26 C
Medan
Friday, May 3, 2024

Melihat Kondisi Istana Maimun setelah Berusia 125 Tahun

Istana Maimun, unggulan pemerintah kota Medan sebagai tempat tujuan wisata. Bangunan, Meriam Puntung, dan sejarahnya membuat siapa saja menjadi penasaran dan ingin mengunjunginya. Siapa sangka kalau usianya sudah 125 tahun? Nah, seperti apa keadaannya sekarang?

Puput Julianti Damanik, Medan

GANGGU PEMANDANGAN: Jemuran terpampang  areal Istana Maimun Medan, Jumat (23/8). //AMINOER RASYID/SUMUT POS
GANGGU PEMANDANGAN: Jemuran terpampang di areal Istana Maimun Medan, Jumat (23/8). //AMINOER RASYID/SUMUT POS

Warisan Budaya Melayu ini memang memiliki nilai histori yang tinggi. Sangat penting bagi perkembangan kebudayaan dan peradaban manusia ke depannya.

Sayangnya, 125 tahun peringatan berdirinya Istana Maimun, nilai estetika bangunan yang berarsitektur perpaduan unsur tradisional, Eropa, Persia, dan India itu semakin kumuh.

Memasuki Istana Maimun, kita tidak lagi dapat melihat keindahannya seperti yang di foto-foto peninggalan terdahulu. Kearifan lokal hilang saat kita melihat rentetan penjual bunga di sisi depan sebelah kiri. Puluhan bus yang sengaja mangkal di sisi samping belakang dan jemuran yang bergantungan di sayap kiri istana. Wajar jika seorang sejarahwan, Prof DR Phil Ichwan Azhari mengatakan ‘orang hanya akan datang sekali saja ke Istana Maimun’.
Istana yang dibangun di atas tanah ukuran 217 x 200 m yang berada di Jalan Brigjen Katamso ini dikelilingi oleh pagar besi setinggi 1 m menghadap ke arah timur. Bangunannya terdiri menjadi 3 bagian, bangunan induk, sayap kiri dan sayap kanan dan betingkat dua yang ditopang oleh 82 tiang batu dan 43 buah tiang kayu dengan lengkungan berbentuk lunas perahu terbalik dan ladam kuda. Atapnya terlihat seperti kubah, terbuat dari atap sirap dan seng. Istana Maimun tampak mewah dan megah, apalagi bila kita melihat beberapa meter dari luar gerbangnya.

Memasuki bangunan induk, kita juga akan melihat prasasti berbahasa Belanda dan Melayu yang terdapat pada sekeping marmer di kedua tiang ujung tangga naik: DE EERSTE STEEN VAN DIT GEBOUW, IS GELEGD OP DEN 26 AUGUSTUS 1888 DOOR Z.H.DEN SULTAN VAN DELI, MAHMOED EL RASJID PERKASA ALAMSJA. Tulisan tersebut membuktikan, peletakan batu pertama pembangunan Istana Maimun dilakukan pada tanggal 26 Agustus 1888 oleh Sultan Ma’mun Al-Rasyid Perkasa Alam. Saat ini usia Istana Maimun telah mencapai 125 tahun.

Rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk peringati Istana Maimun ke-125 diawali dengan seminar mengenai sejarah Kesultanan Deli, Istana Maimun, dan Medan. Dalam kegiatan tersebut, seorang peserta bernama Siba menanyakan tentang kepastian hukum untuk sebuah benda cagar budaya. Ia sangat menyayangkan karena Istana Maimun ibarat tak bertuan. Tidak jelas siapa pengelolahnya, sehingga seharusnya ada peraturan pemerintah atau Undang-undang yang mengatur hal tersebut.

Siba mengharapkan agar Istana Maimun dikembalikan kepada Kesultanan Deli. Hal ini dikatakannya karena melihat kondisi Istana Maimun saat ini. “Istana Maimun itu hak ulayat, bukan milik pribadi. Ditakutkan, jika Istana Maimun ini dinilai milik pribadi, maka bisa saja ke depannya Istana Maimun ini akan dijual,” ucapnya.

Menanggapi hal tersebut, sejarawan dari Pusis Unimed Prof DR Phil Ichwan Azhari yang juga menjadi pemateri dalam seminar membenarkan hal tersebut. “Memang tidak jelas, siapa yang mengelolah Istana Maimun ini, sultankah? Susah, karena masih ada empat faksi di sini. Beberapa orang menganggap istana ini sebagai warisannya. Dalam sebuah kebudayaan hal seperti ini sangat berbahaya, bayangkan bila sisa-sisa makanan terjatuh di bangunan itu, kemudia banyak semut dan rayap maka itu akan menghancurkan berlahan bangunan istana ini,” ujarnya.

