25 C
Medan
Wednesday, May 15, 2024

Korupsi Subur, Hutan Sumatera Hancur

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2014 terkait Sistem Perizinan di Sektor Kehutanan menemukan potensi suap di sektor perizinan mencapai Rp22 miliar. Kajian tersebut seolah mengafirmasi apa yang terjadi pada kasus-kasus yang terjadi di Riau selama ini. Sumatera bagian utara juga berulang kali didera kasus korupsi kehutanan. Sebut saja seperti Adelin Lis di Mandailingnatal dan Azmun Jaafar di Riau. Selain itu, Tengku Azmun, belum lama ini, ada Annas Maamun tertangkap tangan KPK terkait suap-menyuap perubahan kawasan hutan untuk perkebunan PT Duta Palma.

“Pembelajaran kasus-kasus dan kajian tersebut, mendorong kami (KPK, Red) untuk menginisiasi ditandatanganinya Nota Kesepakatan Bersama 29 Kementerian dan Lembaga Negara tentang Gerakan Penyelamatan Sumber Daya Alam yang diteken pada 19 Maret 2015,” ujarnya Pelaksana Tugas Ketua KPK Taufiequrachman Ruki saat memberi keterangan pers usai menggelar Rapat Koordinasi dan Supervisi di empat provinsi di Sumatera Bagian Utara yang terdiri dari Provinsi Aceh, Provinsi Sumut, Sumatera Barat dan Riau di Aula Martabe Kantor Gubsu Jalan P Diponegoro Medan, Rabu (25/3).

Kegiatan tersebut berawal dari banyaknya pengaduan tentang korupsi kehutanan yang masuk ke KPK, sehingga dilakukan revisi kajian kehutanan pada 2010 dan menemukan hampir 90 persen kawasan hutan di Indonesia, diragukan keabsahannya karena belum dikukuhkan. Berdasarkan temuan Koalisi Anti Mafia Hutan, terdapat beberapa isu krusial soal perkebunan dan hutan antara lain; Pembiaran hutan tanpa kepastian hukum; Kesemrawutan penerbitan izin hutan dan perkebunan; Pengelolaan hutan dan kebun menjadi ruang konflik; Penegakan hukum masih memberikan keuntungan bagi korporasi hitam. (prn/azw)
“Salah satu persoalan yang memberikan ruang terjadinya korupsi adalah ketidakpastian kawasan hutan. Diantaranya pengukuhan kawasan hutan tidak kunjung selesai hingga saat ini. Di sisi lain, perubahan kawasan hutan maupun tata ruang yang ada pun ditengarai lebih banyak digunakan untuk kepentingan kegiatan-kegiatan usaha eksploitatif skala besar, bahkan bukan untuk masyarakat. Kasus Duta Palma menjadi ilustrasi terjadinya pemutihan perkebunan sawit ilegal melalui mekanisme perubahan peruntukan kawasan hutan maupun kawasan hutan,” jelas Ruki. (prn/azw)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2014 terkait Sistem Perizinan di Sektor Kehutanan menemukan potensi suap di sektor perizinan mencapai Rp22 miliar. Kajian tersebut seolah mengafirmasi apa yang terjadi pada kasus-kasus yang terjadi di Riau selama ini. Sumatera bagian utara juga berulang kali didera kasus korupsi kehutanan. Sebut saja seperti Adelin Lis di Mandailingnatal dan Azmun Jaafar di Riau. Selain itu, Tengku Azmun, belum lama ini, ada Annas Maamun tertangkap tangan KPK terkait suap-menyuap perubahan kawasan hutan untuk perkebunan PT Duta Palma.

“Pembelajaran kasus-kasus dan kajian tersebut, mendorong kami (KPK, Red) untuk menginisiasi ditandatanganinya Nota Kesepakatan Bersama 29 Kementerian dan Lembaga Negara tentang Gerakan Penyelamatan Sumber Daya Alam yang diteken pada 19 Maret 2015,” ujarnya Pelaksana Tugas Ketua KPK Taufiequrachman Ruki saat memberi keterangan pers usai menggelar Rapat Koordinasi dan Supervisi di empat provinsi di Sumatera Bagian Utara yang terdiri dari Provinsi Aceh, Provinsi Sumut, Sumatera Barat dan Riau di Aula Martabe Kantor Gubsu Jalan P Diponegoro Medan, Rabu (25/3).

Kegiatan tersebut berawal dari banyaknya pengaduan tentang korupsi kehutanan yang masuk ke KPK, sehingga dilakukan revisi kajian kehutanan pada 2010 dan menemukan hampir 90 persen kawasan hutan di Indonesia, diragukan keabsahannya karena belum dikukuhkan. Berdasarkan temuan Koalisi Anti Mafia Hutan, terdapat beberapa isu krusial soal perkebunan dan hutan antara lain; Pembiaran hutan tanpa kepastian hukum; Kesemrawutan penerbitan izin hutan dan perkebunan; Pengelolaan hutan dan kebun menjadi ruang konflik; Penegakan hukum masih memberikan keuntungan bagi korporasi hitam. (prn/azw)
“Salah satu persoalan yang memberikan ruang terjadinya korupsi adalah ketidakpastian kawasan hutan. Diantaranya pengukuhan kawasan hutan tidak kunjung selesai hingga saat ini. Di sisi lain, perubahan kawasan hutan maupun tata ruang yang ada pun ditengarai lebih banyak digunakan untuk kepentingan kegiatan-kegiatan usaha eksploitatif skala besar, bahkan bukan untuk masyarakat. Kasus Duta Palma menjadi ilustrasi terjadinya pemutihan perkebunan sawit ilegal melalui mekanisme perubahan peruntukan kawasan hutan maupun kawasan hutan,” jelas Ruki. (prn/azw)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/