25 C
Medan
Tuesday, November 26, 2024
spot_img

2.600 Buaya hanya Diurus Tiga Pekerja

Di Medan ada sebuah penangkaran hewan yang istimewa. Betapa tidak istimewa, kalau yang ditangkar sekitar 2.600 ekor buaya. Hebatnya lagi, usaha penangkaran itu dilakukan oleh sebuah keluarga yang memanfaatkan halaman belakang rumahnya di Desa Asam Kumbang.

M SALSABYL AD’N, Medan

BUAYA: Ratusan pengunjung melihat penangkaran buaya di Taman Buaya Asam Kumbang Medan, belum lama ini.
BUAYA: Ratusan pengunjung melihat penangkaran buaya di Taman Buaya Asam Kumbang Medan, belum lama ini.//TRIADI WIBOWO/SUMUT POS

Tak seperti berwisata ke Danau Toba yang memakan enam jam perjalanan darat dari Medan, wisatawan yang ingin mengunjungi Asam Kumbang Crocodile Park di Desa Asam Kumbang, hanya membutuhkan waktu setengah jam naik mobil. Lokasinya gampang ditemukan. Hampir setiap warga Kota Medan mengenal dengan baik desa yang dikenal karena mempunyai penangkaran ribuan buaya tersebut.

Setelah memasuki gapura selamat datang yang dihiasi gambar buaya, pengunjung akan diarahkan menuju ke rumah keluarga Lim Hui Cu yang pekarangannya cukup luas. Di rumah istri mendiang Lo Than Muk itulah pusat penangkaran buaya, Asam Kumbang Crocodile Park, dikembangkan.

Tapi, sekilas tidak kelihatan bila di halaman belakang rumah Lim Hui Cu menyimpan ribuan predator buas. Dari yang masih bayi hingga yang sudah tua. Setiap saat Lim menyambut pengunjung yang ingin melihat koleksi buaya-buaya rawanya. Sudah pasti tidak gratis. Lim akan menyodorkan tiket tanda masuk seharga Rp6 ribu untuk setiap pengunjung. Dana ‘sebesar’ itu membantu usaha penangkaran yang membutuhkan biaya tidak sedikit.

Setelah membayar tiket, pengunjung bisa langsung masuk melalui jalur sempit sebelah kasir untuk menuju ke kandang-kandang penangkaran buaya yang berada di halaman belakang rumah Lim. Selain kandang-kandang kecil untuk melokalisasi buaya-buaya dengan umur tertentu, keluarga Lim juga mempunyai lahan yang masih berupa rawa-rawa seluas 1,5 hektare. Di rawa berlumpur itu tampak moncong-moncong buaya siap menerkam makanan yang dilemparkan ke arah mereka.

’’Tolong jangan memberi makanan sembarangan ke buaya-buaya itu!’’ begitu Lim selalu mengingatkan para pengunjung yang baru masuk ke Asam Kumbang Crocodile Park.

Bagi pengunjung yang memberi makan, Lim menyediakan makanannya. Yakni bebek yang siap diumpankan di kerumunan buaya di kandang atau di rawa-rawa. Seekor bebek dijual seharga Rp30 ribu. Saat itik dilempar ke kandang buaya-buaya berebut dengan ganas. Aksi itulah yang menjadi tontonan pengunjung.

Menurut Lim Hui Cu, peternakan buaya Asam Kumbang  didirikan mendiang suaminya, Lo Than Muk, pada 1959. Awalnya hanya 12 ekor anak buaya yang diperoleh dari sungai Sumatera Utara. ’’Saat itu buaya masih belum digolongkan sebagai binatang yang dilindungi. Jadi, masa itu orang bebas menangkap dan memelihara untuk tujuan komersial maupun tujuan lain,’’ kata Lim.

Semula Lo Than Muk memperlakukan buaya-buayanya itu untuk peliharaan biasa. Tidak ada maksud untuk mengembangkannya sebagai peternakan. Namun, ketika jumlahnya semakin banyak, Lo bersama Lim akhirnya menjadikan peliharaannya itu sebagai usaha. Mereka lalu secara khusus melakukan penangkaran.

Ketika Lo Than Muk meninggal pada 2007,  usaha itu diturunkan kepada kedua anaknya, Robert Lo dan Robin Lo. Sedangkan sang ibu, Lim Hui Cu, membantu menjaga kasir. Sekarang penangkaran Asam Kumbang itu diklaim pemerintah Kota Medan telah menampung sekitar 2.600 ekor buaya yang kebanyakan spesies buaya muara.

’’Yang paling tua berumur 50 tahunan. Ada juga yang sudah berusia 40 tahun. Masing-masing kami pisah-pisahkan agar pengunjung tahu besarnya seberapa. Pokoknya, yang di kandang ini kebanyakan yang masih muda,’’ ujarnya.

