27.8 C
Medan
Wednesday, May 8, 2024

Nekat Masuk Zona Merah setelah 6 Bulan Tak Terima Bantuan

Foto: AFP Photo/Gatha Ginting Anggota tim SAR Indonesia memeriksa Desa Gamber Karo, Senin (23/5/2016), menyusul erupsi Gunung Sinabung yang menewaskan 7 warga desa di Karo, Sumatra Utara, Sabtu (21/5/2016). Mereka menyusuri warga desa yang mungkin masih bertahan di desa pasca erupsi.
Foto: AFP Photo/Gatha Ginting
Anggota tim SAR Indonesia memeriksa Desa Gamber Karo, Senin (23/5/2016), menyusul erupsi Gunung Sinabung yang menewaskan 7 warga desa di Karo, Sumatra Utara, Sabtu (21/5/2016). Mereka menyusuri warga desa yang mungkin masih bertahan di desa pasca erupsi.

KARO, SUMUTPOS.CO – Tewasnya tujuh orang warga Desa Gamber, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, akibat awan panas Gunung Sinabung, Sabtu (21/5) lalu, menguak cerita baru. Warga mengaku nekat kembali ke rumah masing-masing yang masuk dalam zona merahj untuk melakukan aktivitas, lantaran desakan ekonomi.

Bantuan yang diberikan pemerintah kepada para korban tak mencukupi kebutuhan hidup mereka. Alasan itulah yang menjadikan para korban bertaruh nyawa untuk berladang di lahan yang berjarak sekitar 4 hingga 5 Km dari gunung yang masih erupsi dan berpotensi meletus itu.

Siti Beru Ginting (70), istri dari Cahaya Sembiring Meliala mengungkapkan, ia dan suaminya memang terpaksa kembali mengolah kebun kopinya. Sebab, bantuan yang disediakan pemerintah dinilainya tidak mencukupi.

“Memang kami rutin masuk kembali ke desa setiap harinya. Tapi itu juga karena terpaksa,” ungkap Siti yang ditemui di ruang tunggu ICU Central Medical Unit lantai 4 RSUP H Adam Malik, Senin (23/5).

Dikatakannya, bantuan yang diberikan pemerintah hanya cukup untuk makan sehari-hari. Bahkan, terkadang bantuan itupun masih kurang. Belum lagi kebutuhan lainnya, seperti biaya sekolah yang harus dipenuhi. Jadi mau tidak mau harus memanfaatkan kebun lagi untuk mendapatkan penghasilan. Walaupun berada di zona merah.

“Memang umum dilakukan warga di desa kami. Sebab, mau bagaimana lagi untuk mencari uang selain berladang. Tak hanya berladang, kami juga ke sana menjaga rumah yang ditinggalkan karena bencana erupsi Sinabung. Kalau siang kami memang ke sana, tapi malamnya kembali mengungsi di tempat keluarga,” tutur Siti.

Ia menuturkan, ketika peristiwa awan panas itu terjadi, dirinya sedang berada di zona merah bersama suami dan kerabatnya yang lain yang menjadi korban. Sebelum awan panas meluncur, pemberitahuan peringatan bahaya pun diberikan oleh aparat setempat. Sehingga, ia lari bersama beberapa kerabatnya menyelamatkan diri dengan menggunakan mobil evakuasi.

Namun naas bagi suaminya, menjadi salah satu korban terkena awan panas. Meski tidak meninggal, tetapi mengalami luka bakar yang serius di sekujur tubuhnya.

“Saya sudah sempat naik, tetapi suami saya belum karena memanggil warga lainnya untuk dievakuasi. Sehingga, dia menjadi korban,” kenang Siti dengan sedih.

Karenanya, Siti berharap kepada pemerintah agar memikirkan bantuan yang diberikan kepada para pengungsi Gunung Sinabung. Bantuan tersebut tidak hanya biaya hidup dan mengontrak rumah, melainkan juga untuk biaya sekolah dan hal lainnya.

“Kalau bantuan pemerintah cukup, pasti kami tidak akan kembali ke rumah untuk berladang. Makanya, pemerintah harus memikirkan juga bantuan apa saja yang diperlukan para pengungsi,” sebutnya.

