukan dengan cara membayarkan hutang-hutang Atakana grup di BNI dan pihak ketiga lainnya yang memiliki tagihan kepada Atakana. (far)

Sidang Kasus Kredit di BNI SKM Medan

MEDAN- Perjanjian kredit antara BNI SKM Medan dan PT Bahari Dwi Kencana Lestari (BDKL) sudah sesuai prosedur. Bahkan pembayaran kredit hingga kini masih berjalan. Hal itu disampaikan Mashkuri selaku Commersial Relationship Manager BNI Sentra Kecil Menengah (SKM) Medan, yang dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Medan, Senin (17/12) atas perkara jaminan kredit tidak terpasang di Bank BNI SKM Medan
Mashkuri yang pada saat itu menjabat Credit Officer (CO) di Bank BNI SKM Medan mengaku, pengajuan permohonan kredit yang dilakukan Boy Hermansyah selaku Direktur PT BDKL terhadap BNI SKM Medan, disertai pemberian jaminan pokok. Di antaranya jaminan SHGB 02 atas nama PT BDKL yang di atasnya ada kebun kelapa sawit. Kemudian HGU 102 yakni tanah dan perkebunan kelapa sawit seluas 3.445 hektare di Desa berandang Aceh Timur atas nama PT Atakana. Bahkan menurutnya, nilai jaminan lebih tinggi dari pada permohonan kredit.

“Saya pernah memproses kredit PT BDKL, pada saat itu posisi saya Credit Officer. Finalisasi November 2010 untuk mengajukan fasilitas PT Modal Kerja maksimum Rp23 miliar. Lalu kredit Rp20 miliar, kredit investasi untuk pembelian kebun kelapa sawit maksimum Rp74,5 miliar. Kredit investasi untuk rehabilitasi maksimum Rp11,5 miliar, di mana total pengajuannya ke BNI mencapai Rp129 miliar. Tapi pencairan yang disetujui totalnya Rp117,5 miliar, karena yang Rp11,5 miliar itu tidak cair,” ujar saksi.

Disebutkannya, untuk jaminan kebun, setelah dianalisa dinyatakan layak karena kondisi kebun hasilnya dengan produksi 100 ton per hari dan memiliki letak strategis. Dari situ pihaknya berpikir wajar pinjaman dipertimbangkan.

Saksi mengaku, pencairan dana pinjaman di luar kewenangannya. Banyak tahapan yang harus dilalui untuk pencairan. Terutama kelayakan aspek usaha, aspek manageman, dan legalitas PT BDKL, aspek keuangan, aspek jaminan, dan lainnya.

“Setahu saya, total dana yang sudah dicairkan Rp117,5 miliar. Tugas saya di antaranya menyusun aplikasi kredit, formulir analisa keuangan, formulir agunan, aspek usaha debitur industri dan perkebunan kelapa sawit. Nah, setelah saya analisis ternyata layak untuk dipertimbangkan,” jelasnya.
Saksi menambahkan, tahap pencairan harus melalui tiga pejabat, yakni Titin Indriani selaku Relationship BNI SKM Medan yang menyusun tahapannya, lalu Darul Azli selaku pimpinan Kelompok Pemasaran Bisnis BNI Pemuda Medan akan memberikan pendapat. Selanjutnya akan dibahas oleh Radiyasto selaku Pimpinan Sentra Kredit Menengah BNI Pemuda Medan yang kemudian menyetujuinya.

“Permohonan kredit saya peroleh dari Titin, lalu diserahkan ke saya, lalu diserahkan ke Titin lagi. Kredit ini sudah kewenangan SKM, maka keputusannya juga di direksi. Saya hanya menganalisa seluruh dokumen-dokumen yang diberikan. Syarat-syarat yang diajukan dipenuhi semua. Dalam memorandum analisa kredit, kesimpulannya permohonan yang diajukan PT BDKL bisa dipertimbangkan. Lalu dilakukan ikhtisar pengusulan kredit oleh BDKL. Di tahap ini dilakukan pimpinan SKM,” terangnya.

Menurut saksi, pembayaran kredit tersebut hingga kini masih lancar. Jika kelak kredit macet, maka pihak BNI akan menyita agunan dengan berbagai tahapan. “Saat itu, hasil BI Checking yang saya lakukan terhadap PT BDKL lancar tidak ada masalah. Tidak ada tunggakan sama sekali dari PT BDKL. Setau saya kreditnya masih berjalan. Saya juga nggak tau permasalahannya di mana,” ujar saksi.

Sementara itu, saksi Shahjehan Jimmy Azis yang saat itu menjabat sebagai Pimpinan BNI SKM Medan mengaku, kredit pinjaman PT Atakana sendiri mulai mengalami kemacetan pada Juni 2010.

Karena itu, BNI SKM Medan berupaya mengeksekusi jaminan, dengan melelang agunan berupa kebun seluas 3.445 hektare, guna pelunasan atas kredit PT Atakana Group tersebut.

Namun M.Aka selaku Dirut PT Atakana berkeberatan dengan upaya lelang tersebut, dan memohon agar agunan SHGU No. 102 dapat dijual di bawah tangan. Alasannya, PT Atakana memiliki calon pembeli.

“M.Aka memang pernah menemui saya. Kita juga pernah menyuratinya sebagai teguran serta berupaya mengeksekusi jaminan, dengan melelang agunan berupa kebun seluas 3.445 hektare guna pelunasan atas kredit PT Atakana Group tersebut. Tapi, M.Aka bilang bahwa pihaknya sudah ada calon pembeli. Dia tidak mengatakan sudah sejauh mana proses jual beli nya kepada Boy Hermansyah. Kami juga tidak pernah bertemu dengan calon pembelinya itu. Saya tidak tahu kalau yang punya saham di PT Atakana itu ada empat orang,” bebernya.

Sementara itu, Hotma Ruma Pangaribuan, saksi yang diajukan JPU berasal dari Bank Mandiri ini, ternyata mengaku tidak tahu apa-apa. Karena pada saat kejadian, dia masih bertugas di Bank Mandiri Banjarmasin.

Adapun saksi lain yang diajukan, yakni Arif Hartono yang juga pegawai PT BDKL, ngotot menyatakan, bahwa jual beli SHGU 102 sudah berjalan dan PT BDKL sudah melakukan pembayaran atas pembelian kebun langsung kepada para pemegang saham PT Atakana Company. Sebagian lagi dilakukan dengan cara membayarkan hutang-hutang Atakana grup di BNI dan pihak ketiga lainnya yang memiliki tagihan kepada Atakana. (far)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/