Yang mencengangkan dan sulit dipercaya, ribuan buaya itu ternyata hanya diurus oleh tiga pekerja. Salah satunya, Yayan Kurniawan. Remaja 16 tahun itu baru bekerja selama lima bulan di rumah penangkaran buaya milik keluarga Lim tersebut.

Sebagai pegawai baru, Yayan belum diberi tugas menangkar buaya sendiri seperti dua pegawai lainnya. Setiap hari dia masih diberi pekerjaan ringan. Yakni membersihkan sekitar kandang dan rawa. Bila waktu makan buaya tiba, dia juga diminta memberi makan hewan mematikan tersebut.

Untuk pekerjaan mengambil telur atau anak-anak buaya diserahkan kepada pegawai senior. Yakni Jumari, yang sudah 24 tahun bekerja pada Lim. Perlu keahlian khusus untuk tugas berat tersebut. ’’Tidak setiap orang bisa menjalankan tugas ini. Harus super hati-hati untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan,’’ kata Jumari (45).

Meski sudah puluhan tahun mengurusi ribuan buaya, Jumari mengaku bekerja di peternakan buaya bukan perkara gampang. Dia berkali-kali digigit buaya muda yang meronta saat ditangkapnya. Bahkan dia pernah dijahit 48 jahitan di bagian betis setelah digigit buaya dewasa .

Pria asal Desa Medan Krio itu pernah menyaksikan musibah yang dialami seorang pengunjung yang kurang hati-hati saat menyaksikan buaya di rawa. Si pengunjung menjulur-julurkan tangannya di depan moncong buaya. Tak disangka gerakan buaya sangat cepat sehingga mulutnya mampu meraih tangan pengunjung yang malang itu. Dalam sekejap, tangan pengunjung itu terkoyak digigit buaya di rawa.

Asam Kumbang Crocodile Park sebenarnya punya prestise yang besar. Penangkaran di Medan itu setara dengan Madras Crocodile Bank Trust di Tamil Nadu, India. Pada 2011, Madras Crocodile mampu menampung 2.483 ekor buaya dari 14 spesies. Inilah penangkaran buaya terbesar di dunia.

Jumari mengakui beberapa tahun terakhir ini jumlah buaya baru di tempatnya bekerja cenderung turun. Dulu, buaya-buaya itu bisa menghasilkan sekitar 200 telur pada musim bertelur di awal Januari. ’’Sekarang rata-rata 50-an telur,’’ imbuhnya. (ari/jpnn/azw)

Di Medan ada sebuah penangkaran hewan yang istimewa. Betapa tidak istimewa, kalau yang ditangkar sekitar 2.600 ekor buaya. Hebatnya lagi, usaha penangkaran itu dilakukan oleh sebuah keluarga yang memanfaatkan halaman belakang rumahnya di Desa Asam Kumbang.

M SALSABYL AD’N, Medan

BUAYA: Ratusan pengunjung melihat penangkaran buaya di Taman Buaya Asam Kumbang Medan, belum lama ini.
BUAYA: Ratusan pengunjung melihat penangkaran buaya di Taman Buaya Asam Kumbang Medan, belum lama ini.//TRIADI WIBOWO/SUMUT POS

Tak seperti berwisata ke Danau Toba yang memakan enam jam perjalanan darat dari Medan, wisatawan yang ingin mengunjungi Asam Kumbang Crocodile Park di Desa Asam Kumbang, hanya membutuhkan waktu setengah jam naik mobil. Lokasinya gampang ditemukan. Hampir setiap warga Kota Medan mengenal dengan baik desa yang dikenal karena mempunyai penangkaran ribuan buaya tersebut.

Setelah memasuki gapura selamat datang yang dihiasi gambar buaya, pengunjung akan diarahkan menuju ke rumah keluarga Lim Hui Cu yang pekarangannya cukup luas. Di rumah istri mendiang Lo Than Muk itulah pusat penangkaran buaya, Asam Kumbang Crocodile Park, dikembangkan.

Tapi, sekilas tidak kelihatan bila di halaman belakang rumah Lim Hui Cu menyimpan ribuan predator buas. Dari yang masih bayi hingga yang sudah tua. Setiap saat Lim menyambut pengunjung yang ingin melihat koleksi buaya-buaya rawanya. Sudah pasti tidak gratis. Lim akan menyodorkan tiket tanda masuk seharga Rp6 ribu untuk setiap pengunjung. Dana ‘sebesar’ itu membantu usaha penangkaran yang membutuhkan biaya tidak sedikit.

Setelah membayar tiket, pengunjung bisa langsung masuk melalui jalur sempit sebelah kasir untuk menuju ke kandang-kandang penangkaran buaya yang berada di halaman belakang rumah Lim. Selain kandang-kandang kecil untuk melokalisasi buaya-buaya dengan umur tertentu, keluarga Lim juga mempunyai lahan yang masih berupa rawa-rawa seluas 1,5 hektare. Di rawa berlumpur itu tampak moncong-moncong buaya siap menerkam makanan yang dilemparkan ke arah mereka.

