26.7 C
Medan
Wednesday, May 8, 2024

Lahan Eks Perkebunan Belanda Banyak Dikuasai Mafia

Foto: Oki/PM Warga Sarirejo Medan membakar ban dalam aksi demo menolak lahan sengketa di Sarirejo, dipatok pihak TNI AU, belum lama ini.
Foto: Oki/PM
Warga Sarirejo Medan membakar ban dalam aksi demo menolak lahan sengketa di Sarirejo, dipatok pihak TNI AU, belum lama ini.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Deputi Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Iwan Nurdin, tidak terkejut dengan kabar yang menyebutkan sejumlah pengembang sudah masuk di area lahan yang disengketakan antara warga Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia, Medan dengan TNI AU. Iwan juga mengaku tidak kaget, jika benar para pengembang perumahan mewah di area lahan sengketa itu sudah mengantongi sertifikat tanah.

Menurutnya, ya memang seperti itulah model permainan mafia tanah yang selama ini bermain di wilayah Sumut. “Mafia tanah di Sumut memang luar biasa,” ujar Iwan Nurdin di Jakarta, Minggu (28/8).

Dijelaskan, mafia tanah di Sumut sudah lama bermain. Hal ini bermula dari lahan eks perkebunan zaman Belanda, yang di era awal kemerdekaaan dinasionalisasi menjadi lahan PTPN. Sebelumnya, Belanda mengambil lahan dari tanah milik masyarakat dan atau masyarakat adat.

Selanjutnya, pada 1979 pernah ada upaya redistribusi tanah, yang menurut UU Pokok Agraria, lahan yang diduduki warga harus dikeluarkan dari area perkebunan. Sebelumnya, tahun 1960-an, ada sejumlah surat land reform yang dikeluarkan. Sebagian tanah di Sumut sudah mendapatkan surat land reform ini.

“Tapi karena ada masalah politik, tanah tak jadi didistribusikan, tapi malah dikuasai jaringan kuat mafia tanah. Ada yang balik lagi ke PTPN, ada yang ke TNI/Polri, dan belakangan pengusaha properti banyak yang masuk menjadi bagian dari permainan mafia tanah itu,” ujarnya.

Karena itu, dalam kasus Sari Rejo, putusan Mahkamah Agung (MA) yang telah memenangkan warga, tetap saja sulit dieksekusi karena kuatnya jaringan mafia tanah di Sumut.

Jika benar para pengembang yang masuk ke area lahan berkonflik itu sudah mendapatkan sertifikat, lanjut Iwan, itulah modus untuk menjegal agar jangan sampai putusan MA dieksekusi.

“Banyak oknum di Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang menjadi bagian mafia tanah, yang hingga sekarang belum juga dibersihkan. Mafia tanah selalu melibatkan pemilik modal yang kuat,” beber Iwan.

“Sekali lagi, jika memang pengembang itu sudah mendapatkan sertifikat, itulah upaya untuk menjegal agar eksekusi tak bisa dilaksanakan. Mereka membuat dasar hukum berupa sertifikat,” terangnya.

Padahal, lanjutnya, sudah jelas bahwa sertifikat tidak bisa dikeluarkan untuk lahan yang masih disengketakan. Terlebih lagi, sudah ada putusan MA yang memenangkan warga. “Sertifikat itu hanya bisa dikeluarkan untuk lahan yang sudah clean and clear, bukan tanah sengketa,” cetusnya.

Foto: Oki/PM Warga Sarirejo Medan membakar ban dalam aksi demo menolak lahan sengketa di Sarirejo, dipatok pihak TNI AU, belum lama ini.
Foto: Oki/PM
Warga Sarirejo Medan membakar ban dalam aksi demo menolak lahan sengketa di Sarirejo, dipatok pihak TNI AU, belum lama ini.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Deputi Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Iwan Nurdin, tidak terkejut dengan kabar yang menyebutkan sejumlah pengembang sudah masuk di area lahan yang disengketakan antara warga Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia, Medan dengan TNI AU. Iwan juga mengaku tidak kaget, jika benar para pengembang perumahan mewah di area lahan sengketa itu sudah mengantongi sertifikat tanah.

Menurutnya, ya memang seperti itulah model permainan mafia tanah yang selama ini bermain di wilayah Sumut. “Mafia tanah di Sumut memang luar biasa,” ujar Iwan Nurdin di Jakarta, Minggu (28/8).

Dijelaskan, mafia tanah di Sumut sudah lama bermain. Hal ini bermula dari lahan eks perkebunan zaman Belanda, yang di era awal kemerdekaaan dinasionalisasi menjadi lahan PTPN. Sebelumnya, Belanda mengambil lahan dari tanah milik masyarakat dan atau masyarakat adat.

Selanjutnya, pada 1979 pernah ada upaya redistribusi tanah, yang menurut UU Pokok Agraria, lahan yang diduduki warga harus dikeluarkan dari area perkebunan. Sebelumnya, tahun 1960-an, ada sejumlah surat land reform yang dikeluarkan. Sebagian tanah di Sumut sudah mendapatkan surat land reform ini.

“Tapi karena ada masalah politik, tanah tak jadi didistribusikan, tapi malah dikuasai jaringan kuat mafia tanah. Ada yang balik lagi ke PTPN, ada yang ke TNI/Polri, dan belakangan pengusaha properti banyak yang masuk menjadi bagian dari permainan mafia tanah itu,” ujarnya.

Karena itu, dalam kasus Sari Rejo, putusan Mahkamah Agung (MA) yang telah memenangkan warga, tetap saja sulit dieksekusi karena kuatnya jaringan mafia tanah di Sumut.

Jika benar para pengembang yang masuk ke area lahan berkonflik itu sudah mendapatkan sertifikat, lanjut Iwan, itulah modus untuk menjegal agar jangan sampai putusan MA dieksekusi.

“Banyak oknum di Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang menjadi bagian mafia tanah, yang hingga sekarang belum juga dibersihkan. Mafia tanah selalu melibatkan pemilik modal yang kuat,” beber Iwan.

“Sekali lagi, jika memang pengembang itu sudah mendapatkan sertifikat, itulah upaya untuk menjegal agar eksekusi tak bisa dilaksanakan. Mereka membuat dasar hukum berupa sertifikat,” terangnya.

Padahal, lanjutnya, sudah jelas bahwa sertifikat tidak bisa dikeluarkan untuk lahan yang masih disengketakan. Terlebih lagi, sudah ada putusan MA yang memenangkan warga. “Sertifikat itu hanya bisa dikeluarkan untuk lahan yang sudah clean and clear, bukan tanah sengketa,” cetusnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/