25.6 C
Medan
Friday, May 3, 2024

Empat Wajib Pajak Mau ‘Disandera’

Foto: SUTAN SIREGAR/SUMUT POS Petugas pajak melayani warga yang hendak mendaftarkan diri ikut tax amnesty pajak di Kantor Wilayah Direktorat Pajak Sumut I, Jalan Sukamulya Medan, Jumat (30/9) lalu.
Foto: SUTAN SIREGAR/SUMUT POS
Petugas pajak melayani warga yang hendak mendaftarkan diri ikut tax amnesty pajak di Kantor Wilayah Direktorat Pajak Sumut I, Jalan Sukamulya Medan, Jumat (30/9) lalu.

MEDAN, SUMUTPOS.CO  – Empat wajib pajak yang terdaftar di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Utara (Kanwil DJP Sumut) I terancam ‘disandera’. Pasalnya, hingga kini mereka belum melunasi kewajibannya yaitu membayar pajak. Tak tanggung-tanggung, tunggakan yang harus dibayarkan mencapai Rp0 miliar lebih per wajib pajak.

Kepala Kanwil DJP Sumut I, Mukhtar mengungkapkan, keempat wajib pajak tersebut merupakan badan hukum. Saat ini, mereka sedang dalam proses untuk memenuhi kewajibannya.

“Sebelumnya ada 11 wajib pajak yang akan disandera (gijzeling). Dari 11 ternyata 7 wajib pajak sudah membayar dan 4 lagi sedang dalam proses. Ternyata, memang harus ada seperti itu (gijzeling, Red) baru mau bayar,” ungkap Mukhtar yang dihubungi Sumut Pos, Rabu (28/12).

Dijelaskan Mukhtar, gijzeling atau penyanderaan ini dilakukan sampai program tax amnesty berakhir yakni hingga Maret 2017. Jadi, kalau keempatnya tidak memenuhi kewajibannya dan ikut program pengampunan pajak, maka langsung akan dilakukan gijzeling.

“Saat ini masih berlangsung masa tax amnesty, sehingga diberikan kesempatan untuk mereka. Artinya, kalau mereka membayar kewajibannya maka gijzeling tidak dilakukan,” tutur Mukhtar.

Ia menyebutkan, terkait 7 wajib pajak yang telah melunasi kewajibannya dan ikut program amnesti pajak, rata-rata merupakan badan hukum yag berdomisili di Kota Medan sekitarnya. Sedangkan perorangan hanya 2 wajib pajak. “Mereka menunggak pajak hingga 2 sampai 4 tahun dengan besaran per wajib pajak di atas Rp10 miliar. Mereka beralasan tidak punya uang, tetapi padahal memiliki kemampuan untuk membayarnya,” ujar Mukhtar sebelumnya.

Dijelaskannya, penyanderaan dilakukan sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 1997, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Penyanderaan atau penahanan yang dilakukan bukan pidana melainkan penyanderaan pajak, dan kapanpun bisa lakukan.

Dia melanjutkan, sesuai UU tersebut penahanan pertama dilakukan selama 6 bulan. Kalau tidak membayar, maka dilakukan perpanjangan penahanan lagi selama 6 bulan. Namun, kalau tidak juga membayar tapi memiliki kemampuan, maka akan ditinjau kembali untuk dilakukan penahanan. Meski demikian, biasanya penahanan terhadap wajib pajak tidak berlangsung lama.

“Sebagai contoh, pada minggu lalu di Balige terdapat wajib pajak yang dilakukan proses penyanderaan. Wajib pajak tidak mau membayar kewajibannya dan juga mengikuti tax amensty, sehingga ditahan. Namun, setelah satu hari kemudian, wajib pajak akhirnya membayar kewajibannya untuk membayar tunggakan pajaknya dengan mengikuti tax amnesty. Setelah membayar, akhirnya wajib pajak itu kita lepaskan,” ungkapnya.

Disinggung bagaimana apabila wajib pajak bangkrut, dia mengatakan, kalau objek pajak yang bersangkutan tidak ada lagi atau sudah tidak memiliki apa-apa lagi, maka tidak akan disandera. Apalagi, sudah dihukum atau dipenjarakan. Namun demikian, berdasarkan pengalaman biasanya mereka ini melunasi tunggakannya di masa-masa akhir tahun.

