25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Dua Ratus TKA Jadi Sopir

AMANKAN: Aparat Satpol PP mengamankan TKA beberapa waktu lalu.
DOK JAWA POS

JAKARTA, SUMUTPOS.CO -Kekhawatiran bahwa tenaga kerja asing (TKA) mencaplok lapangan kerja yang seharusnya untuk pekerja lokal agaknya benar. Temuan Ombudsman Republik Indonesia (ORI), cukup banyak TKA yang mengisi posisi yang seharusnya untuk pekerja dalam negeri.

Temuan itu berdasar investigasi yang mereka lakukan pada medio Juni hingga Desember tahun lalu. Di Morowali, Sulawesi Tengah, ORI menemukan sedikitnya 200 TKA yang menjadi sopir.

“Seharusnya, pekerjaan itu bisa diberikan kepada WNI,” kata Komisioner ORI Laode Ida dalam paparan di Jakarta kemarin (26/4).

“Pekerjaan itu tidak masuk dalam skema transfer teknologi maupun transfer kemampuan. Masak sih nggak ada orang Indonesia bisa jadi sopir?” lanjutnya.

Kasus sopir TKA di Morowali adalah salah satu diantara sekian banyak permasalahan TKA di Indonesia. Jaminan pemerintah bahwa TKA tidak akan memakan lapangan kerja pekerja lokal, tidak sepenuhnya bisa dipenuhi.

Hal itu terjadi karena lemahnya penegakan hukum oleh pemerintah. Mulai penempatan, pengawasan, sampai penindakan.

Padahal, banyak kementerian dan lembaga yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan TKA. Namun, mereka tidak bisa menjalankan fungsi dengan maksimal karena belum selaras. “Belum ada integrasi data antara kementerian, lembaga, dan pemda,” ucap Laode.

Laode menuturkan, TKA sulit diawasi begitu lolos dari pintu masuk pertama di Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM).

“Setelah itu, TKA sulit dijangkau. Tidak ada yang bisa deteksi, termasuk polisi,” ulasnya.

Kondisi itu dirasakan sendiri oleh ORI ketika melakukan investigasi. Untuk sekadar memeriksa paspor TKA saja, ORI sulit melakukannya. TKA menolak dengan keras.

Kondisi tersebut membuat TKA leluasa melanggar aturan. Misalnya, memanfaatkan visa turis untuk bekerja.

Persoalan visa turis untuk bekerja semakin masif setelah ada kebijakan bebas visa yang diatur dalam Perpres Nomor 21 Tahun 2016. Karena itu, ORI mengusulkan kepada Kemenkum HAM untuk mempertimbangkan evaluasi kebijakan bebas visa.

Kebijakan itu oleh oknum TKA dimanfaatkan untuk menerabas aturan. Celah itu juga mengacaukan data TKA yang dimiliki sejumlah kementerian dan lembaga. Salah satunya, izin mempekerjakan tenaga kerja asing (IMTA).

Laode menambahkan, banyak pihak tidak peduli terhadap aturan dan ketentuan yang berlaku di Indonesia. Baik TKA maupun perusahaan yang mempekerjakan mereka.

Khusus kasus di Morowali, tingkat pelanggaran peraturan oleh TKA sangat mengkhawatirkan. Selain pekerja asing menjadi sopir, ORI menemukan data bahwa persentase pekerja kasar mencapi 90 persen.

Karena itu, ORI menuntut Kemenaker untuk segera memperbaiki kondisi yang sarat pelanggaran tersebut. Perpres Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing dengan tegas menyebut posisi pekerjaan kasar harus ditempati pekerja lokal.

AMANKAN: Aparat Satpol PP mengamankan TKA beberapa waktu lalu.
DOK JAWA POS

JAKARTA, SUMUTPOS.CO -Kekhawatiran bahwa tenaga kerja asing (TKA) mencaplok lapangan kerja yang seharusnya untuk pekerja lokal agaknya benar. Temuan Ombudsman Republik Indonesia (ORI), cukup banyak TKA yang mengisi posisi yang seharusnya untuk pekerja dalam negeri.

Temuan itu berdasar investigasi yang mereka lakukan pada medio Juni hingga Desember tahun lalu. Di Morowali, Sulawesi Tengah, ORI menemukan sedikitnya 200 TKA yang menjadi sopir.

“Seharusnya, pekerjaan itu bisa diberikan kepada WNI,” kata Komisioner ORI Laode Ida dalam paparan di Jakarta kemarin (26/4).

“Pekerjaan itu tidak masuk dalam skema transfer teknologi maupun transfer kemampuan. Masak sih nggak ada orang Indonesia bisa jadi sopir?” lanjutnya.

Kasus sopir TKA di Morowali adalah salah satu diantara sekian banyak permasalahan TKA di Indonesia. Jaminan pemerintah bahwa TKA tidak akan memakan lapangan kerja pekerja lokal, tidak sepenuhnya bisa dipenuhi.

Hal itu terjadi karena lemahnya penegakan hukum oleh pemerintah. Mulai penempatan, pengawasan, sampai penindakan.

Padahal, banyak kementerian dan lembaga yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan TKA. Namun, mereka tidak bisa menjalankan fungsi dengan maksimal karena belum selaras. “Belum ada integrasi data antara kementerian, lembaga, dan pemda,” ucap Laode.

Laode menuturkan, TKA sulit diawasi begitu lolos dari pintu masuk pertama di Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM).

“Setelah itu, TKA sulit dijangkau. Tidak ada yang bisa deteksi, termasuk polisi,” ulasnya.

Kondisi itu dirasakan sendiri oleh ORI ketika melakukan investigasi. Untuk sekadar memeriksa paspor TKA saja, ORI sulit melakukannya. TKA menolak dengan keras.

Kondisi tersebut membuat TKA leluasa melanggar aturan. Misalnya, memanfaatkan visa turis untuk bekerja.

Persoalan visa turis untuk bekerja semakin masif setelah ada kebijakan bebas visa yang diatur dalam Perpres Nomor 21 Tahun 2016. Karena itu, ORI mengusulkan kepada Kemenkum HAM untuk mempertimbangkan evaluasi kebijakan bebas visa.

Kebijakan itu oleh oknum TKA dimanfaatkan untuk menerabas aturan. Celah itu juga mengacaukan data TKA yang dimiliki sejumlah kementerian dan lembaga. Salah satunya, izin mempekerjakan tenaga kerja asing (IMTA).

Laode menambahkan, banyak pihak tidak peduli terhadap aturan dan ketentuan yang berlaku di Indonesia. Baik TKA maupun perusahaan yang mempekerjakan mereka.

Khusus kasus di Morowali, tingkat pelanggaran peraturan oleh TKA sangat mengkhawatirkan. Selain pekerja asing menjadi sopir, ORI menemukan data bahwa persentase pekerja kasar mencapi 90 persen.

Karena itu, ORI menuntut Kemenaker untuk segera memperbaiki kondisi yang sarat pelanggaran tersebut. Perpres Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing dengan tegas menyebut posisi pekerjaan kasar harus ditempati pekerja lokal.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/