Tambahnya, tidak seharusnya kain jemuran ada di Istana Maimun. “Bayangkan aja, ada jemuran di tempat cagar budaya seperti ini. Orang yang kemari pun akhirnya hanya sekali saja datang, besok dia tidak mau lagi kemari,” katanya.

Tidak hanya itu, suku Melayu yang menjadi identitas Medan secara perlahan juga mulai hilang dengan sendirinya. Sudah sulit dijumpai bahasa Melayu di Kota Medan. Bahkan, bukan hanya bahasa, masyarakat bersuku Melayu pun perlahan mulai mengasingkan diri dari Medan. Padahal dahulunya, sebagian wilayah Medan merupakan wilayah perkampungan Melayu. “Jadi dahulunya Kota Maksum dan daerah lainnya di sekitar Istana Maimun Medan ini merupakan Kampung Melayu. Tetapi sekarang sudah sulit menjumpai orang Melayu di daerah-daerah tersebut ,” katanya.

Tidak banyak yang Ichwan harapkan sebagai sejarahwan yang juga bersuku Melayu, ia hanya mengharapkan agar dilakukan relokasi penghuni Istana Maimun serta membangun sebuah replika dan Kampung Melayu. “Memang benar yang dikatakan oleh Pak Siba tadi, seharusnya ada peraturan atau undang-undang khusus pengelolahan bangunan bersejarah seperti Istana Maimun ini. Seharusnya pengelolahan diserahkan ke sultan. Sultan memang masih kecil, tapi kan ada pemangku sultannya. Sehingga Istana Maimun ini dapat lebih baik dan menjadi kebanggaan,” ujarnya.

Selain itu, masyarakat Medan khususnya suku Melayu juga harus ikut menjaga dan melestarikan budaya Melayu. Salah satu upaya menjaga dan melestarikan budaya ini dengan cara membangun replika atau museum kebudayaan Melayu. Membangun satu kawasan khusus kampung Melayu juga baik dilakukan untuk memperkuat dan melestarikan budaya ini. “Museum itu penarik kebudayaan. Lewat museum, identitas kebudayaan kembali diteguhkan khususnya membuat sebuah kampung melayu di kota Medan, memang memerlukan biaya yang besar,” ujarnya.

Menambahkan, Dra Misnah Salihat M.Hum dari Dinas Pariwisata Sumut menyatakan bahwa hal lainnya yang harus dilakukan untuk melestarikan budaya Melayu adalah dengan menjaga cagar budaya Melayu yakni Istana Maimun Medan yang sudah dilindungi oleh undang-undang. “Kalau bangunan itu sudah menjadi cagar budaya dan dilindungi oleh undang-undang, maka tidak boleh lagi bangunan itu ditambah dan dikurangi. Nilai historis dan keaslian dari bangunan itu harus tetap dipertahankan. Tidak seperti keberadaan Istana Maimun saat ini yang sudah banyak ditambahi dengan benda lainnya sehingga menghilangkan unsur cagar budaya,” katanya.

Tidak jauh berbeda, ia juga mengharapkan agar Istana Maimun Medan ini lebih diperhatikan oleh ahli warisnya dalam hal ini generasi yang peduli dengan budaya dan berniat untuk melestarikannya. “Dengan usia 125 tahun Istana Maimun ini kita sangat prihatin melihat kondisinya,” ujarnya.
Keprihatin yang sama juga diungkapkan oleh Tengku Azwansyah A Teruna yang juga menjadi pemateri dalam seminar yang dilakukan di dalam Istana Maimun. “Medan itu lebih dikenal Horas-nya. Bukan suku Melayu. Saya berharap Indonesia memiliki pemerintah yang lebih perduli dengan budayanya,” ujarnya.

