24 C
Medan
Thursday, August 22, 2024

Rencana Belajar Tatap Muka, Kadinkes Sumut: Perlu Pemetaan Zonasi Risiko

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Rencana belajar tatap muka yang bakal dilakukan di sekolah, perlu kajian pemetaan zonasi resiko dari para pakar. Sebab, model pembelajaran tersebut saat pandemi Covid-19 tentu berisiko.

CUCI TANGAN: Siswa mencuci tangan saat akan memasuki area sekolah dalam PTM di SMP Negeri Hindu 2 Sukawati, Gianyar, Bali, Selasa (23/3). Pemkab Gianyar membuka PTM bagi siswa SD dan SMP dengan menerapkan prokes, mengatur jumlah siswa, serta membagi waktu belajar menjadi dua sesi.

“Harus ada kajian yang menyeluruh, karena ini kan berisiko. Kalau kajian itu mengatakan boleh, ya enggak ada masalah. Tapi kita serahkan itu kepada pakar-pakar kitan

Masyarakat juga harus mau ikut, jangan maunya saja, karena kalau dasarnya perasaan bukan fakta maka bisa kacau kita,” ungkap Kepala Dinas Kesehatan Pemprov Sumut, Alwi Mujahit Hasibuan, dihubungi wartawan, Jumat (26/3).

Kata Alwi, kebijakan pelarangan belajar tatap muka sebenarnya bukan maunya gubernur Sumut. Melainkan berdasarkan analisis dan usulan dari pakar terkait, seperti pakar pendidikan, pakar kesehatan, pakar psikologi, dan lainnya. Karena itu, jika belajar tatap muka nantinya memang harus kembali dibuka, maka diusulkan ada baiknya agar pakar-pakar itu kembali dikumpulkan untuk membahas perkembangan lebih lanjut.

“Jangan karena kemauan masyarakat saja, karena itu enggak bisa kita jadikan pegangan. Masyarakat ini ‘kan pakainya perasaan, bukan fakta. Bisa saja karena sudah bingung melihat anaknya di rumah, beranggapan lebih bagus kalau sekolah tatap muka,” sebut dia.

Menurut Alwi, pertimbangan dari pakar sangat penting, karena keputusan yang diambil pasti akan lebih objektif. Karenanya, usulan Dinas Kesehatan Sumut lebih bergantung kepada perhitungan dari para pakar tersebut. “Jika dirasa aman (oleh para pakar), ya silakan saja,” ucapnya.

Meski begitu, dia berpendapat, seandainya pembelajaran tatap muka akhirnya dapat dibuka, tentu masih akan ada beberapa daerah yang belum bisa melaksanakannya. Misalnya, Kota Medan karena masih berstatus zona merah (risiko tinggi) Covid-19.

Ia melanjutkan, pemetaan zonasi risiko harus menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam pelaksanaan sekolah tatap muka. Di sisi lain, bagi daerah zona hijau sekalipun tetap harus dikaji lebih jauh. Sebab belum tentu kantong-kantong di desanya juga sudah pasti hijau. “Jangankan anak kecil, orang dewasa saja belum tentu bisa kita atur menjalankan protokol kesehatan. Ini apalagi anak-anak, disuruh jaga jarak, malah akan bergelut dia atau lari-larian dengan teman-temannya,” tandas Alwi.

Sebelumnya, pengamat kesehatan dari USU, dr Delyuzar mengungkapkan, belajar tatap muka di sekolah sebaiknya dilakukan jika sekolah dapat memenuhi standar protokol kesehatan (prokes) pencegahan penularan Covid-19 yang ditetapkan. “Ini harus kerja sama dengan Satgas Covid-19, bahkan kalau bisa setiap sekolah juga disiapkan Satgas yang mengatur standar yang benar,” kata Delyuzar.

Jika standar prokes tidak dapat dipenuhi, maka jangan dilakukan sekolah tatap muka. “Kalau itu tidak bisa dilakukan, jangan dilaksanakan karena berisiko tinggi. Walaupun ada tren angka kasus covid-19 menurun di banyak daerah namun kasusnya tetap ada,” sambung dia.

