MEDAN, SUMUTPOS.CO – Ranperda Trafficking sebenarnya sudah diajukan Pemko Medan pada tahun 2013 lalu. Belum jelas apa alasan mandeknya pembahasan Ranperda tersebut. Dari draft Ranperda Trafficking tersebut tidak dibahas secara detil mengenai kasus apa saja yang dikategorikan dalam bentuk perdagangan orang (Human Trafficking).
Langkah dan keputusan pihak Pemko Medan mengajukan Ranperda Trafficking itu pun dinilai rancu dan dikawatirkan tidak akan berjalan setelah disahkan karena akan sia-sia. Hal ini dikatakan Misran Lubis, Direktur Esekutif Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Sumut.
“Lihat saja dari judul Perdanya ditulis dalam bahasa Inggris. Bila mengunakan tata bahasa yang baik, maka harus dimiringkan. Lalu mana kata “human” ini justru tidak dicantumkan. Harusnya dicantumkan human trafficking. Tapi itupun gak bisa pakai judul human trafficking, karena itu bahasa Inggris,” ujarnya.
Dirinya mengatakan seharusnya dibuat dengan mengacu kepada Tindak Pidana Perdagangan Orang. Karena itu sudah disepakati secara nasional pada UU Nomor 21 Tahun 2007. Bahkan kata Misran,untuk landasan hukum pembentukan perda tersebut juga tidak diperbaharui.
“Lihat saja dalam draft perda ini masih menggunakan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Padahal UU tersebut telah diperbaharui dengan UU No 35 Tahun 2014,” ucapnya. Misran juga mengkritik dasar dari kerangka pemikiran yang dipakai baik landasan sosiologis,tampak mengambil sebuah jurnal ilmiah.
“Saya heran ini kok seperti copy paste dari koran atau artikel orang. Jika kita meneliti lebih dalam untuk landasan pemikiranya saja belum mampu menjawab persoalan fenomena perdagangan manusia di Kota Medan, khususnya persoalan perempuan dan anak.Dan acuan yang dipakai memakai data dari negara Amerika Serikat pada tahun 2004. Jadi lebih bagus gak usah dibuat daripada gak jalan nantinya perda ini,” katanya.
Dalam hal ini,Misran juga mengkritik tentang P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) yang hingga kini belum berjalan di Kota Medan.
“Untuk kelembagaan apakah hanya P2TP2A. Ini telah dibentuk lama oleh kementerian,tapi mana hingga kini tidak ada,”kritiknya. Namun begitu, Misran mengungkapkan sudah selayaknya Pansus Trafficking memanggil SKPD terkait dan lembaga yang menangani masalah trafficking tersebut. “Karena bagaimanapun, Ranperda Trafficking itu tidak akan berguna bila tidak dibahas secara bersama-sama dengan SKPD terkait dan lembaga yang menaunginya,” ujarnya.
Misran Lubis mengharapkan agar Pansus Trafficking DPRD Kota Medan tidak terburu-buru dalam mengesahkan Ranperda Trafficking tersebut. Pasalnya, draft Ranperdanya masih membahas isu trafficking secara global, tidak secara teknis. “Draft Ranperda Trafficking itu hanya membahas isu global yang sudah diatur dalam regulasi tentang trafficking secara nasional. Maunya, Ranperdanya ada membahas tentang isu penyelesaian trafficking secara teknis, dan lebih spesifik lagi membahas tentang isu penanganan trafficking di lokal,” ungkapnya.
Sedangkan,Wakil Ketua Komisi C DPRD Medan, Godfried Effendi Lubis mengatakan raperda tersebut tidak memakai kajian akademik dengan melibatkan perguruan tinggi sesuai dengan UU No 12 Tahun 2011,sehingga Ranperda tersebut hanya mencari keuntungan.
“Masa kayak gini Raperdanya.Ini hanya asal-asalan saja dan mau mencari keuntungan saja.Karena untuk satu pembuatan peraturan daerah bisa menghabiskan anggaran Rp 500 juta lebih. Jadi ini dibuat untuk mendapatkan keuntungan,” kata politisi Gerindra itu. (win/gib/deo)