29 C
Medan
Friday, May 17, 2024

Jadi Santapan Petugas Dishub hingga Preman

Sekian jam bersama sopir membuat saya mengerti. Bekerja sebagai sopir memiliki tantangan tersendiri. Apalagi, menjadi sopir truk tronton. Sering menjadi sasaran korban Pungutan Liar (Pungli) oknum petugas Dinas Perhubungan (Dishub) khususnya bagian Jembatan Timbang. Selain itu, pungutan dari preman juga tak bisa dihindari.

Terlebih jika sopir mengemudikan truk tronton khususnya roda di atas delapan. Sebab, jika sudah menggunakan roda sebanyak itun
dapat dipastikan akan membawa beban di atas tonase yang diatur. Tak pelak, sang sopir akan menjadi bulan-bulanan aksi pungli sejumlah oknum yang tidak bertanggung jawab karena dianggap membawa sejumlah uang jalan yang melebihi kebutuhan.

Misalnya, truk yang saya tumpangi. Truk berangkat dari Rantauprapat Kabupaten Labuhanbatu sejak Selasa belum lama ini sekitar pukul 21.05 WIB. Sekitar pukul 23.00 WIB, kami memasuki Jembatan Timbang Aek Kanopan, Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura), di sana berawal aksi pungli akibat beban yang diangkut tronton melebihi tonase. Tidak perlu turun dari truk, uang ‘suap’ diberikan hanya dari atas truk yang sebelumnya dibungkus dengan surat petanda sudah membayar biaya muatan sesuai Peraturan Daerah (Perda) di Jembatan Timbang yang sebelumnya sudah dilintasi.

Selanjutnya, pada Rabu (17/4) sekitar pukul 03.05 WIB dini hari, kami melintasi Jembatan Timbang Limapuluh, Kabupaten Batubara. Di sana uang ‘suap’ kelebihan tonase diberikan sopir kepada kernet dan menyerahkan kepada petugas yang berada tepat di sebelah pintu kernet. Hanya hitungan menit setelah melihat mesin timbangan serta menyesuaikan jumlah uang dengan sisa beban muatan, petugas berteriak menyarankan agar truk kami segera berangkat. “Oke, lanjut mobil belakang menyusul,” kata petugas yang berpakaian dinas.

Untuk yang terakhir kalinya, kami melintasi Jembatan Timbang Tanjungmorawa, Kabupaten Deliserdang. Hal sama dan terkesan sudah saling mengetahui pun terlihat jelas. Tanpa banyak basa-basi, lembaran kertas berharga diambil petugas dari dalam surat pemeriksaan di Jembatan Timbang pertama. Ternyata, kutipan liar tanpa dasar hukum yang jelas itu pun kembali terjadi, namun tidak dilakukan oleh oknum petugas dari dinas pemerintahan, tetapi sejumlah oknum preman atau Pemuda Setempat (PS).

Sekitar pukul 07.45 WIB, hari Rabu (17/4) kami sudah melintasi gerbang tol Belawan dan berada sekitar 30 meter dari pintu masuk ke perusahaan di mana muatan akan dibongkar. Selang beberapa menit setelah mengambil posisi di beram jalan untuk antre, truk kami dihampiri seorang pemuda yang tadinya berada di seberang pintu perusahaan swasta tersebut. Awalnya hanya sekadar bersandar di pintu sopir, setelah itu barulah menyodorkan tangannya dan berucap, “Wak, uang kopinya lah, Wak.”

Tidak ingin terjadi hal buruk, selembar uang diberikan. Pemuda tersebut menyeberang jalan dan bergabung dengan 6 rekan lainnya. Sambil jongkok di pinggir jalan, mereka sesekali melihat ke arah tol, menanti truk lain yang masuk. “Kalau di jalan ini, semuanya harus pakai uang,” sebut sopir yang berusia sekitar 65 tahun itu.

Tidak sampai di situ, sekuriti perusahaan pun tak ketinggalan ikut melakukan pungli. Sejumlah sekuriti selalu menegur para sopir agar memberikan uang usai mereka membantu mengarahkan lajur jalan sebelum dilakukan pembongkaran muatan.
Sekitar pukul 14.05 WIB kami meninggalkan pabrik karena muatan sudah selesai dibongkar. Belum lagi memasuki gerbang tol Belawan, sejumlah pemuda sudah berdiri-diri di pembatas badan jalan sembari mengacungkan jari telunjuknya sebagai pertanda. “Itu tandanya seribu,” terang sopir sembari melemparkan selembar uang seribu.

Ternyata kumpulan tidak hanya satu tempat, diperhitungkan hingga gerbang tol terdapat tiga kumpulan remaja yang tidak segan-segan melempar truk jika tidak memberikan apa yang diminta. Namun hal itu dianggap para sopir truk sebagai sebuah persahabatan antara sopir dengan pemuda setempat yang kerap selalu berjumpa. “Asal kita aman-aman saja, kitapun senangnya,” akunya terkesan dipaksakan.

