32.8 C
Medan
Monday, May 6, 2024

MA Alihkan 106 Ha Lahan ke Swasta, Gubsu: Tim Sedang Inventarisir Eks HGU PTPN

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Gubernur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi menyatakan akan melihat dan mempelajari dulu isi putusan Mahkamah Agung (MA), yang mengalihkan lahan seluas 106 hektare eks Hak Guna Usaha (HGU) PTPN II kepada pihak swasta.

“Saat ini persoalan daftar nominatif eks Hak Guna Usaha (HGU) PTPN II sedang diinventarisir oleh tim yang telah dibentuk sebelumnyan

Tim diketuai oleh kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Sumut,” katanya menjawab Sumut Pos, Rabu (28/8).

Tugas dari tim inventarisir itu antara lain mendata para pemegang hak milik atas tanah eks HGU PTPN II tersebut. “Gini ya… biasa itu kalau sudah soal tanah semua ingin memiliki. Nanti akan kita berikan ke rakyat yang benar-benar berhak dan butuh. Memang tanah itu akan dikembalikan ke rakyat. Sekarang rakyatnya siapa? Pasti Anda lebih tahulah itu,” katanya.

Gubsu Edy Rahmayadi sebelumnya didesak warga yang pendemo, agar segera melakukan perlawanan hukum atas keputusan MA No.1331 K/Pid. Sus/2019, serta melaksanakan rekomendasi ketua DPRD Sumut dengan surat No.2319/18/Sekr pada 23 Agustus 2019. Desakan ini disuarakan elemen masyarakat Jl. Serba Guna Kebon Helvetia, Deliserdang kala berunjukrasa di Kantor Gubsu, Senin (26/8).

“Gubsu harus segera melakukan perlawanan hukum kepada para mafia tanah di Sumut. Kita juga minta kepada Gubsu selaku pemegang mandat untuk segera mendistribusikan areal eks HGU kepada rakyat yang telah mengelola tanah selama 20 tahun. Apalagi kami telah menyerahkan daftar nominatif kepada gubernur dan BPN Sumut sejak 2017,” kata Pimpinan Aksi Demo, B Simanjuntak kepada wartawan di sela aksi mereka.

Masyarakat yang telah bertempat tinggal di areal tersebut berjumlah sekitar 700 kepala keluarga (KK). Terdiri dari pensiunan TNI AD eks Asrama Kp. Anggrung, yang tergabung dalam kelompok HPPLKN, KTM, KRA, dan FRB.

Selain mendesak Gubsu Edy menggugat, massa aksi juga minta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut putusan MA yang mengalihkan hak atas lahan negara seluas 106 hektare kepada pihak PB Alwashliyah dan PT. Agung Cemara Realty (ACR) yang dipimpin pengusaha Mujianto sebagai Direktur.

“Presiden Jokowi kami minta juga memerintahkan Menkopolhukam mengusut permasalahan ini, yang berdampak pada aspek sosial dan politik agar tidak terjadi disentegrasi bangsa seperti di Papua,” ujar Simanjuntak didampingi Ketua Komite Tani Menggugat, Unggul Tampubolon dan Johan Merdeka.

Tak hanya itu, masyarakat meminta agar pagar yang dipasang di areal tempat tinggal mereka paskakeputusan MA tersebut, segera dicabut. Mereka dengan tegas menyebut, bahwa putusan pengadilan tersebut sangat cacat.

“Sangat ironis lembaga peradilan kita memutuskan hukum yang salah alamat terhadap objek tanah negara. Karena secara administrasi negara, areal 106 hektare adalah bagian dari 193,94 hektare adalah tanah negara berdasarkan SK BPN No.42/HGU/2002. Ini fakta satu kebobrokan lembaga peradilan kita atas putusan perdata tersebut,” katanya.

Fakta kedua, beber Simanjuntak, atas konsekuensi kekuatan hukum yang inkrah dari putusan perdata MA tersebut tidak ada, Tamin Sukardi ditangkap Kejaksaan Agung atas pidana korupsi lahan negara seluas 106 hektar. Fakta ketiga, Tamin Sukardi dan beberapa hakim Pengadilan Negara Medan ditangkap KPK terkait OTT kasus suap hakim pengadilan terkait putusan Tipikor di PN Medan. Fakta keempat, putusan MA pidana korupsi yang objeknya lahan 106 hektare yang merupakan lahan negara seharusnya dikembalikan ke negara, bukan ke PB Alwashliyah dan PT ACR.

Unggul Tampubolon dalam orasinya mengungkapkan, rakyat yang sejak tahun 2000 menggarap dan menetap di Kebon Helvetia dipaksa keluar dengan cara tidak manusiawi. Padahal keberadaan mereka merupakan perintah Presiden Abdul Rahman Wahid (Gus Dur) kala itu untuk mengelola lahan tidur, dan direspon Gubsu Tengku Rizal Nurdin dengan membentuk Panitia B Plus yang merekomendasikan areal seluas 5.873,06 hektare tidak diperpanjang HGU-nya, sebagai wujud melindungi rakyat dari aspek hukum.

