26.7 C
Medan
Monday, June 17, 2024

Dewan Guru Besar Dukung SK Rektor USU, Prof Budiman: Junjung Tinggi Etika dan Moral

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pemerintah diminta tegas dalam menegakan etika dan moral di Perguruan Tinggi. Pasalnya, etika dan moral benteng terakhir. Dengan itu, Dewan Guru Besar Universitas Sumatera Utara (USU) terus menjujung tinggi moral dan etika dalam menjalani tugas sebagai dosen.

TEMU PERS: Dewan Guru Besar USU saat memberi keterangan kepada wartawan, Jumat (22/1).

Hal itu, diungkapkan Sekretaris Dewan Guru Besar USU, Prof Tamrin menyikapi kasus self plagiarism yang dilakukan Rektor USU terpilih, Dr Muryanto Amin kepada wartawan di Medan, Jumat (22/1).

“Intinya, ikuti etika perguruan tinggi dan jangan melanggar etika dan moral perguruan tinggi. Perguruan tinggi harus menegakkan etika dan moral,” sebut Tamrin didampingi sejumlah anggota Dewan Guru Besar USU, yakni Prof Budiman Ginting, Prof Edi Warman dan Prof Robert Sibarani.

Prof Budiman Ginting mendukung penuh surat keputusan Rektor USU Nomor: 82/UN5.1.R/SK/KPM/2021. Dengan memberikan sanksi kepada Muryanto terbukti bersalah melakukan autoplagiarisme. “Kami mendukung keputusan rektor dan ini jalan pemimpin. Ketika ini ada, akan mencoreng USU selaku PTNBH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum),” katanya.

Budiman yang juga Dekan Fakultas Hukum USU mengatakan, setiap profesi memiliki kode etik harus ditaati. Seperti wartawan memiliki kode etik, dokter begitu juga. Jadinya, sanksi disampaikan dalam penerapan kode etik harus dapat ditegakan sesuai dengan peraturan yang ada. “Bukan mendasarkan dari hukum-hukum saja. Tapi, normal. Moral terutama, turun etika dijunjung. Ini bukan masalah hukum, ini masalah etika,” tegas Budiman.

Budiman menolak dilantiknya Muryanto sebagai Rektor USU periode 2021-2026. Karena, terjerat kasus self plagiarisme yang membuat kridibilitas USU dipertanyakan. Karena, bagaimana perguruan tinggi mempertahankan benteng dari plagiarisme.

“Dipercepatan keputusan, status rektor terpilih. Dilantik atau tidak. Bila dilantik, kami menolak. Karena, kasus ini. Harus ada ketegasan dari menteri pendidikan dan kebudayaan. ?Kita serahkan kepada MWA, apakah diwajibkan untuk pemilihan rektor ulang. Karena, tidak ini mencoreng kridibilias USU sendiri,” ungkapnya.

Saat ini, menurut Budiman USU masuk klaster I di Indonesia. Jangan sampai kasus plagiarisme menjatuhkan seluruh prestasi yang sudah diraih selama ini. Dengan itu, ia berharap ada kebijakan diputuskan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Sementara, Prof Edi Warman menjelaskan, pelanggaran etik tentu berbeda dengan pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum pelaku plagiat akan dijerat melalui UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, sedangkan pelanggaran etik akan dijatuhi sanksi etik.

“Itulah perbedaan pandang yang perlu diluruskan. Akan halnya pelanggaran plagiat itu tidak diatur dalam Pertaturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi, itu tidak berarti yang bersangkutan tak dapat dijatuhi sanksi etik. Karena pengaturan tentang itu ada diatur secara khusus dalam Peraturan Kepala LIPI No. 5 Tahun 2014 Tentang Kode Etika Publikasi Ilmiah, Tanggal 18 September 2014, yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1385,” jelasnya.

Ia mengatakan, kasus self-plagiarism, double publication, salami publication atau publikasi ganda adalah pelanggaran Etika Publikasi Ilmiah. Hal itu tidak hanya diakui oleh kalangan USU sendiri, tetapi juga seluruh Perguruan Tiunggi di Indonesia. “Bahkan pihak kementerianpun menolak setiap usulan kenaikan pangkat para dosen yang dalam pengusulannya menggunakan artikel publikasi ganda atau double publication atau salami publication yang termasuk pada kategori self-plagiarism,” ungkapnya

Edi menjelaskan, etika yang dilanggar Muryanto Amin yang digunakan Rektor USU sebagai dasar penjatuhan sanksi. Hal ini termasuk dalam unsur yang memberatkan, karena yang bersangkutan juga menjabat sebagai dekan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik USU. “Yang bersangkutan juga adalah Editor in Chief pada Jurnal Politeia, pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU, Publisher Talenta USU, yang seharusnya sudah faham dan mengetahui tentang seluk beluk penerbitan naskah dalam jurnal atau publikasi ilmiah,” tutur Edi.