Tak jauh berbeda dengan Siti, dikatakan Rusni Beru Sitepu, keluarga dari Cahaya Beru Tarigan (45). Kata Rusni, keluarganya nekat kembali ke daerah terlarang karena butuh biaya untuk menyambung hidup dengan berladang.

“Bibi itu (Cahaya Beru Tarigan) dan suaminya (alm Karman Meliala) memang asli penduduk Desa Gamber. Keluarga sempat minta dia untuk pindah dari sana, tetapi tidak mau dengan alasan ekonomi. Mereka memilih untuk tetap bertahan di sana, meski nyawa taruhannya,” jelas Rusni.

Menurutnya, mereka kembali karena dana bantuan dari pemerintah tidak ada lagi. Mereka terima hanya 6 bulan terakhir dan setelah itu tidak ada.

“Bibi kami ini tiga bersaudara dan dia anak paling bungsu. Dia memiliki dua anak, satu laki-laki dan satu perempuan yang masih butuh biaya,” ujar Rusni.

Foto: M Idris/Sumut Pos Korban bencana awan panas Gunung Sinabung, Cahaya Sembiring Meliala (73), masih terbaring kritis di ICU RSUP H Adam Malik.
Foto: M Idris/Sumut Pos
Korban bencana awan panas Gunung Sinabung, Cahaya Sembiring Meliala (73), masih terbaring kritis di ICU RSUP H Adam Malik.

Lebih lanjut ia mengatakan, saat ini kondisi Cahaya Beru Tarigan memang mengalami perubahan sedikit lebih baik, sudah bisa berbicara. Selain itu, luka bakar di bagian wajahnya mulai membaik. “Waktu pertama masuk, mukanya merah betul, tapi sekarang sudah normal seperti warna kulitnya,” ucap Rusni.

Dia mengemukakan, waktu kejadian awan panas, anak korban yang laki-laki sedang keluar rumah. Sementara yang perempuan lari menyelamatkan diri ketika mengetahui awan panas turun.

“Suaminya saat kejadian sedang diluar juga. Tetapi, karena anaknya yang perempuan disuruh jemput ibunya tak mau, jadi suaminya kembali ke rumah untuk menjemput. Namun, waktu menjemput istrinya, sang suami terkena awan panas. Di situlah nyawanya tak terselamatkan,” pungkas Rusni.

Foto: AFP Photo/Gatha Ginting Anggota tim SAR Indonesia memeriksa Desa Gamber Karo, Senin (23/5/2016), menyusul erupsi Gunung Sinabung yang menewaskan 7 warga desa di Karo, Sumatra Utara, Sabtu (21/5/2016). Mereka menyusuri warga desa yang mungkin masih bertahan di desa pasca erupsi.
Foto: AFP Photo/Gatha Ginting
Anggota tim SAR Indonesia memeriksa Desa Gamber Karo, Senin (23/5/2016), menyusul erupsi Gunung Sinabung yang menewaskan 7 warga desa di Karo, Sumatra Utara, Sabtu (21/5/2016). Mereka menyusuri warga desa yang mungkin masih bertahan di desa pasca erupsi.

KARO, SUMUTPOS.CO – Tewasnya tujuh orang warga Desa Gamber, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, akibat awan panas Gunung Sinabung, Sabtu (21/5) lalu, menguak cerita baru. Warga mengaku nekat kembali ke rumah masing-masing yang masuk dalam zona merahj untuk melakukan aktivitas, lantaran desakan ekonomi.

Bantuan yang diberikan pemerintah kepada para korban tak mencukupi kebutuhan hidup mereka. Alasan itulah yang menjadikan para korban bertaruh nyawa untuk berladang di lahan yang berjarak sekitar 4 hingga 5 Km dari gunung yang masih erupsi dan berpotensi meletus itu.

Siti Beru Ginting (70), istri dari Cahaya Sembiring Meliala mengungkapkan, ia dan suaminya memang terpaksa kembali mengolah kebun kopinya. Sebab, bantuan yang disediakan pemerintah dinilainya tidak mencukupi.

“Memang kami rutin masuk kembali ke desa setiap harinya. Tapi itu juga karena terpaksa,” ungkap Siti yang ditemui di ruang tunggu ICU Central Medical Unit lantai 4 RSUP H Adam Malik, Senin (23/5).