“Pak Edy harus turun ke lapangan, lihat kondisi areal yang sudah masuk daftar nominatif itu. Jangan percaya gitu aja dengan bawahan-bawahan bapak. Karena sampai sekarang petugas BPN tidak pernah mendata kami. Cuma memberi persetujuan diatas meja kepada para kapitalis atau pemodal itu,” katanya. (prn)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Gubernur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi menyatakan akan melihat dan mempelajari dulu isi putusan Mahkamah Agung (MA), yang mengalihkan lahan seluas 106 hektare eks Hak Guna Usaha (HGU) PTPN II kepada pihak swasta.

“Saat ini persoalan daftar nominatif eks Hak Guna Usaha (HGU) PTPN II sedang diinventarisir oleh tim yang telah dibentuk sebelumnyan

Tim diketuai oleh kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Sumut,” katanya menjawab Sumut Pos, Rabu (28/8).

Tugas dari tim inventarisir itu antara lain mendata para pemegang hak milik atas tanah eks HGU PTPN II tersebut. “Gini ya… biasa itu kalau sudah soal tanah semua ingin memiliki. Nanti akan kita berikan ke rakyat yang benar-benar berhak dan butuh. Memang tanah itu akan dikembalikan ke rakyat. Sekarang rakyatnya siapa? Pasti Anda lebih tahulah itu,” katanya.

Gubsu Edy Rahmayadi sebelumnya didesak warga yang pendemo, agar segera melakukan perlawanan hukum atas keputusan MA No.1331 K/Pid. Sus/2019, serta melaksanakan rekomendasi ketua DPRD Sumut dengan surat No.2319/18/Sekr pada 23 Agustus 2019. Desakan ini disuarakan elemen masyarakat Jl. Serba Guna Kebon Helvetia, Deliserdang kala berunjukrasa di Kantor Gubsu, Senin (26/8).

“Gubsu harus segera melakukan perlawanan hukum kepada para mafia tanah di Sumut. Kita juga minta kepada Gubsu selaku pemegang mandat untuk segera mendistribusikan areal eks HGU kepada rakyat yang telah mengelola tanah selama 20 tahun. Apalagi kami telah menyerahkan daftar nominatif kepada gubernur dan BPN Sumut sejak 2017,” kata Pimpinan Aksi Demo, B Simanjuntak kepada wartawan di sela aksi mereka.

Masyarakat yang telah bertempat tinggal di areal tersebut berjumlah sekitar 700 kepala keluarga (KK). Terdiri dari pensiunan TNI AD eks Asrama Kp. Anggrung, yang tergabung dalam kelompok HPPLKN, KTM, KRA, dan FRB.

Selain mendesak Gubsu Edy menggugat, massa aksi juga minta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut putusan MA yang mengalihkan hak atas lahan negara seluas 106 hektare kepada pihak PB Alwashliyah dan PT. Agung Cemara Realty (ACR) yang dipimpin pengusaha Mujianto sebagai Direktur.

“Presiden Jokowi kami minta juga memerintahkan Menkopolhukam mengusut permasalahan ini, yang berdampak pada aspek sosial dan politik agar tidak terjadi disentegrasi bangsa seperti di Papua,” ujar Simanjuntak didampingi Ketua Komite Tani Menggugat, Unggul Tampubolon dan Johan Merdeka.

Tak hanya itu, masyarakat meminta agar pagar yang dipasang di areal tempat tinggal mereka paskakeputusan MA tersebut, segera dicabut. Mereka dengan tegas menyebut, bahwa putusan pengadilan tersebut sangat cacat.

“Sangat ironis lembaga peradilan kita memutuskan hukum yang salah alamat terhadap objek tanah negara. Karena secara administrasi negara, areal 106 hektare adalah bagian dari 193,94 hektare adalah tanah negara berdasarkan SK BPN No.42/HGU/2002. Ini fakta satu kebobrokan lembaga peradilan kita atas putusan perdata tersebut,” katanya.

Fakta kedua, beber Simanjuntak, atas konsekuensi kekuatan hukum yang inkrah dari putusan perdata MA tersebut tidak ada, Tamin Sukardi ditangkap Kejaksaan Agung atas pidana korupsi lahan negara seluas 106 hektar. Fakta ketiga, Tamin Sukardi dan beberapa hakim Pengadilan Negara Medan ditangkap KPK terkait OTT kasus suap hakim pengadilan terkait putusan Tipikor di PN Medan. Fakta keempat, putusan MA pidana korupsi yang objeknya lahan 106 hektare yang merupakan lahan negara seharusnya dikembalikan ke negara, bukan ke PB Alwashliyah dan PT ACR.

Unggul Tampubolon dalam orasinya mengungkapkan, rakyat yang sejak tahun 2000 menggarap dan menetap di Kebon Helvetia dipaksa keluar dengan cara tidak manusiawi. Padahal keberadaan mereka merupakan perintah Presiden Abdul Rahman Wahid (Gus Dur) kala itu untuk mengelola lahan tidur, dan direspon Gubsu Tengku Rizal Nurdin dengan membentuk Panitia B Plus yang merekomendasikan areal seluas 5.873,06 hektare tidak diperpanjang HGU-nya, sebagai wujud melindungi rakyat dari aspek hukum.

“Pak Edy harus turun ke lapangan, lihat kondisi areal yang sudah masuk daftar nominatif itu. Jangan percaya gitu aja dengan bawahan-bawahan bapak. Karena sampai sekarang petugas BPN tidak pernah mendata kami. Cuma memberi persetujuan diatas meja kepada para kapitalis atau pemodal itu,” katanya. (prn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/