26 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Waspada! Radikalisasi Sasar Anak Medan

KEMAMPUAN TERORIS MENURUN?
Peneliti Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia Sholahudin mengatakan, dari pengeboman gereja di Medan itu diketahui ada gejala yang menunjukkan kemampuan pelaku aksi teror menurun drastis. Di antaranya, daya ledak bom yang sangat rendah.

”Bahkan, bom yang dibawa tak mampu membunuh pelaku, apalagi orang di sekitar,” jelasnya.

Lalu, pelaku pengeboman ternyata membawa kartu tanda penduduk (KTP). Hal tersebut tentunya sangat sepele, namun merupakan kesalahan besar dalam sebuah aksi.

”Pertanyaan yang muncul, mereka kapasitasnya lemah atau malah bodoh,” ujarnya.

Kegiatan amaliyah semacam ini terlihat dalam dua aksi teror terakhir. Yang pertama bom Solo yang daya ledak bomnya tak mampu menghancurkan pot bunga yang jaraknya dua meter dari bom. ”Yang terakhir ini ya bom Medan ini,” jelasnya.

Dengan begitu, dapat dipastikan kemampuan dari jaringan teror di Indonesia memang melemah. Terutama dari segi kemampuan militer. Hal itu dikarenakan dua penyebab, yakni sosok yang memiliki kemampuan militer sedang berada di Suriah dan para mantan kombatan Afghanistan justru menolak paham ISIS. ”Ini keuntungan tersendiri,” jelasnya.

Namun, yang justru dikhawatirkan adalah kejadian ini menunjukkan rekrutmen jaringan teror masih terjadi. Bahkan, rekrutmen itu makin membabi buta. ”Bisa dibilang, gagasannya besar tapi, kualitasnya kecil,” ungkapnya.

Kalau melihat usia pelaku yang masih 17 tahun ini menunjukkan bahayanya radikalisme. Anak remaja saat ini menjadi sasaran yang empuk untuk pelaku teror. ”Maka, seharusnya pencegahan harus dikuatkan, pentingnya soft approach itu disini,” jelasnya.

Kekurangan lainnya, saat ini jumlah anggota Densus 88 Anti Teror juga masih sangat minim. Hal tersebut berdampak pada kemampuan mendapatkan informasi untuk mencegah aksi teror terjadi. ”Ya, jumlahnya sedikit, gajinya juga belum memadai,” terangnya. (sam/idr)

KEMAMPUAN TERORIS MENURUN?
Peneliti Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia Sholahudin mengatakan, dari pengeboman gereja di Medan itu diketahui ada gejala yang menunjukkan kemampuan pelaku aksi teror menurun drastis. Di antaranya, daya ledak bom yang sangat rendah.

”Bahkan, bom yang dibawa tak mampu membunuh pelaku, apalagi orang di sekitar,” jelasnya.

Lalu, pelaku pengeboman ternyata membawa kartu tanda penduduk (KTP). Hal tersebut tentunya sangat sepele, namun merupakan kesalahan besar dalam sebuah aksi.

”Pertanyaan yang muncul, mereka kapasitasnya lemah atau malah bodoh,” ujarnya.

Kegiatan amaliyah semacam ini terlihat dalam dua aksi teror terakhir. Yang pertama bom Solo yang daya ledak bomnya tak mampu menghancurkan pot bunga yang jaraknya dua meter dari bom. ”Yang terakhir ini ya bom Medan ini,” jelasnya.

Dengan begitu, dapat dipastikan kemampuan dari jaringan teror di Indonesia memang melemah. Terutama dari segi kemampuan militer. Hal itu dikarenakan dua penyebab, yakni sosok yang memiliki kemampuan militer sedang berada di Suriah dan para mantan kombatan Afghanistan justru menolak paham ISIS. ”Ini keuntungan tersendiri,” jelasnya.

Namun, yang justru dikhawatirkan adalah kejadian ini menunjukkan rekrutmen jaringan teror masih terjadi. Bahkan, rekrutmen itu makin membabi buta. ”Bisa dibilang, gagasannya besar tapi, kualitasnya kecil,” ungkapnya.

Kalau melihat usia pelaku yang masih 17 tahun ini menunjukkan bahayanya radikalisme. Anak remaja saat ini menjadi sasaran yang empuk untuk pelaku teror. ”Maka, seharusnya pencegahan harus dikuatkan, pentingnya soft approach itu disini,” jelasnya.

Kekurangan lainnya, saat ini jumlah anggota Densus 88 Anti Teror juga masih sangat minim. Hal tersebut berdampak pada kemampuan mendapatkan informasi untuk mencegah aksi teror terjadi. ”Ya, jumlahnya sedikit, gajinya juga belum memadai,” terangnya. (sam/idr)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/