’’Tolong jangan memberi makanan sembarangan ke buaya-buaya itu!’’ begitu Lim selalu mengingatkan para pengunjung yang baru masuk ke Asam Kumbang Crocodile Park.

Bagi pengunjung yang memberi makan, Lim menyediakan makanannya. Yakni bebek yang siap diumpankan di kerumunan buaya di kandang atau di rawa-rawa. Seekor bebek dijual seharga Rp30 ribu. Saat itik dilempar ke kandang buaya-buaya berebut dengan ganas. Aksi itulah yang menjadi tontonan pengunjung.

Menurut Lim Hui Cu, peternakan buaya Asam Kumbang  didirikan mendiang suaminya, Lo Than Muk, pada 1959. Awalnya hanya 12 ekor anak buaya yang diperoleh dari sungai Sumatera Utara. ’’Saat itu buaya masih belum digolongkan sebagai binatang yang dilindungi. Jadi, masa itu orang bebas menangkap dan memelihara untuk tujuan komersial maupun tujuan lain,’’ kata Lim.

Semula Lo Than Muk memperlakukan buaya-buayanya itu untuk peliharaan biasa. Tidak ada maksud untuk mengembangkannya sebagai peternakan. Namun, ketika jumlahnya semakin banyak, Lo bersama Lim akhirnya menjadikan peliharaannya itu sebagai usaha. Mereka lalu secara khusus melakukan penangkaran.

Ketika Lo Than Muk meninggal pada 2007,  usaha itu diturunkan kepada kedua anaknya, Robert Lo dan Robin Lo. Sedangkan sang ibu, Lim Hui Cu, membantu menjaga kasir. Sekarang penangkaran Asam Kumbang itu diklaim pemerintah Kota Medan telah menampung sekitar 2.600 ekor buaya yang kebanyakan spesies buaya muara.

’’Yang paling tua berumur 50 tahunan. Ada juga yang sudah berusia 40 tahun. Masing-masing kami pisah-pisahkan agar pengunjung tahu besarnya seberapa. Pokoknya, yang di kandang ini kebanyakan yang masih muda,’’ ujarnya.

Yang mencengangkan dan sulit dipercaya, ribuan buaya itu ternyata hanya diurus oleh tiga pekerja. Salah satunya, Yayan Kurniawan. Remaja 16 tahun itu baru bekerja selama lima bulan di rumah penangkaran buaya milik keluarga Lim tersebut.

Sebagai pegawai baru, Yayan belum diberi tugas menangkar buaya sendiri seperti dua pegawai lainnya. Setiap hari dia masih diberi pekerjaan ringan. Yakni membersihkan sekitar kandang dan rawa. Bila waktu makan buaya tiba, dia juga diminta memberi makan hewan mematikan tersebut.

Untuk pekerjaan mengambil telur atau anak-anak buaya diserahkan kepada pegawai senior. Yakni Jumari, yang sudah 24 tahun bekerja pada Lim. Perlu keahlian khusus untuk tugas berat tersebut. ’’Tidak setiap orang bisa menjalankan tugas ini. Harus super hati-hati untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan,’’ kata Jumari (45).

Meski sudah puluhan tahun mengurusi ribuan buaya, Jumari mengaku bekerja di peternakan buaya bukan perkara gampang. Dia berkali-kali digigit buaya muda yang meronta saat ditangkapnya. Bahkan dia pernah dijahit 48 jahitan di bagian betis setelah digigit buaya dewasa .

Pria asal Desa Medan Krio itu pernah menyaksikan musibah yang dialami seorang pengunjung yang kurang hati-hati saat menyaksikan buaya di rawa. Si pengunjung menjulur-julurkan tangannya di depan moncong buaya. Tak disangka gerakan buaya sangat cepat sehingga mulutnya mampu meraih tangan pengunjung yang malang itu. Dalam sekejap, tangan pengunjung itu terkoyak digigit buaya di rawa.

Asam Kumbang Crocodile Park sebenarnya punya prestise yang besar. Penangkaran di Medan itu setara dengan Madras Crocodile Bank Trust di Tamil Nadu, India. Pada 2011, Madras Crocodile mampu menampung 2.483 ekor buaya dari 14 spesies. Inilah penangkaran buaya terbesar di dunia.

Jumari mengakui beberapa tahun terakhir ini jumlah buaya baru di tempatnya bekerja cenderung turun. Dulu, buaya-buaya itu bisa menghasilkan sekitar 200 telur pada musim bertelur di awal Januari. ’’Sekarang rata-rata 50-an telur,’’ imbuhnya. (ari/jpnn/azw)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/