Begitulah, beberapa hari bersama sopir truk saya menghadapi rasa campur aduk. Saya melihat langsung mereka dipungli. Sepertinya, pekerjaan mereka hanya untuk dipungli. Saopir yang telah memberikan tumpangan kepada saya memang tampak nyaman. Setidaknya hal itu sudah biasa mereka hadapi. Namun, saya tak habis pikir, mereka yang berseragama dan bergaji masih saja ‘menekan’ dan memanfaatkan celah undang-undang. (*)

Sekian jam bersama sopir membuat saya mengerti. Bekerja sebagai sopir memiliki tantangan tersendiri. Apalagi, menjadi sopir truk tronton. Sering menjadi sasaran korban Pungutan Liar (Pungli) oknum petugas Dinas Perhubungan (Dishub) khususnya bagian Jembatan Timbang. Selain itu, pungutan dari preman juga tak bisa dihindari.

Terlebih jika sopir mengemudikan truk tronton khususnya roda di atas delapan. Sebab, jika sudah menggunakan roda sebanyak itun
dapat dipastikan akan membawa beban di atas tonase yang diatur. Tak pelak, sang sopir akan menjadi bulan-bulanan aksi pungli sejumlah oknum yang tidak bertanggung jawab karena dianggap membawa sejumlah uang jalan yang melebihi kebutuhan.

Misalnya, truk yang saya tumpangi. Truk berangkat dari Rantauprapat Kabupaten Labuhanbatu sejak Selasa belum lama ini sekitar pukul 21.05 WIB. Sekitar pukul 23.00 WIB, kami memasuki Jembatan Timbang Aek Kanopan, Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura), di sana berawal aksi pungli akibat beban yang diangkut tronton melebihi tonase. Tidak perlu turun dari truk, uang ‘suap’ diberikan hanya dari atas truk yang sebelumnya dibungkus dengan surat petanda sudah membayar biaya muatan sesuai Peraturan Daerah (Perda) di Jembatan Timbang yang sebelumnya sudah dilintasi.

Selanjutnya, pada Rabu (17/4) sekitar pukul 03.05 WIB dini hari, kami melintasi Jembatan Timbang Limapuluh, Kabupaten Batubara. Di sana uang ‘suap’ kelebihan tonase diberikan sopir kepada kernet dan menyerahkan kepada petugas yang berada tepat di sebelah pintu kernet. Hanya hitungan menit setelah melihat mesin timbangan serta menyesuaikan jumlah uang dengan sisa beban muatan, petugas berteriak menyarankan agar truk kami segera berangkat. “Oke, lanjut mobil belakang menyusul,” kata petugas yang berpakaian dinas.

Untuk yang terakhir kalinya, kami melintasi Jembatan Timbang Tanjungmorawa, Kabupaten Deliserdang. Hal sama dan terkesan sudah saling mengetahui pun terlihat jelas. Tanpa banyak basa-basi, lembaran kertas berharga diambil petugas dari dalam surat pemeriksaan di Jembatan Timbang pertama. Ternyata, kutipan liar tanpa dasar hukum yang jelas itu pun kembali terjadi, namun tidak dilakukan oleh oknum petugas dari dinas pemerintahan, tetapi sejumlah oknum preman atau Pemuda Setempat (PS).

Sekitar pukul 07.45 WIB, hari Rabu (17/4) kami sudah melintasi gerbang tol Belawan dan berada sekitar 30 meter dari pintu masuk ke perusahaan di mana muatan akan dibongkar. Selang beberapa menit setelah mengambil posisi di beram jalan untuk antre, truk kami dihampiri seorang pemuda yang tadinya berada di seberang pintu perusahaan swasta tersebut. Awalnya hanya sekadar bersandar di pintu sopir, setelah itu barulah menyodorkan tangannya dan berucap, “Wak, uang kopinya lah, Wak.”

Tidak ingin terjadi hal buruk, selembar uang diberikan. Pemuda tersebut menyeberang jalan dan bergabung dengan 6 rekan lainnya. Sambil jongkok di pinggir jalan, mereka sesekali melihat ke arah tol, menanti truk lain yang masuk. “Kalau di jalan ini, semuanya harus pakai uang,” sebut sopir yang berusia sekitar 65 tahun itu.

Tidak sampai di situ, sekuriti perusahaan pun tak ketinggalan ikut melakukan pungli. Sejumlah sekuriti selalu menegur para sopir agar memberikan uang usai mereka membantu mengarahkan lajur jalan sebelum dilakukan pembongkaran muatan.
Sekitar pukul 14.05 WIB kami meninggalkan pabrik karena muatan sudah selesai dibongkar. Belum lagi memasuki gerbang tol Belawan, sejumlah pemuda sudah berdiri-diri di pembatas badan jalan sembari mengacungkan jari telunjuknya sebagai pertanda. “Itu tandanya seribu,” terang sopir sembari melemparkan selembar uang seribu.

Ternyata kumpulan tidak hanya satu tempat, diperhitungkan hingga gerbang tol terdapat tiga kumpulan remaja yang tidak segan-segan melempar truk jika tidak memberikan apa yang diminta. Namun hal itu dianggap para sopir truk sebagai sebuah persahabatan antara sopir dengan pemuda setempat yang kerap selalu berjumpa. “Asal kita aman-aman saja, kitapun senangnya,” akunya terkesan dipaksakan.

Begitulah, beberapa hari bersama sopir truk saya menghadapi rasa campur aduk. Saya melihat langsung mereka dipungli. Sepertinya, pekerjaan mereka hanya untuk dipungli. Saopir yang telah memberikan tumpangan kepada saya memang tampak nyaman. Setidaknya hal itu sudah biasa mereka hadapi. Namun, saya tak habis pikir, mereka yang berseragama dan bergaji masih saja ‘menekan’ dan memanfaatkan celah undang-undang. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/