Edi kembali menjelaskan bahwa sanksi yang dijatuhkan Rektor USU adalah sanksi pelanggaran etik, bukan sanksi pelanggaran hukum.”Hukum positifnya ada dan jelas serta dipedomani oleh para pengelola jurnal dan pengarang di Indonesia, dalam hal mempublikasi tulisan,” tandasnya. (gus)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pemerintah diminta tegas dalam menegakan etika dan moral di Perguruan Tinggi. Pasalnya, etika dan moral benteng terakhir. Dengan itu, Dewan Guru Besar Universitas Sumatera Utara (USU) terus menjujung tinggi moral dan etika dalam menjalani tugas sebagai dosen.

TEMU PERS: Dewan Guru Besar USU saat memberi keterangan kepada wartawan, Jumat (22/1).

Hal itu, diungkapkan Sekretaris Dewan Guru Besar USU, Prof Tamrin menyikapi kasus self plagiarism yang dilakukan Rektor USU terpilih, Dr Muryanto Amin kepada wartawan di Medan, Jumat (22/1).

“Intinya, ikuti etika perguruan tinggi dan jangan melanggar etika dan moral perguruan tinggi. Perguruan tinggi harus menegakkan etika dan moral,” sebut Tamrin didampingi sejumlah anggota Dewan Guru Besar USU, yakni Prof Budiman Ginting, Prof Edi Warman dan Prof Robert Sibarani.

Prof Budiman Ginting mendukung penuh surat keputusan Rektor USU Nomor: 82/UN5.1.R/SK/KPM/2021. Dengan memberikan sanksi kepada Muryanto terbukti bersalah melakukan autoplagiarisme. “Kami mendukung keputusan rektor dan ini jalan pemimpin. Ketika ini ada, akan mencoreng USU selaku PTNBH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum),” katanya.

Budiman yang juga Dekan Fakultas Hukum USU mengatakan, setiap profesi memiliki kode etik harus ditaati. Seperti wartawan memiliki kode etik, dokter begitu juga. Jadinya, sanksi disampaikan dalam penerapan kode etik harus dapat ditegakan sesuai dengan peraturan yang ada. “Bukan mendasarkan dari hukum-hukum saja. Tapi, normal. Moral terutama, turun etika dijunjung. Ini bukan masalah hukum, ini masalah etika,” tegas Budiman.

Budiman menolak dilantiknya Muryanto sebagai Rektor USU periode 2021-2026. Karena, terjerat kasus self plagiarisme yang membuat kridibilitas USU dipertanyakan. Karena, bagaimana perguruan tinggi mempertahankan benteng dari plagiarisme.

“Dipercepatan keputusan, status rektor terpilih. Dilantik atau tidak. Bila dilantik, kami menolak. Karena, kasus ini. Harus ada ketegasan dari menteri pendidikan dan kebudayaan. ?Kita serahkan kepada MWA, apakah diwajibkan untuk pemilihan rektor ulang. Karena, tidak ini mencoreng kridibilias USU sendiri,” ungkapnya.

Saat ini, menurut Budiman USU masuk klaster I di Indonesia. Jangan sampai kasus plagiarisme menjatuhkan seluruh prestasi yang sudah diraih selama ini. Dengan itu, ia berharap ada kebijakan diputuskan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Sementara, Prof Edi Warman menjelaskan, pelanggaran etik tentu berbeda dengan pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum pelaku plagiat akan dijerat melalui UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, sedangkan pelanggaran etik akan dijatuhi sanksi etik.

“Itulah perbedaan pandang yang perlu diluruskan. Akan halnya pelanggaran plagiat itu tidak diatur dalam Pertaturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi, itu tidak berarti yang bersangkutan tak dapat dijatuhi sanksi etik. Karena pengaturan tentang itu ada diatur secara khusus dalam Peraturan Kepala LIPI No. 5 Tahun 2014 Tentang Kode Etika Publikasi Ilmiah, Tanggal 18 September 2014, yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1385,” jelasnya.

Ia mengatakan, kasus self-plagiarism, double publication, salami publication atau publikasi ganda adalah pelanggaran Etika Publikasi Ilmiah. Hal itu tidak hanya diakui oleh kalangan USU sendiri, tetapi juga seluruh Perguruan Tiunggi di Indonesia. “Bahkan pihak kementerianpun menolak setiap usulan kenaikan pangkat para dosen yang dalam pengusulannya menggunakan artikel publikasi ganda atau double publication atau salami publication yang termasuk pada kategori self-plagiarism,” ungkapnya

Edi menjelaskan, etika yang dilanggar Muryanto Amin yang digunakan Rektor USU sebagai dasar penjatuhan sanksi. Hal ini termasuk dalam unsur yang memberatkan, karena yang bersangkutan juga menjabat sebagai dekan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik USU. “Yang bersangkutan juga adalah Editor in Chief pada Jurnal Politeia, pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU, Publisher Talenta USU, yang seharusnya sudah faham dan mengetahui tentang seluk beluk penerbitan naskah dalam jurnal atau publikasi ilmiah,” tutur Edi.

Edi kembali menjelaskan bahwa sanksi yang dijatuhkan Rektor USU adalah sanksi pelanggaran etik, bukan sanksi pelanggaran hukum.”Hukum positifnya ada dan jelas serta dipedomani oleh para pengelola jurnal dan pengarang di Indonesia, dalam hal mempublikasi tulisan,” tandasnya. (gus)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/