“Kami mengajak seluruh wajib pajak yang belum melaporkan hartanya di Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan untuk memanfaatkan program pengampunan pajak. Sebab, kalau wajib pajak mengikuti tax amnesty maka sanksinya bisa dihapus. Wajib pajak tersebut hanya membayar pokoknya saja atau tunggakan. Misalnya, pokok pajak Rp10 miliar dan sanksinya Rp9 miliar, sehingga totalnya Rp19 miliar. Tetapi, karena wajib pajak mengikuti tax amnesty maka hanya membayar Rp10 miliar saja sementara Rp9 miliar lagi dihapuskan,” pungkasnya. (ris/rbb)

 

Foto: SUTAN SIREGAR/SUMUT POS Petugas pajak melayani warga yang hendak mendaftarkan diri ikut tax amnesty pajak di Kantor Wilayah Direktorat Pajak Sumut I, Jalan Sukamulya Medan, Jumat (30/9) lalu.
Foto: SUTAN SIREGAR/SUMUT POS
Petugas pajak melayani warga yang hendak mendaftarkan diri ikut tax amnesty pajak di Kantor Wilayah Direktorat Pajak Sumut I, Jalan Sukamulya Medan, Jumat (30/9) lalu.

MEDAN, SUMUTPOS.CO  – Empat wajib pajak yang terdaftar di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Utara (Kanwil DJP Sumut) I terancam ‘disandera’. Pasalnya, hingga kini mereka belum melunasi kewajibannya yaitu membayar pajak. Tak tanggung-tanggung, tunggakan yang harus dibayarkan mencapai Rp0 miliar lebih per wajib pajak.

Kepala Kanwil DJP Sumut I, Mukhtar mengungkapkan, keempat wajib pajak tersebut merupakan badan hukum. Saat ini, mereka sedang dalam proses untuk memenuhi kewajibannya.

“Sebelumnya ada 11 wajib pajak yang akan disandera (gijzeling). Dari 11 ternyata 7 wajib pajak sudah membayar dan 4 lagi sedang dalam proses. Ternyata, memang harus ada seperti itu (gijzeling, Red) baru mau bayar,” ungkap Mukhtar yang dihubungi Sumut Pos, Rabu (28/12).

Dijelaskan Mukhtar, gijzeling atau penyanderaan ini dilakukan sampai program tax amnesty berakhir yakni hingga Maret 2017. Jadi, kalau keempatnya tidak memenuhi kewajibannya dan ikut program pengampunan pajak, maka langsung akan dilakukan gijzeling.

“Saat ini masih berlangsung masa tax amnesty, sehingga diberikan kesempatan untuk mereka. Artinya, kalau mereka membayar kewajibannya maka gijzeling tidak dilakukan,” tutur Mukhtar.

Ia menyebutkan, terkait 7 wajib pajak yang telah melunasi kewajibannya dan ikut program amnesti pajak, rata-rata merupakan badan hukum yag berdomisili di Kota Medan sekitarnya. Sedangkan perorangan hanya 2 wajib pajak. “Mereka menunggak pajak hingga 2 sampai 4 tahun dengan besaran per wajib pajak di atas Rp10 miliar. Mereka beralasan tidak punya uang, tetapi padahal memiliki kemampuan untuk membayarnya,” ujar Mukhtar sebelumnya.

Dijelaskannya, penyanderaan dilakukan sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 1997, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Penyanderaan atau penahanan yang dilakukan bukan pidana melainkan penyanderaan pajak, dan kapanpun bisa lakukan.

Dia melanjutkan, sesuai UU tersebut penahanan pertama dilakukan selama 6 bulan. Kalau tidak membayar, maka dilakukan perpanjangan penahanan lagi selama 6 bulan. Namun, kalau tidak juga membayar tapi memiliki kemampuan, maka akan ditinjau kembali untuk dilakukan penahanan. Meski demikian, biasanya penahanan terhadap wajib pajak tidak berlangsung lama.

“Sebagai contoh, pada minggu lalu di Balige terdapat wajib pajak yang dilakukan proses penyanderaan. Wajib pajak tidak mau membayar kewajibannya dan juga mengikuti tax amensty, sehingga ditahan. Namun, setelah satu hari kemudian, wajib pajak akhirnya membayar kewajibannya untuk membayar tunggakan pajaknya dengan mengikuti tax amnesty. Setelah membayar, akhirnya wajib pajak itu kita lepaskan,” ungkapnya.

Disinggung bagaimana apabila wajib pajak bangkrut, dia mengatakan, kalau objek pajak yang bersangkutan tidak ada lagi atau sudah tidak memiliki apa-apa lagi, maka tidak akan disandera. Apalagi, sudah dihukum atau dipenjarakan. Namun demikian, berdasarkan pengalaman biasanya mereka ini melunasi tunggakannya di masa-masa akhir tahun.

“Kami mengajak seluruh wajib pajak yang belum melaporkan hartanya di Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan untuk memanfaatkan program pengampunan pajak. Sebab, kalau wajib pajak mengikuti tax amnesty maka sanksinya bisa dihapus. Wajib pajak tersebut hanya membayar pokoknya saja atau tunggakan. Misalnya, pokok pajak Rp10 miliar dan sanksinya Rp9 miliar, sehingga totalnya Rp19 miliar. Tetapi, karena wajib pajak mengikuti tax amnesty maka hanya membayar Rp10 miliar saja sementara Rp9 miliar lagi dihapuskan,” pungkasnya. (ris/rbb)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/