26.7 C
Medan
Friday, May 3, 2024

Penanganan Korupsi Harus Ada Bukti Kerugian Negara

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Terobosan telah dikeluarkan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penanganan kasus korupsi di Indonesia. Kemarin (25/1), MK memutuskan, penanganan korupsi harus didahului dengan adanya bukti kerugian negara yang riil (actual loss).

Terobosan tersebut merupakan putusan atas judicial review (JR) pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 Undang-undang 20 tahun 2001 Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Dalam pasal tersebut, dikatakan korupsi jika seseorang melakukan perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri, orang lain atau korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara.

Ketua MK Arief Hidayat mengatakan, mahkamah menilai, frasa “dapat” dalam pasal tersebut bersifat inkonstitusional. Sebab bertentangan dengan asas kepastian hukum yang adil dan pasti seperti diamanatkan pasal 28D UUD 1945.

Akibatnya, frasa tersebut menciptakan kekhawatiran bagi seseorang yang menduduki jabatan tertentu untuk menciptakan terobosan kebijakan. Apalagi, lanjut Arief, frasa “dapat” dalam kedua pasal tersebut dijadikan sebagai delik formil. Hal, itu menurut mahkamah, sering disalahgunakan untuk menjangkau perbuatan yang diduga merugikan negara oleh aparat negara.

“Termasuk terhadap keputusan diskresi,” terangnya saat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, kemarin.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Terobosan telah dikeluarkan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penanganan kasus korupsi di Indonesia. Kemarin (25/1), MK memutuskan, penanganan korupsi harus didahului dengan adanya bukti kerugian negara yang riil (actual loss).

Terobosan tersebut merupakan putusan atas judicial review (JR) pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 Undang-undang 20 tahun 2001 Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Dalam pasal tersebut, dikatakan korupsi jika seseorang melakukan perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri, orang lain atau korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara.

Ketua MK Arief Hidayat mengatakan, mahkamah menilai, frasa “dapat” dalam pasal tersebut bersifat inkonstitusional. Sebab bertentangan dengan asas kepastian hukum yang adil dan pasti seperti diamanatkan pasal 28D UUD 1945.

Akibatnya, frasa tersebut menciptakan kekhawatiran bagi seseorang yang menduduki jabatan tertentu untuk menciptakan terobosan kebijakan. Apalagi, lanjut Arief, frasa “dapat” dalam kedua pasal tersebut dijadikan sebagai delik formil. Hal, itu menurut mahkamah, sering disalahgunakan untuk menjangkau perbuatan yang diduga merugikan negara oleh aparat negara.

“Termasuk terhadap keputusan diskresi,” terangnya saat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, kemarin.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/