29 C
Medan
Friday, May 17, 2024

Kematian Disebabkan Serangan Jantung Meningkat Selama Pandemi, 16,3% Pasien Covid-19 Punya Komorbid Penyakit Jantung

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Angka kematian disebabkan serangan jantung koroner, diklaim meningkat selama pandemi Covid-19. Sebelum pandemi, angka kematian di rumah sakit akibat serangan jantung sekitar 8 persen. Namun, kini laju angka kematian tersebut di masa pandemi meningkat hingga 22-23 persen.

dr Andi Khairul SpJp.

Menurut dr Andi Khairul SpJp dari Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara (RS USU), pandemi Covid-19 yang berlangsung sejak akhir 2019 menjadi kekhawatiran tersendiri bagi orang dengan penyakit jantung. Ini mengingat paparan infeksi apapun termasuk infeksi Covid-19, dapat mencetuskan perburukan dari penyakit jantung, seperti terjadinya kekambuhan penyakit jantung koroner atau gagal jantung menahun.

“Laporan rumah sakit di masa pandemi menunjukkan, 16,3 persen pasien yang dirawat dari ruang isolasi Covid-19 ternyata mempunyai komorbid atau koinsiden penyakit jantung,” ungkap Andi di sela-sela kegiatan Hari Jantung Sedunia yang digelar di Poli Jantung RS USU, Rabu (29/9).

Andi juga mengungkapkan, berdasarkan data kematian akibat penyakit jantung di Indonesia, sekitar 14,4 persen disebabkan penyakit jantung koroner. Selain itu, akibat stroke 19,4 persen, hipertensi 3 persen, kardiomiopati 0,44 persen, aorta 2,7 persen, atrial fibrilasi 0,29 persen, dan congenital 1,9 persen.

Disebutkan Andi, data Riskedas tahun 2018 menunjukkan, prevalensi penyakit jantung di Indonesia 15 dari 1.000 orang penduduk. Dengan kata lain, saat ini terdapat 4,2 juta orang yang menderita penyakit jantung.

Dia melanjutkan, Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) melaporkan, 14,4 persen sebab kematian di Indonesia adalah penyakit jantung koroner. Gaya hidup, merokok dan pola makan merupakan kontributor utama terjadinya penyakit jantung koroner. Dilaporkan juga, 50 persen penderita penyakit jantung koroner berpotensi mengalami henti jantung mendadak. “Makin tingginya penyakit jantung dan pembuluh darah, meningkatkan risiko kematian akibat serangan jantung,” ujarnya.

Andi menuturkan, meski sudah banyak masyarakat terlatih Bantuan Hidup Dasar oleh berbagai organisasi/institusi. Akan tetapi, belum ada wadah organisasi pembinanya dan belum ada aplikasi yang dapat menghubungkan antara relawan dan korban. “Kecepatan dan ketepatan pemberian pertolongan gawat darurat kepada korban oleh masyarakat, juga sangat diperlukan. Artinya, diperlukan sistem dan pengorganisasian yang mengintegrasikan antara keberadaan masyarakat yang membutuhkan pertolongan/korban dengan relawan yang minimal sudah tersertifikasi Bantuan Hidup Dasar (BHD) untuk memberikan pertolongan gawat darurat dengan cepat dan tepat,” paparnya.

Ia menambahkan, saat ini yang dilakukan untuk penanggulangan penyakit jantung di Indonesia yaitu komitmen, kerjasama antar organisasi dan lembaga, pemeriksaan kesehatan, data-data pasien, mapping, program pencegahan di masyarakat (stop rokok, ruang publik untuk aktivitas fisik, akses makanan sehat, polusi udara, pencegahan infeksi dan vaksinasi). Selain itu, skrining, hindari hoaks, dan memperkuat rujukan. (ris)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Angka kematian disebabkan serangan jantung koroner, diklaim meningkat selama pandemi Covid-19. Sebelum pandemi, angka kematian di rumah sakit akibat serangan jantung sekitar 8 persen. Namun, kini laju angka kematian tersebut di masa pandemi meningkat hingga 22-23 persen.

dr Andi Khairul SpJp.

Menurut dr Andi Khairul SpJp dari Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara (RS USU), pandemi Covid-19 yang berlangsung sejak akhir 2019 menjadi kekhawatiran tersendiri bagi orang dengan penyakit jantung. Ini mengingat paparan infeksi apapun termasuk infeksi Covid-19, dapat mencetuskan perburukan dari penyakit jantung, seperti terjadinya kekambuhan penyakit jantung koroner atau gagal jantung menahun.

“Laporan rumah sakit di masa pandemi menunjukkan, 16,3 persen pasien yang dirawat dari ruang isolasi Covid-19 ternyata mempunyai komorbid atau koinsiden penyakit jantung,” ungkap Andi di sela-sela kegiatan Hari Jantung Sedunia yang digelar di Poli Jantung RS USU, Rabu (29/9).

Andi juga mengungkapkan, berdasarkan data kematian akibat penyakit jantung di Indonesia, sekitar 14,4 persen disebabkan penyakit jantung koroner. Selain itu, akibat stroke 19,4 persen, hipertensi 3 persen, kardiomiopati 0,44 persen, aorta 2,7 persen, atrial fibrilasi 0,29 persen, dan congenital 1,9 persen.

Disebutkan Andi, data Riskedas tahun 2018 menunjukkan, prevalensi penyakit jantung di Indonesia 15 dari 1.000 orang penduduk. Dengan kata lain, saat ini terdapat 4,2 juta orang yang menderita penyakit jantung.

Dia melanjutkan, Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) melaporkan, 14,4 persen sebab kematian di Indonesia adalah penyakit jantung koroner. Gaya hidup, merokok dan pola makan merupakan kontributor utama terjadinya penyakit jantung koroner. Dilaporkan juga, 50 persen penderita penyakit jantung koroner berpotensi mengalami henti jantung mendadak. “Makin tingginya penyakit jantung dan pembuluh darah, meningkatkan risiko kematian akibat serangan jantung,” ujarnya.

Andi menuturkan, meski sudah banyak masyarakat terlatih Bantuan Hidup Dasar oleh berbagai organisasi/institusi. Akan tetapi, belum ada wadah organisasi pembinanya dan belum ada aplikasi yang dapat menghubungkan antara relawan dan korban. “Kecepatan dan ketepatan pemberian pertolongan gawat darurat kepada korban oleh masyarakat, juga sangat diperlukan. Artinya, diperlukan sistem dan pengorganisasian yang mengintegrasikan antara keberadaan masyarakat yang membutuhkan pertolongan/korban dengan relawan yang minimal sudah tersertifikasi Bantuan Hidup Dasar (BHD) untuk memberikan pertolongan gawat darurat dengan cepat dan tepat,” paparnya.

Ia menambahkan, saat ini yang dilakukan untuk penanggulangan penyakit jantung di Indonesia yaitu komitmen, kerjasama antar organisasi dan lembaga, pemeriksaan kesehatan, data-data pasien, mapping, program pencegahan di masyarakat (stop rokok, ruang publik untuk aktivitas fisik, akses makanan sehat, polusi udara, pencegahan infeksi dan vaksinasi). Selain itu, skrining, hindari hoaks, dan memperkuat rujukan. (ris)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/