33 C
Medan
Friday, May 3, 2024

Pernah Pulang Bawa Rp100 Juta Hasil Panen dalam Setahun

“Hamijon (Styrax Benzoine/Kemenyan-Red) adalah sumber penghidupan kami secara turun temurun. Sejak usia 15 tahun saya sudah membantu orang tua menderes (menyadap getah –red),” ujar Saat Lumbanbatu.

Petani kemenyan, Saat Lumbanbatu (kanan), menunjukkan salah satu batang pohon kemenyan miliknya di desa Sipitunihuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas), baru-baru ini. Ia merasa bersyukur mendapatkan banyak manfaat dengan menderes getah kemenyan sehingga bisa menyekolahkan dua dari lima anaknya ke bangku kuliah.

Pukul 06.15 matahari dari desa Sipitunihuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas), mulai menyinari bumi tanah Batak.

Saat Lumbanbatu (56), dengan kaos warna putih bergambar salah satu pasangan calon Bupati Humbahas yang ia dapatkan saat musim kampanye 2016 lalu ini, mulai bergegas dari rumah kayunya yang berukuran 3×4 meter ke kebun kemenyan-nya untuk mulai menderes.

Sesampainya di kebun kemenyannya, bapak dari lima orang anak ini langsung melaksanakan ritual marhottas sebelum memulai menderes kemenyan.

“Parung Simardagul-dagul…Sahali Mamarung, gok apanggok bahul-bahul.”

Demikian ucapan yang terlontar dari mulutnya sebelum menderes kemenyan.

Dengan dua tali tambang sepanjang kira-kira 10 meter untuk memanjat pohon kemenyan dan satu keranjang rotan untuk menampung getah kemenyan, Saat pun langsung mulai memanjat pohon kemenyan dan  menderes-nya di kebun miliknya.

“Saya  menderes setiap empat bulan karena getah kemenyan baru muncul dan terlihat oleh mata setelah dua hingga tiga bulan. Satu tahun bisa panen dua kali,“ ujar Saat dengan keringat yang mulai membasahi kaos putihnya saat sang mentari mulai menunjukkan teriknya di ufuk timur.

“Saya mendapatkan ratusan batang kemenyan dari PT TPL (PT Toba Pulp Lestari, Tbk.) sekitar 1-2 tahun lalu,” ujar Saat.

Saat menceritakan bahwa dirinya bekerja sendirian di kebunnya, sementara istri dan anak-anaknya hidup di Medan.

“Saya sudah dari kecil, umur 15 tahun, sudah menderes kemenyan. Hamijon merupakan warisan leluhur yang terus saya kerjakan dan kadang-kadang saat anak-anak libur kuliah mereka pulang ke sini dan membantu saya,” ujar Saat.

Saat yang kini mengelola 400 batang pohon kemenyan merasakan betul pahit-manisnya saat panen kemenyan.

“Dulu saya hanya dapat sekitar Rp80.000 per kilogram (kg) getah kemenyan. Tapi mulai tahun 2000-an ini harga getah kemenyan sudah naik hingga Rp300.000-an per kg untuk getah kualitas terbaik. Saya pernah membawa pulang sekitar Rp 100 jutaan saat panen dalam satu tahun,” ujar Saat yang dua dari lima orang anaknya sudah mengenyam pendididkan di tingkat kuliah.

Saat juga mengungkapkan bahwa saat menderes kemenyan, ada sisa-sisa batang dari ikut bersama getah kemenyan saat dimasukkan ke dalam keranjang rotan miliknya.

“Kalau sisa-sisa dari batang pohon kemenyan ini dihargai Rp2.500 per kilogram. Dalam kira-kira seminggu saya dapat 50 kg dan saya langsung kasih ke pengepul. Uang Rp125.000 cukup untuk hidup satu minggu,” ujar Saat sambil menghembuskan asap rokok kreteknya.

Pemanfaatan kemenyan telah dikenal luas di Indonesia terutama sebagai bahan obat, baik sebagai obat tradisional maupun industri rokok, batik dan upacara ritual. Lebih dari itu tanaman kemenyan sebagai golongan styrax mengandung senyawa kimia yang dapat digunakan sebagai obat-obatan. Kemenyan memiliki banyak senyawa bioaktif seperti asam sinamat dan turunannya yaitu senyawa kimia yang dapat digunakan sebagai bahan baku untuk industri kosmetik dan obat-obatan

Saat pun menceritakan bahwa dirinya lebih nyaman bekerja berkebun dibandingkan merantau ke daerah lain atau ke kota besar karena ia merasa hidupnya hanya sesaat di dunia ini.

