AGUS WIRAWAN, Hanoi
Seperti yang terjadi di Indonesia, bensin dan solar adalah salah satu elemen yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan warga Vietnam. Saat ini, diperkirakan terdapat 37 juta sepeda motor yang berlalu-lalang di jalanan Vietnam. Jumlah itu jauh lebih tinggi daripada populasi mobil yang hanya 1,6 juta unit.
Penjualan sepeda motor dan mobil di Vietnam diperkirakan terus tumbuh, mengingat kepemilikannya masih sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang lebih dari 90 juta jiwa. Tidak heran, sejumlah produsen sepeda motor dan mobil merek Jepang serta Korea berani membangun pabrik besar di negeri tersebut. Hal itu membuat jalanan di Vietnam semakin sesak akhir-akhir ini.
Seiring dengan kondisi itu, kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) di negara tersebut juga terus membengkak. Namun, pemerintah sosialis Vietnam bisa adem-ayem. Sebab, mereka tidak perlu memikirkan anggaran negara yang tersedot habis karena subsidi BBM. Sudah lama Vietnam menerapkan harga BBM sesuai dengan pasar berdasar naik turunnya harga minyak dunia.
Bagi warga Vietnam, harga BBM yang berubah-ubah setiap minggu sudah menjadi hal biasa. Hanya sesekali mereka merasakan perbedaan harga yang cukup mencolok. “Beberapa bulan ini harga bensin turun. Bulan Februari harganya sekitar 24.000 dong (VND, mata uang Vietnam), sekarang sudah VND 21.000″ VND 22.000. Harga solar hampir sama,” ujar Quoc Hung, sopir taksi Ba Sao.
Dengan kurs rupiah VND 1 = Rp 0,571, selisih VND 2.000″VND 3.000 VND atau Rp 1.000″Rp 1.500 per liter tersebut cukup berarti bagi Quoc. Sebab, setiap hari dia membeli sekitar 25 liter bensin. Jika dikalikan Rp 1.500, penurunan harga itu bisa menghemat pengeluaran Rp 37.500 per hari. “Beli langsung VND 500.000 atau VND 550.000,” kata Quoc dengan bahasa Inggris cukup bagus.
Perubahan harga BBM di Vietnam biasanya terjadi seminggu sekali. Petugas SPBU (stasiun pengisian bahan bakar umum) akan langsung mengeset harga di mesin pengisi begitu mendapat info harga baru dari pemerintah. Pernah beberapa tahun lalu harga tiba-tiba naik dari VND 20.000 menjadi VND 22.000. “Ada penumpang yang marah waktu itu karena kami juga naikkan tarif taksi,” ungkapnya.
Quoc kaget waktu Jawa Pos menceritakan bahwa di Indonesia harga bensin hanya Rp 6.500 per liter atau sekitar VND 12.500. Itu berarti hanya separo harga bensin di Vietnam. “Bagaimana bisa seperti itu?” tanya dia dengan keras.
Ketika tahu bahwa pemerintah Indonesia menyubsidi harga BBM, dia semakin heran. “Enak sekali di negara Anda,” ujar Quoc dengan mulut berdecak.
Meski harga BBM di negaranya cukup mahal, dia tidak menyalahkan pemerintah. Dia yakin pemerintah memiliki alasan kuat untuk tidak menyubsidi harga BBM seperti Indonesia. “Mungkin karena pemerintah kami tidak mampu (beri subsidi). Kami tidak mau protes untuk itu. Tapi, kalau boleh milih pindah, saya ingin ke Indonesia. Harga bensin murah,” ungkapnya.
Menurut pria yang sudah tiga tahun menjadi sopir taksi tersebut, warga Vietnam telah biasa hidup susah sehingga sangat jarang yang protes kepada pemerintah. Apalagi berdemo soal kenaikan harga BBM seperti di Indonesia. “Dulu waktu perang lawan Amerika, hidup kami lebih susah. Sekarang tidak ada apa-apanya,” katanya.
Meski begitu, harga bensin dan solar selalu menjadi topik yang sering dibicarakan dan digosipkan di Vietnam. “Klub-klub motor sering mengadakan diskusi terbatas tentang harga bensin. Orang-orang juga pasti membicarakan saat harga bensin naik. Itu sudah seperti “makanan” sehari-hari juga buat kami. Kami harus isi bensin untuk bekerja,” tambahnya.
Berdasar data Global Petrol Prices, harga BBM di Vietnam antara Agustus hingga November tahun ini rata-rata USD 1,13 per liter. Masih berdasar data yang sama, harga BBM di negara lain seperti AS saat ini USD 0,83 per liter; Kanada (USD 1,2 per liter); Selandia Baru (USD 1,72 per liter); Jerman (USD 1,8 per liter); dan Inggris (USD 1,93 per liter). Data tersebut diolah dari sumber resmi pemerintah, regulator khusus, perusahaan minyak, dan lain-lain.
Dari pengamatan Jawa Pos, di Hanoi tersedia cukup banyak SPBU. Hampir di setiap kilometer bisa ditemukan SPBU. Sektor hilir migas itu, tampaknya, masih berada dalam cengkeraman pemerintah. Hal tersebut terlihat dari penguasaan SPBU oleh perusahaan minyak milik pemerintah, yaitu Vietnam National Petroleum Corporation atau Petrolimex, yang mencapai 60 persen. Ada pula pemain lain seperti Military Petroleum Corporation (MPC) dan Comeco Company.
Kondisi SPBU di Vietnam secara umum lebih buruk jika dibandingkan dengan SPBU di Indonesia. Mesin-mesin SPBU di Vietnam tampak usang dengan teknologi lama. Setiap mesin ditunggui seorang petugas. “Yang antre di pom bensin di sini paling sepeda motor. Belinya sedikit saja, paling VND 50.000″VND 100.000. Tapi, jumlah yang beli jutaan,” jelas Precurement Manager Thang Long Cement Company (TLCC) Soenaryo saat ditemui di kantornya.
Yang membedakan SPBU di Vietnam dengan di Indonesia adalah luas areanya. Di Vietnam, SPBU umumnya hanya memiliki 2″4 mesin pengisian dan luas areanya hanya cukup untuk mengisi satu mobil. Mobil lain terpaksa menunggu di pinggir jalan sebelum mendapat giliran. “Tidak seperti di Indonesia yang bisa untuk parkir puluhan truk. Di sini, pom bensin nyempil di pinggir-pinggir jalan,” ungkap pria asal Surabaya tersebut. (*/c5)