Dikatakannya, bantuan yang diberikan pemerintah hanya cukup untuk makan sehari-hari. Bahkan, terkadang bantuan itupun masih kurang. Belum lagi kebutuhan lainnya, seperti biaya sekolah yang harus dipenuhi. Jadi mau tidak mau harus memanfaatkan kebun lagi untuk mendapatkan penghasilan. Walaupun berada di zona merah.

“Memang umum dilakukan warga di desa kami. Sebab, mau bagaimana lagi untuk mencari uang selain berladang. Tak hanya berladang, kami juga ke sana menjaga rumah yang ditinggalkan karena bencana erupsi Sinabung. Kalau siang kami memang ke sana, tapi malamnya kembali mengungsi di tempat keluarga,” tutur Siti.

Ia menuturkan, ketika peristiwa awan panas itu terjadi, dirinya sedang berada di zona merah bersama suami dan kerabatnya yang lain yang menjadi korban. Sebelum awan panas meluncur, pemberitahuan peringatan bahaya pun diberikan oleh aparat setempat. Sehingga, ia lari bersama beberapa kerabatnya menyelamatkan diri dengan menggunakan mobil evakuasi.

Namun naas bagi suaminya, menjadi salah satu korban terkena awan panas. Meski tidak meninggal, tetapi mengalami luka bakar yang serius di sekujur tubuhnya.

“Saya sudah sempat naik, tetapi suami saya belum karena memanggil warga lainnya untuk dievakuasi. Sehingga, dia menjadi korban,” kenang Siti dengan sedih.

Karenanya, Siti berharap kepada pemerintah agar memikirkan bantuan yang diberikan kepada para pengungsi Gunung Sinabung. Bantuan tersebut tidak hanya biaya hidup dan mengontrak rumah, melainkan juga untuk biaya sekolah dan hal lainnya.

“Kalau bantuan pemerintah cukup, pasti kami tidak akan kembali ke rumah untuk berladang. Makanya, pemerintah harus memikirkan juga bantuan apa saja yang diperlukan para pengungsi,” sebutnya.

Tak jauh berbeda dengan Siti, dikatakan Rusni Beru Sitepu, keluarga dari Cahaya Beru Tarigan (45). Kata Rusni, keluarganya nekat kembali ke daerah terlarang karena butuh biaya untuk menyambung hidup dengan berladang.

“Bibi itu (Cahaya Beru Tarigan) dan suaminya (alm Karman Meliala) memang asli penduduk Desa Gamber. Keluarga sempat minta dia untuk pindah dari sana, tetapi tidak mau dengan alasan ekonomi. Mereka memilih untuk tetap bertahan di sana, meski nyawa taruhannya,” jelas Rusni.

Menurutnya, mereka kembali karena dana bantuan dari pemerintah tidak ada lagi. Mereka terima hanya 6 bulan terakhir dan setelah itu tidak ada.

“Bibi kami ini tiga bersaudara dan dia anak paling bungsu. Dia memiliki dua anak, satu laki-laki dan satu perempuan yang masih butuh biaya,” ujar Rusni.

Foto: M Idris/Sumut Pos Korban bencana awan panas Gunung Sinabung, Cahaya Sembiring Meliala (73), masih terbaring kritis di ICU RSUP H Adam Malik.
Foto: M Idris/Sumut Pos
Korban bencana awan panas Gunung Sinabung, Cahaya Sembiring Meliala (73), masih terbaring kritis di ICU RSUP H Adam Malik.

Lebih lanjut ia mengatakan, saat ini kondisi Cahaya Beru Tarigan memang mengalami perubahan sedikit lebih baik, sudah bisa berbicara. Selain itu, luka bakar di bagian wajahnya mulai membaik. “Waktu pertama masuk, mukanya merah betul, tapi sekarang sudah normal seperti warna kulitnya,” ucap Rusni.

Dia mengemukakan, waktu kejadian awan panas, anak korban yang laki-laki sedang keluar rumah. Sementara yang perempuan lari menyelamatkan diri ketika mengetahui awan panas turun.

“Suaminya saat kejadian sedang diluar juga. Tetapi, karena anaknya yang perempuan disuruh jemput ibunya tak mau, jadi suaminya kembali ke rumah untuk menjemput. Namun, waktu menjemput istrinya, sang suami terkena awan panas. Di situlah nyawanya tak terselamatkan,” pungkas Rusni.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/