“Kita hidup hanya sekali di bumi ini. Saya merasa bertanggunjawab untuk meneruskan pekerjaan para leluhur kami dan menjaga kebun milik leluhur kami. Saya hanya bisa bersyukur masih bisa hidup dengan menderes kemenyan,” ujar Saat penuh syukur. (rel)

“Hamijon (Styrax Benzoine/Kemenyan-Red) adalah sumber penghidupan kami secara turun temurun. Sejak usia 15 tahun saya sudah membantu orang tua menderes (menyadap getah –red),” ujar Saat Lumbanbatu.

Petani kemenyan, Saat Lumbanbatu (kanan), menunjukkan salah satu batang pohon kemenyan miliknya di desa Sipitunihuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas), baru-baru ini. Ia merasa bersyukur mendapatkan banyak manfaat dengan menderes getah kemenyan sehingga bisa menyekolahkan dua dari lima anaknya ke bangku kuliah.

Pukul 06.15 matahari dari desa Sipitunihuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas), mulai menyinari bumi tanah Batak.

Saat Lumbanbatu (56), dengan kaos warna putih bergambar salah satu pasangan calon Bupati Humbahas yang ia dapatkan saat musim kampanye 2016 lalu ini, mulai bergegas dari rumah kayunya yang berukuran 3×4 meter ke kebun kemenyan-nya untuk mulai menderes.

Sesampainya di kebun kemenyannya, bapak dari lima orang anak ini langsung melaksanakan ritual marhottas sebelum memulai menderes kemenyan.

“Parung Simardagul-dagul…Sahali Mamarung, gok apanggok bahul-bahul.”

Demikian ucapan yang terlontar dari mulutnya sebelum menderes kemenyan.

Dengan dua tali tambang sepanjang kira-kira 10 meter untuk memanjat pohon kemenyan dan satu keranjang rotan untuk menampung getah kemenyan, Saat pun langsung mulai memanjat pohon kemenyan dan  menderes-nya di kebun miliknya.

“Saya  menderes setiap empat bulan karena getah kemenyan baru muncul dan terlihat oleh mata setelah dua hingga tiga bulan. Satu tahun bisa panen dua kali,“ ujar Saat dengan keringat yang mulai membasahi kaos putihnya saat sang mentari mulai menunjukkan teriknya di ufuk timur.

“Saya mendapatkan ratusan batang kemenyan dari PT TPL (PT Toba Pulp Lestari, Tbk.) sekitar 1-2 tahun lalu,” ujar Saat.

Saat menceritakan bahwa dirinya bekerja sendirian di kebunnya, sementara istri dan anak-anaknya hidup di Medan.

“Saya sudah dari kecil, umur 15 tahun, sudah menderes kemenyan. Hamijon merupakan warisan leluhur yang terus saya kerjakan dan kadang-kadang saat anak-anak libur kuliah mereka pulang ke sini dan membantu saya,” ujar Saat.

Saat yang kini mengelola 400 batang pohon kemenyan merasakan betul pahit-manisnya saat panen kemenyan.

“Dulu saya hanya dapat sekitar Rp80.000 per kilogram (kg) getah kemenyan. Tapi mulai tahun 2000-an ini harga getah kemenyan sudah naik hingga Rp300.000-an per kg untuk getah kualitas terbaik. Saya pernah membawa pulang sekitar Rp 100 jutaan saat panen dalam satu tahun,” ujar Saat yang dua dari lima orang anaknya sudah mengenyam pendididkan di tingkat kuliah.

Saat juga mengungkapkan bahwa saat menderes kemenyan, ada sisa-sisa batang dari ikut bersama getah kemenyan saat dimasukkan ke dalam keranjang rotan miliknya.

“Kalau sisa-sisa dari batang pohon kemenyan ini dihargai Rp2.500 per kilogram. Dalam kira-kira seminggu saya dapat 50 kg dan saya langsung kasih ke pengepul. Uang Rp125.000 cukup untuk hidup satu minggu,” ujar Saat sambil menghembuskan asap rokok kreteknya.

Pemanfaatan kemenyan telah dikenal luas di Indonesia terutama sebagai bahan obat, baik sebagai obat tradisional maupun industri rokok, batik dan upacara ritual. Lebih dari itu tanaman kemenyan sebagai golongan styrax mengandung senyawa kimia yang dapat digunakan sebagai obat-obatan. Kemenyan memiliki banyak senyawa bioaktif seperti asam sinamat dan turunannya yaitu senyawa kimia yang dapat digunakan sebagai bahan baku untuk industri kosmetik dan obat-obatan

Saat pun menceritakan bahwa dirinya lebih nyaman bekerja berkebun dibandingkan merantau ke daerah lain atau ke kota besar karena ia merasa hidupnya hanya sesaat di dunia ini.

“Kita hidup hanya sekali di bumi ini. Saya merasa bertanggunjawab untuk meneruskan pekerjaan para leluhur kami dan menjaga kebun milik leluhur kami. Saya hanya bisa bersyukur masih bisa hidup dengan menderes kemenyan,” ujar Saat penuh syukur. (rel)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/