Delyuzar menuturkan, belajar tatap muka dapat diprioritaskan bagi daerah zona hijau. Namun, kalaupun harus dilakukan maka hal itu harus betul-betul dikuti dengan semua prokes yang ketat. “Misalnya, kapasitas ruangan, jumlah siswa kemudian kesiapan siswa harus diperhatikan,” ucap dia.

Ia menambahkan, di samping prokes yang ketat, perlu disiapkan testing dan tracing Covid-19. Jangan sampai ada murid atau guru yang terpapar saat berlangsungnya sekolah tatap muka itu. “Tidak harus ada perawat di sekolah, namun jika terjadi apa-apa fasilitas kesehatan seperti rumah sakit (RS) dan puskesmas di sekitar sekolah harus siap,” pungkas Delyuzar.

Diketahui, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan, pembelajaran tatap muka akan dibuka secara bertahap pada Juli 2021. “Secara bertahap diusahakan di semester ini sudah buka,” kata Direktur Jenderal PAUD dan Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Kemendikbud, Jumeri, Kamis, 25 Februari 2021.

Namun, Jumeri tak menjelaskan tahap pembukaan sekolah tersebut. Ia mengatakan, PTM ini sekaligus menjadi kampanye protokol kesehatan di sekolah bagi guru maupun siswa. Menurutnya, Kemendikbud mewajibkan pihak sekolah menyiapkan standar operasional maupun fasilitas untuk menjaga kesehatan lingkungan. “Masa pembelajaran tatap muka digunakan untuk kampanye menjaga kesehatan bagi guru dan siswa, galakan penyuluhan kepada siswa agar meningkat kesadarannya akan protokol kesehatan,” ujar dia.

Ia pun meminta kepada pihak sekolah yang membuka proses pembelajaran tatap muka menjalin kerja sama dengan fasilitas kesehatan terdekat. Termasuk komunikasi antara pihak sekolah dan wali murid secara intensif. (ris)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Rencana belajar tatap muka yang bakal dilakukan di sekolah, perlu kajian pemetaan zonasi resiko dari para pakar. Sebab, model pembelajaran tersebut saat pandemi Covid-19 tentu berisiko.

CUCI TANGAN: Siswa mencuci tangan saat akan memasuki area sekolah dalam PTM di SMP Negeri Hindu 2 Sukawati, Gianyar, Bali, Selasa (23/3). Pemkab Gianyar membuka PTM bagi siswa SD dan SMP dengan menerapkan prokes, mengatur jumlah siswa, serta membagi waktu belajar menjadi dua sesi.

“Harus ada kajian yang menyeluruh, karena ini kan berisiko. Kalau kajian itu mengatakan boleh, ya enggak ada masalah. Tapi kita serahkan itu kepada pakar-pakar kitan

Masyarakat juga harus mau ikut, jangan maunya saja, karena kalau dasarnya perasaan bukan fakta maka bisa kacau kita,” ungkap Kepala Dinas Kesehatan Pemprov Sumut, Alwi Mujahit Hasibuan, dihubungi wartawan, Jumat (26/3).

Kata Alwi, kebijakan pelarangan belajar tatap muka sebenarnya bukan maunya gubernur Sumut. Melainkan berdasarkan analisis dan usulan dari pakar terkait, seperti pakar pendidikan, pakar kesehatan, pakar psikologi, dan lainnya. Karena itu, jika belajar tatap muka nantinya memang harus kembali dibuka, maka diusulkan ada baiknya agar pakar-pakar itu kembali dikumpulkan untuk membahas perkembangan lebih lanjut.

“Jangan karena kemauan masyarakat saja, karena itu enggak bisa kita jadikan pegangan. Masyarakat ini ‘kan pakainya perasaan, bukan fakta. Bisa saja karena sudah bingung melihat anaknya di rumah, beranggapan lebih bagus kalau sekolah tatap muka,” sebut dia.

