29 C
Medan
Monday, May 6, 2024

Sepuluh Tahun Pantang Menyerah

Foto: leahmahan.com  Poster film dokumenter berjudul: Come Hell or High Water: The Battle for Turkey Creek.
Foto: leahmahan.com
Poster film dokumenter berjudul: Come Hell or High Water: The Battle for Turkey Creek.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sepuluh tahun perjalanan seorang Derrick Evans yang penuh liku dalam menegakkan keadilan lingkungan hidup di kampung halamannya, berhasil direkam dan dirangkai seorang Leah Mahan, dalam tayangan film dokumenter berdurasi hanya 56 menit. Dan selama 56 menit itu, tidak ada penonton yang beranjak dari kursi.

Film itu berjudul cukup panjang: Come Hell or High Water: The Battle for Turkey Creek. Kata Leah, ia mengerjakan film tersebut selama 10 tahun, dan mengeditnya selama 5 tahun. Proses yang sangat panjang.

”Saya tidak menganjurkan Anda untuk mengikuti jejak saya mengerjakan sebuah film selama itu,” katanya sedikit tersipu, dalam diskusi interaktif usai penayangan film tersebut di rumah Wakil Consul AS di Medan, Selasa (21/4) malam.

Awalnya, Leah menerima undangan dari teman lamanya Derrick Evans, untuk merekam perjalanannya pulang ke kampung halamannya di Pantai Missisipi, Amerika Serikat. Derrick yang seorang guru Sejarah di Boston itu pulang, karena makam leluhurnya digusur untuk pembangunan kota Gulfport.

Komunitas Derrick tinggal Gulfport, di area bernama Turkey Creek. Areal itu dibeli kelompok kakek-nenek buyutnya 150 tahun silam, pascamasa perbudakan. Kala itu, lahan basah tersebut tidak terlalu menarik bagi kaum kulit putih. Dianggap terlalu berawa.

Namun zaman berubah. Pembangunan demi pembangunan terus bergerak hingga mengancam area Gulf Coast (teluk pesisir) Missisipi, kampung halaman Derrick.

Derrick beserta komunitasnya yang kulit hitam menolak digusur. ”Ini kampung halaman kami. Berapapun dibayar, kami menolak digusur. Selain itu, areal ini lahan basah yang penting untuk konservasi lingkungan,” kata mereka.

Leah pun merekam jejak historis kawasan itu. Mengapa penting dipertahankan sebagai lahan basah. Dan apa saja makhluk-makhluk hidup yang bertempat tinggal di sana dan patut mendapat perlindungan. Ia mengutip warga setempat yang mencintai kampung halaman mereka. Menggali kilasan memori mereka.

Leah juga memadu potongan-potongan berita surat kabar, plus riset mendalam tentang peta dan historis daerah setempat.

Lantas… tak ingin dituding berat sebelah, laiknya jurnalis andal, Leah juga mengutip statement walikota setempat, anggota dewan, dan pihak pengembang yang ingin membangun estate di kawasan itu, tentang ’pentingnya pembangunan dilaksanakan, dan apa manfaatnya bagi warga Turkey Creek.

Statement ’pro pembangunan’ ini kemudian mendapat kontrastatement ’cerdas’ dari warga.

Foto: leahmahan.com  Poster film dokumenter berjudul: Come Hell or High Water: The Battle for Turkey Creek.
Foto: leahmahan.com
Poster film dokumenter berjudul: Come Hell or High Water: The Battle for Turkey Creek.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sepuluh tahun perjalanan seorang Derrick Evans yang penuh liku dalam menegakkan keadilan lingkungan hidup di kampung halamannya, berhasil direkam dan dirangkai seorang Leah Mahan, dalam tayangan film dokumenter berdurasi hanya 56 menit. Dan selama 56 menit itu, tidak ada penonton yang beranjak dari kursi.

Film itu berjudul cukup panjang: Come Hell or High Water: The Battle for Turkey Creek. Kata Leah, ia mengerjakan film tersebut selama 10 tahun, dan mengeditnya selama 5 tahun. Proses yang sangat panjang.

”Saya tidak menganjurkan Anda untuk mengikuti jejak saya mengerjakan sebuah film selama itu,” katanya sedikit tersipu, dalam diskusi interaktif usai penayangan film tersebut di rumah Wakil Consul AS di Medan, Selasa (21/4) malam.

Awalnya, Leah menerima undangan dari teman lamanya Derrick Evans, untuk merekam perjalanannya pulang ke kampung halamannya di Pantai Missisipi, Amerika Serikat. Derrick yang seorang guru Sejarah di Boston itu pulang, karena makam leluhurnya digusur untuk pembangunan kota Gulfport.

Komunitas Derrick tinggal Gulfport, di area bernama Turkey Creek. Areal itu dibeli kelompok kakek-nenek buyutnya 150 tahun silam, pascamasa perbudakan. Kala itu, lahan basah tersebut tidak terlalu menarik bagi kaum kulit putih. Dianggap terlalu berawa.

Namun zaman berubah. Pembangunan demi pembangunan terus bergerak hingga mengancam area Gulf Coast (teluk pesisir) Missisipi, kampung halaman Derrick.

Derrick beserta komunitasnya yang kulit hitam menolak digusur. ”Ini kampung halaman kami. Berapapun dibayar, kami menolak digusur. Selain itu, areal ini lahan basah yang penting untuk konservasi lingkungan,” kata mereka.

Leah pun merekam jejak historis kawasan itu. Mengapa penting dipertahankan sebagai lahan basah. Dan apa saja makhluk-makhluk hidup yang bertempat tinggal di sana dan patut mendapat perlindungan. Ia mengutip warga setempat yang mencintai kampung halaman mereka. Menggali kilasan memori mereka.

Leah juga memadu potongan-potongan berita surat kabar, plus riset mendalam tentang peta dan historis daerah setempat.

Lantas… tak ingin dituding berat sebelah, laiknya jurnalis andal, Leah juga mengutip statement walikota setempat, anggota dewan, dan pihak pengembang yang ingin membangun estate di kawasan itu, tentang ’pentingnya pembangunan dilaksanakan, dan apa manfaatnya bagi warga Turkey Creek.

Statement ’pro pembangunan’ ini kemudian mendapat kontrastatement ’cerdas’ dari warga.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/