Rangkaian kegiatan 125 Istana Maimun juga akan dilanjutkan hari ini, Sabtu (24/8) dengan berbagai kegiatan adat oleh Sultan Deli XIV Tuanku Aria Mahmud Lamanjiji Perkasa Alam. Berbagai kegiatan seperti tarian melayu dan berbagai budaya atau peninggalan Kesultanan Deli juga akan dipamerkan untuk memeriahkan kegiatan. (*)

Istana Maimun, unggulan pemerintah kota Medan sebagai tempat tujuan wisata. Bangunan, Meriam Puntung, dan sejarahnya membuat siapa saja menjadi penasaran dan ingin mengunjunginya. Siapa sangka kalau usianya sudah 125 tahun? Nah, seperti apa keadaannya sekarang?

Puput Julianti Damanik, Medan

GANGGU PEMANDANGAN: Jemuran terpampang  areal Istana Maimun Medan, Jumat (23/8). //AMINOER RASYID/SUMUT POS
GANGGU PEMANDANGAN: Jemuran terpampang di areal Istana Maimun Medan, Jumat (23/8). //AMINOER RASYID/SUMUT POS

Warisan Budaya Melayu ini memang memiliki nilai histori yang tinggi. Sangat penting bagi perkembangan kebudayaan dan peradaban manusia ke depannya.

Sayangnya, 125 tahun peringatan berdirinya Istana Maimun, nilai estetika bangunan yang berarsitektur perpaduan unsur tradisional, Eropa, Persia, dan India itu semakin kumuh.

Memasuki Istana Maimun, kita tidak lagi dapat melihat keindahannya seperti yang di foto-foto peninggalan terdahulu. Kearifan lokal hilang saat kita melihat rentetan penjual bunga di sisi depan sebelah kiri. Puluhan bus yang sengaja mangkal di sisi samping belakang dan jemuran yang bergantungan di sayap kiri istana. Wajar jika seorang sejarahwan, Prof DR Phil Ichwan Azhari mengatakan ‘orang hanya akan datang sekali saja ke Istana Maimun’.
Istana yang dibangun di atas tanah ukuran 217 x 200 m yang berada di Jalan Brigjen Katamso ini dikelilingi oleh pagar besi setinggi 1 m menghadap ke arah timur. Bangunannya terdiri menjadi 3 bagian, bangunan induk, sayap kiri dan sayap kanan dan betingkat dua yang ditopang oleh 82 tiang batu dan 43 buah tiang kayu dengan lengkungan berbentuk lunas perahu terbalik dan ladam kuda. Atapnya terlihat seperti kubah, terbuat dari atap sirap dan seng. Istana Maimun tampak mewah dan megah, apalagi bila kita melihat beberapa meter dari luar gerbangnya.

Memasuki bangunan induk, kita juga akan melihat prasasti berbahasa Belanda dan Melayu yang terdapat pada sekeping marmer di kedua tiang ujung tangga naik: DE EERSTE STEEN VAN DIT GEBOUW, IS GELEGD OP DEN 26 AUGUSTUS 1888 DOOR Z.H.DEN SULTAN VAN DELI, MAHMOED EL RASJID PERKASA ALAMSJA. Tulisan tersebut membuktikan, peletakan batu pertama pembangunan Istana Maimun dilakukan pada tanggal 26 Agustus 1888 oleh Sultan Ma’mun Al-Rasyid Perkasa Alam. Saat ini usia Istana Maimun telah mencapai 125 tahun.

Rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk peringati Istana Maimun ke-125 diawali dengan seminar mengenai sejarah Kesultanan Deli, Istana Maimun, dan Medan. Dalam kegiatan tersebut, seorang peserta bernama Siba menanyakan tentang kepastian hukum untuk sebuah benda cagar budaya. Ia sangat menyayangkan karena Istana Maimun ibarat tak bertuan. Tidak jelas siapa pengelolahnya, sehingga seharusnya ada peraturan pemerintah atau Undang-undang yang mengatur hal tersebut.

Siba mengharapkan agar Istana Maimun dikembalikan kepada Kesultanan Deli. Hal ini dikatakannya karena melihat kondisi Istana Maimun saat ini. “Istana Maimun itu hak ulayat, bukan milik pribadi. Ditakutkan, jika Istana Maimun ini dinilai milik pribadi, maka bisa saja ke depannya Istana Maimun ini akan dijual,” ucapnya.

Menanggapi hal tersebut, sejarawan dari Pusis Unimed Prof DR Phil Ichwan Azhari yang juga menjadi pemateri dalam seminar membenarkan hal tersebut. “Memang tidak jelas, siapa yang mengelolah Istana Maimun ini, sultankah? Susah, karena masih ada empat faksi di sini. Beberapa orang menganggap istana ini sebagai warisannya. Dalam sebuah kebudayaan hal seperti ini sangat berbahaya, bayangkan bila sisa-sisa makanan terjatuh di bangunan itu, kemudia banyak semut dan rayap maka itu akan menghancurkan berlahan bangunan istana ini,” ujarnya.

