THORIQ SHOLIKHUL KARIM, Ende
TAK sulit mencari lokasi penyimpanan mumi Kaki More di Ende. Banyak warga yang tahu tempatnya. Begitu pula halnya ketika Jawa Pos pekan lalu ke Ende untuk membuat liputan wisata alternatif. Sopir mobil rental yang ditanya soal mumi berusia lebih dari satu abad itu langsung menyatakan kesanggupannya untuk mengantar hingga tujuan.
Lokasinya berada di Kampung Wolondopo, Kabupaten Ende, NTT. Agak di pinggiran kota, namun masih bisa dijangkau dengan kendaraan roda empat. Memang tempatnya terletak di kampung yang berada di perbukitan sehingga jalannya agak naik. Dari rumah juru kunci mumi, yakni Paulus Modho, masih sekitar 1 km.
Setiap pengunjung yang akan melihat mumi diwajibkan menemui dan meminta izin kepada sang juru kunci lebih dulu. Sebab, tidak sembarang orang bisa memasuki tempat penyimpanan mumi itu tanpa izin juru kunci. “Untuk masuk, harus ada upacara lebih dulu. Nanti saya yang memimpin,” ujar Paulus kepada Jawa Pos yang menemui di rumahnya.
Mumi tersebut disimpan di sebuah rumah-rumahan berukuran 2 x 1,5 meter. Lokasinya berada di antara rumah-rumah penduduk. Rumah panggung itu berdinding papan dan beratap sirap. Bila tak ada pengunjung, posisinya selalu tertutup rapat.
Maka, begitu rombongan Jawa Pos sampai di lokasi, Paulus langsung melakukan ritual membuka rumah. Dia berdiri di depan pintu sejenak, lalu mengucapkan salam dengan logat Ende Lio.
Setelah mengucap salam, Paulus yang juga cucu Kaki More memasukkan kunci ke lubangnya. Beberapa kali kunci diputar, tapi tidak berhasil. Bahkan sampai sekuat tenaga. Paulus lalu berhenti sejenak. Dia kemudian mengucap salam kembali kepada Kaki More. Selang beberapa saat, Paulus memutar kunci hingga terdengar suara klik. “Syukurlah, pintu mau terbuka,” katanya lega.
Begitu pintu terbuka, terlihatlah peti berukuran kecil, sekitar 150 x 50 cm. Peti itu ditutupi terpal dan dilapisi kain batik di atasnya. Di depan peti terdapat beberapa benda yang biasa dipakai untuk upacara membuka peti. Anatra lain beberapa batang rokok yang dijajar dan botol kecil berisi arak lokal. “Ini sesaji yang selalu diminta Kaki More sebelum menerima tamu,” ucap Paulus.
Sesaji itu kemudian diambil dan dibuang Paulus, lalu diganti dengan yang baru. Dia meletakkan lagi 12 batang rokok filter di depan peti dan dua botol arak baru. Juga ada sirih yang diserakkan di sekitarnya.
Semua itu merupakan rangkaian upacara yang harus dilalui pengunjung sebelum masuk ke rumah mumi Kaki More. Upacara itu disebut Pati Mbako Nata. Paulus selalu menyediakan semua bahan upacara tersebut di rumahnya dengan tujuan untuk berjaga-jaga bila ada tamu dadakan. Seperti yang terjadi siang itu, semua bahan sudah disiapkan sehingga pengunjung bisa masuk dan melihat mumi Kaki More. “Kalau tidak ada bahan-bahan untuk upacara, saya tidak berani membuka petinya,” jelas kakek 70 tahun tersebut.
Sebenarnya, ada upacara lain yang wajib dilakukan para tamu, yakni Pati Ka yang artinya kasih makan. Bahan sesajinya berupa rokok, sirih, arak, dan anak ayam. Hanya, upacara itu tidak harus dilakukan bersamaan seperti sebelum masuk ke rumah tersebut. Tapi bisa dilaksanakan setelah berkunjung dari tempat itu. “Saya biasa melaksanakan setelah pengunjung pulang dari tempat ini,” ujarnya.
Ritual selesai, Paulus lalu membuka terpal yang menutupi peti. Di bawah terpal ada lagi kain berwarna hijau, baru kemudian papan peti terlihat. Pengunjung pun langsung bisa melihat sebagian jasad mumi karena bagian kepala peti hanya ditutupi kaca jernih. Dari kaca itulah pengunjung bisa melihat jenazah Kaki More yang tidur miring ke kiri.