Menurut Alwi, pertimbangan dari pakar sangat penting, karena keputusan yang diambil pasti akan lebih objektif. Karenanya, usulan Dinas Kesehatan Sumut lebih bergantung kepada perhitungan dari para pakar tersebut. “Jika dirasa aman (oleh para pakar), ya silakan saja,” ucapnya.

Meski begitu, dia berpendapat, seandainya pembelajaran tatap muka akhirnya dapat dibuka, tentu masih akan ada beberapa daerah yang belum bisa melaksanakannya. Misalnya, Kota Medan karena masih berstatus zona merah (risiko tinggi) Covid-19.

Ia melanjutkan, pemetaan zonasi risiko harus menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam pelaksanaan sekolah tatap muka. Di sisi lain, bagi daerah zona hijau sekalipun tetap harus dikaji lebih jauh. Sebab belum tentu kantong-kantong di desanya juga sudah pasti hijau. “Jangankan anak kecil, orang dewasa saja belum tentu bisa kita atur menjalankan protokol kesehatan. Ini apalagi anak-anak, disuruh jaga jarak, malah akan bergelut dia atau lari-larian dengan teman-temannya,” tandas Alwi.

Sebelumnya, pengamat kesehatan dari USU, dr Delyuzar mengungkapkan, belajar tatap muka di sekolah sebaiknya dilakukan jika sekolah dapat memenuhi standar protokol kesehatan (prokes) pencegahan penularan Covid-19 yang ditetapkan. “Ini harus kerja sama dengan Satgas Covid-19, bahkan kalau bisa setiap sekolah juga disiapkan Satgas yang mengatur standar yang benar,” kata Delyuzar.

Jika standar prokes tidak dapat dipenuhi, maka jangan dilakukan sekolah tatap muka. “Kalau itu tidak bisa dilakukan, jangan dilaksanakan karena berisiko tinggi. Walaupun ada tren angka kasus covid-19 menurun di banyak daerah namun kasusnya tetap ada,” sambung dia.

Delyuzar menuturkan, belajar tatap muka dapat diprioritaskan bagi daerah zona hijau. Namun, kalaupun harus dilakukan maka hal itu harus betul-betul dikuti dengan semua prokes yang ketat. “Misalnya, kapasitas ruangan, jumlah siswa kemudian kesiapan siswa harus diperhatikan,” ucap dia.

Ia menambahkan, di samping prokes yang ketat, perlu disiapkan testing dan tracing Covid-19. Jangan sampai ada murid atau guru yang terpapar saat berlangsungnya sekolah tatap muka itu. “Tidak harus ada perawat di sekolah, namun jika terjadi apa-apa fasilitas kesehatan seperti rumah sakit (RS) dan puskesmas di sekitar sekolah harus siap,” pungkas Delyuzar.

Diketahui, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan, pembelajaran tatap muka akan dibuka secara bertahap pada Juli 2021. “Secara bertahap diusahakan di semester ini sudah buka,” kata Direktur Jenderal PAUD dan Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Kemendikbud, Jumeri, Kamis, 25 Februari 2021.

Namun, Jumeri tak menjelaskan tahap pembukaan sekolah tersebut. Ia mengatakan, PTM ini sekaligus menjadi kampanye protokol kesehatan di sekolah bagi guru maupun siswa. Menurutnya, Kemendikbud mewajibkan pihak sekolah menyiapkan standar operasional maupun fasilitas untuk menjaga kesehatan lingkungan. “Masa pembelajaran tatap muka digunakan untuk kampanye menjaga kesehatan bagi guru dan siswa, galakan penyuluhan kepada siswa agar meningkat kesadarannya akan protokol kesehatan,” ujar dia.

Ia pun meminta kepada pihak sekolah yang membuka proses pembelajaran tatap muka menjalin kerja sama dengan fasilitas kesehatan terdekat. Termasuk komunikasi antara pihak sekolah dan wali murid secara intensif. (ris)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/