Tambahnya, tidak seharusnya kain jemuran ada di Istana Maimun. “Bayangkan aja, ada jemuran di tempat cagar budaya seperti ini. Orang yang kemari pun akhirnya hanya sekali saja datang, besok dia tidak mau lagi kemari,” katanya.

Tidak hanya itu, suku Melayu yang menjadi identitas Medan secara perlahan juga mulai hilang dengan sendirinya. Sudah sulit dijumpai bahasa Melayu di Kota Medan. Bahkan, bukan hanya bahasa, masyarakat bersuku Melayu pun perlahan mulai mengasingkan diri dari Medan. Padahal dahulunya, sebagian wilayah Medan merupakan wilayah perkampungan Melayu. “Jadi dahulunya Kota Maksum dan daerah lainnya di sekitar Istana Maimun Medan ini merupakan Kampung Melayu. Tetapi sekarang sudah sulit menjumpai orang Melayu di daerah-daerah tersebut ,” katanya.

Tidak banyak yang Ichwan harapkan sebagai sejarahwan yang juga bersuku Melayu, ia hanya mengharapkan agar dilakukan relokasi penghuni Istana Maimun serta membangun sebuah replika dan Kampung Melayu. “Memang benar yang dikatakan oleh Pak Siba tadi, seharusnya ada peraturan atau undang-undang khusus pengelolahan bangunan bersejarah seperti Istana Maimun ini. Seharusnya pengelolahan diserahkan ke sultan. Sultan memang masih kecil, tapi kan ada pemangku sultannya. Sehingga Istana Maimun ini dapat lebih baik dan menjadi kebanggaan,” ujarnya.

Selain itu, masyarakat Medan khususnya suku Melayu juga harus ikut menjaga dan melestarikan budaya Melayu. Salah satu upaya menjaga dan melestarikan budaya ini dengan cara membangun replika atau museum kebudayaan Melayu. Membangun satu kawasan khusus kampung Melayu juga baik dilakukan untuk memperkuat dan melestarikan budaya ini. “Museum itu penarik kebudayaan. Lewat museum, identitas kebudayaan kembali diteguhkan khususnya membuat sebuah kampung melayu di kota Medan, memang memerlukan biaya yang besar,” ujarnya.

Menambahkan, Dra Misnah Salihat M.Hum dari Dinas Pariwisata Sumut menyatakan bahwa hal lainnya yang harus dilakukan untuk melestarikan budaya Melayu adalah dengan menjaga cagar budaya Melayu yakni Istana Maimun Medan yang sudah dilindungi oleh undang-undang. “Kalau bangunan itu sudah menjadi cagar budaya dan dilindungi oleh undang-undang, maka tidak boleh lagi bangunan itu ditambah dan dikurangi. Nilai historis dan keaslian dari bangunan itu harus tetap dipertahankan. Tidak seperti keberadaan Istana Maimun saat ini yang sudah banyak ditambahi dengan benda lainnya sehingga menghilangkan unsur cagar budaya,” katanya.

Tidak jauh berbeda, ia juga mengharapkan agar Istana Maimun Medan ini lebih diperhatikan oleh ahli warisnya dalam hal ini generasi yang peduli dengan budaya dan berniat untuk melestarikannya. “Dengan usia 125 tahun Istana Maimun ini kita sangat prihatin melihat kondisinya,” ujarnya.
Keprihatin yang sama juga diungkapkan oleh Tengku Azwansyah A Teruna yang juga menjadi pemateri dalam seminar yang dilakukan di dalam Istana Maimun. “Medan itu lebih dikenal Horas-nya. Bukan suku Melayu. Saya berharap Indonesia memiliki pemerintah yang lebih perduli dengan budayanya,” ujarnya.

Rangkaian kegiatan 125 Istana Maimun juga akan dilanjutkan hari ini, Sabtu (24/8) dengan berbagai kegiatan adat oleh Sultan Deli XIV Tuanku Aria Mahmud Lamanjiji Perkasa Alam. Berbagai kegiatan seperti tarian melayu dan berbagai budaya atau peninggalan Kesultanan Deli juga akan dipamerkan untuk memeriahkan kegiatan. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/