25.6 C
Medan
Tuesday, May 14, 2024

Sampah Adalah Hidup Kami.….

File/SUMUT POS
Pemulung memungut sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Terjun, Kecamatan Medan Marelan, beberapa waktu lalu.  Para pemulung mengais rezeki dari tumpukan sampah ini.

SUMUTPOS.CO – Sampah yang didistribusikan setiap hari sebanyak 1.500 ton dari berbagai Kota Medan, membuat usia TPA Terjun, Jalan Paluh Nibung, Kelurahan Terjun, Kecamatan Medan Marelan, krisis dan hanya mampu menampung setahun lagi. Bagaimanakah nasib para pemulung yang menggantungkan nasib demi menghidupkan keluarga mereka?

Tomy (24), tengah melepas lelahnya usai mengais sampah TPA Terjun. Tubunya basah oleh keringat, kulitnya tampak terbakar terik matahari. Bagi pemulung berusia 24 tahun ini sampah adalah sember penghasilan hidupnya. Kehidupan bersama sampah sudah dirasakannya sejak di bangku sekolah dasar untuk menjadi pemulung.

Rutinitas yang berisiko kepada kesehatan dan bahaya alat berat, hanya semata – mata  untuk membantu kelangsungan hidup orangtua dan adik – adiknya yang masih sekolah.

“Saya tinggal dekat sini, dari SD saya sudah cari barang bekas di sini. Kalau ini tutup dan pindah, mungkin saya tidak tahu lagi mau kerja apa. Yang jelas sampah ini sudah bagian dari hidup saya,” ungkap Tomy.

Sebagai anak yatim dan menjadi tulang punggung keluarga, Tomy mengharapkan agar TPA Terjun dapat beroperasi lebih lama lagi, agar dirinya bisa tetap mencari nafkah di tumpukan sampah.”Saya punya adik 3 masih kecil – kecil?, penghasilan sehari hari yang saya peroleh sekitar Rp 80 ribu hingga Rp 100 ribu untuk membiayai adik saya. Jadi, kalau ini tutup bagaimana nasib adik – adik saya,” keluh Tomy.

File/SUMUT POS
Pemulung memungut sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Terjun, Kecamatan Medan Marelan, beberapa waktu lalu.  Para pemulung mengais rezeki dari tumpukan sampah ini.

SUMUTPOS.CO – Sampah yang didistribusikan setiap hari sebanyak 1.500 ton dari berbagai Kota Medan, membuat usia TPA Terjun, Jalan Paluh Nibung, Kelurahan Terjun, Kecamatan Medan Marelan, krisis dan hanya mampu menampung setahun lagi. Bagaimanakah nasib para pemulung yang menggantungkan nasib demi menghidupkan keluarga mereka?

Tomy (24), tengah melepas lelahnya usai mengais sampah TPA Terjun. Tubunya basah oleh keringat, kulitnya tampak terbakar terik matahari. Bagi pemulung berusia 24 tahun ini sampah adalah sember penghasilan hidupnya. Kehidupan bersama sampah sudah dirasakannya sejak di bangku sekolah dasar untuk menjadi pemulung.

Rutinitas yang berisiko kepada kesehatan dan bahaya alat berat, hanya semata – mata  untuk membantu kelangsungan hidup orangtua dan adik – adiknya yang masih sekolah.

“Saya tinggal dekat sini, dari SD saya sudah cari barang bekas di sini. Kalau ini tutup dan pindah, mungkin saya tidak tahu lagi mau kerja apa. Yang jelas sampah ini sudah bagian dari hidup saya,” ungkap Tomy.

Sebagai anak yatim dan menjadi tulang punggung keluarga, Tomy mengharapkan agar TPA Terjun dapat beroperasi lebih lama lagi, agar dirinya bisa tetap mencari nafkah di tumpukan sampah.”Saya punya adik 3 masih kecil – kecil?, penghasilan sehari hari yang saya peroleh sekitar Rp 80 ribu hingga Rp 100 ribu untuk membiayai adik saya. Jadi, kalau ini tutup bagaimana nasib adik – adik saya,” keluh Tomy.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/