Disinggung soal bangunan yang dimilki LPPBP saat ini sudah permanen, disebut Cut jika itu berkat bantuan beberapa Calon Legislatif dan seorang Dokter yang prihatin. Dikatakan Cut jika bantuan itu diterimanya setahun lalu, saat rumah panggung berbahan kayu yang didirikannya sejak tahun 2011 rubuh akibat usia bangunan dan seringnya monyet naik ke atap rumah. Oleh karena itu, disebut Cut kalau saat itu dirinya bingung dan tidak tahu mau mengadu ke mana.
” Saya minta sama Allah dan ternyata dikasih Allah. Datang seorang Caleg memberi bantuan. Kemudian datang lagi seorang dokter memberi bantuan membangunkan Musala dan rumah untuk saya karena dia prihatin melihat saya brtahun-tahun tidur tanpa kamar. Hanya lemari saya jadikan penyekat dan saya tidur di balik lemari itu, ” ujar Cut lebih jauh.
Meski demikian, Cut mengaku kalau saat ini masih banyak yang dibutuhkan Lembaga Pendidikan yang dikelolanya itu. Disebut Cut, kebutuhan yang paling dibutuhkannya saat ini adalah tambahan kelas.
Disebut Cut, anak-anak berjumlah 70 sampai 80 orang, akan bersempitan di dalam Musala berukuran 8×9 meter. Kemudian, disebut Cut adalah air yang dibutuhkan pihaknya karena disebutnya tidak ada aliran air bersih mengalir ke rumah ataupun ke Musala. Oleh karena itu, disebut Cut kalau dirinya dan anak-anak yang belajar di LPPBP biasanya akan menumpang berwudu ke rumah yang ada aliran air bersih. Bahkan, Cut mengaku kalau dirinya dan anak-anak yang belajar di sana, pernah bertayamum karena ketiadaan air. Terakhir, disebut Cut adalah tanah atau pasir dan batu untuk timbunan yang dibutuhkannya, karena di tempatnya mengajar anak-anak, selalu digenangi banjir.
” Kalau meminta bantuan, belum pernah saya lakukan. Takut kecewa. Minta sama Allah saja. Sama seperti waktu saat bangunan lama rubuh, saya minta sama Allah dan datang Caleg serta seorang dokter sebelumnya tidak saya kenal, datang memberi bantuan, ” ujar Cut mengakhiri.
Pantauan Sumut Pos, sejak pukul 14.30 WIB, anak-anak Dusun XVIII Desa Percut Kecamatan Percut Seituan mulai berdatangan. Ketika hendak melewati banjir, terlihat mereka harus mengangkat celana atau rok yang mereka kenakan, kemudian berjalan pelan di atas kayu yang diletakkan berjejer hingga ke depan pintu masuk Musala. Begitu tiba, menyalami Cut selaku Guru dan orang yang lebih tua lainnya, terlihat sudah menjadi kewajiban anak-anak itu. Sebelum proses belajar-mengajar dimulai, terlihat mereka membuat kelompok belajar dengan beberapa murid yang sudah tahap belajar Alquran, mengajari murid-murid yang masih tahap belajar Iqra’.
” Walau keadaan masih seperti ini, harus semangat. Kita berharap sekolah ini menjadi pesantren karena kita ingin masuk pesantren. Waktu puasa, kita juga lebih sering di sini, belajar Alquran, ” ujar Iqbal didampingi Nasarudin dan murid lainnya.(*/ril)