Tengkorak kepala berbalut serban putih bermotif batik masih utuh. Begitu juga bahu yang ditutupi selendang cokelat juga bermotif batik. Semua masih utuh. Paulus mempersilakan pengunjung mengamati dan mengambil gambar mumi sepuasnya.
Paulus menjelaskan, Kaki More merupakan keluarga mosalaki (pemimpin adat). Dia lahir pada 1886 di Wolondopo dan merupakan putra kedua pasangan More Songgo dan Kemba Dhiki. Semasa hidupnya, pria dengan lima bersaudara itu dikenal jujur, taat beragama, pandai, dan berani. Sifatnya yang rendah hati membuat mosalaki di dua kampung, yakni Wolondopo dan Wolojita, segan kepadanya. Karena itu, dia lalu diangkat sebagai juru bicara bagi dua kampung tersebut.
Saat berusia 80 tahun, Kaki More berpesan kepada keluarga agar bila meninggal, jenazahnya jangan dikubur, tapi cukup disimpan di tempat tertentu. Tidak lama setelah menyampaikan pesan itu, Kaki More meninggal. “Sesuai wasiatnya, kami pun tidak menguburnya ketika beliau meninggal,” ujar Paulus.
Anak cucu Kaki More lalu menyimpan jenazah tersebut di dalam peti sederhana. Agar teduh, peti itu ditempatkan di bawah pohon beringin di dekat rumah. Untuk menghilangkan bau mayat, keluarga menyiapkan rempah-rempah khusus dan menutupi dengan bambu. Selama bertahun-tahun jenazah tersimpan di bawah pohon beringin tersebut. Sesekali Paulus bersama keluarga menyambangi untuk membersihkan kotoran di sekitar peti.
Pada 1953 badai besar menghantam kampung tersebut. Pohon beringin itu pun roboh dan menimpa peti Kaki More hingga pecah. Setelah badai berlalu, Paulus bersama keluarga bermaksud mengevakuasi peti di bawah pohon beringin yang roboh tersebut. Alangkah kaget mereka melihat jenazah Kaki More masih utuh meski petinya pecah jadi dua. “Hanya pakaiannya yang sudah lusuh,” kata dia.
Keajaiban itu menggegerkan warga Wolondopo dan sekitarnya. Mereka pun mengakui kesaktian Kaki More meski sudah menjadi jenazah. Paulus lalu menyelamatkan jenazah itu. Dia mengganti pakaian yang dikenakan Kaki More dan memasukkan kembali ke peti yang baru. Selanjutnya, peti disimpan di salah satu rumah warga yang kebetulan kosong.
Tapi, permasalahan baru muncul. Pemilik rumah meminta kunci rumah peti itu mereka simpan. Paulus tidak mengizinkan. Dia khawatir jenazah leluhurnya disalahgunakan. Si pemilik rumah lalu meminta tebusan kepada Paulus. “Tebusannya uang Rp 10 juta dan seekor sapi,” ujar dia.
Paulus pun memenuhi permintaan itu. Peti berisi mumi Kaki More akhirnya mendapat tempat nyaman di tempatnya sekarang. Pada 1973, atas izin kerabat, tempat mumi tersebut dibuka untuk umum. Siapa pun boleh melihatnya dengan catatan harus mendapat izin juru kunci dan diawali upacara.
Paulus menceritakan, terkadang pengunjung tidak beruntung. Sebab, Kaki More tidak mengizinkan tamu itu melihat jenazahnya. Itu biasa terjadi bila kunjungan dilakukan tepat pukul 12.00. Menurut kepercayaan warga setempat, pada jam itu Kaki More sedang beristirahat. Karena itu, kunci rumah peti tidak bisa diputar. “Biasanya kami harus menunggu beberapa saat sampai diizinkan kembali untuk membuka rumah peti itu,” ujar dia.
Menurut warga di sekitar Wolondopo, pengunjung yang sombong atau berhati jahat tidak akan bisa melihat jenazah Kaki More meski sudah di depan peti. Mereka hanya melihat kacanya.
Demikian pula kata Silvester, 35, pemandu wisata di Wolondopo. Beberapa wisatawan yang diantarkannya ke rumah mumi kerap kecewa. Perjalanan sekitar 45 menit dari pusat kota tidak menghasilkan apa-apa. “Mereka tidak bisa melihat mumi itu. Begitu juga ketika difoto, gambar mumi tidak terlihat sama sekali,” ungkapnya.
Semua itu konon disebabkan kekuatan mistis Kaki More. Sedangkan pengunjung yang berniat baik akan diterima dengan baik. “Boleh percaya atau tidak, itu yang terjadi,” ucap Silvester. (*/c9/ari)