28.9 C
Medan
Sunday, May 12, 2024

90 Persen Tercemar dari Daratan

triadi wibowo/sumut pos
DANAU TOBA: Aktivitas warga sekitar di perairan Danau Toba. Hasil berbagai observasi, 90 persen pencemaran Danau Toba bersumber dari daratan.

Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sumatera Utara mengungkapkan, setelah melakukan berbagai observasi, kajian, dan masukan dari fokus grup diskusi selama tiga kali, terungkap bahwa 90 persen pencemaran Danau Toba bersumber dari daratan.

MEDAN- Kepala DKP Sumut, Mulyadi Simatupang mengatakan, sejauh ini sudah dilakukan sampling sebanyak tiga kali di semua perairan Danau Toba baik pada musim kemarau, hujan dan peralihan. Kajian ataupun riset tersebut dilakukan pihaknya bersama Kementrian Kelautan dan Perikanan serta para ilmuan.

Tak hanya itu, sejumlah data-data baru atas riset yang dilakukan tersebut, kembali dibahas bersama dalam FGD yang sudah digelar sebanyak tiga kali.

“Yang jelas kami (DKP Sumut) menganggap bahwa riset KKP sangat penting terkhusus Danau Toba ini. Kajian ini juga meninjau dari berbagai unsur lingkungan, sosial, ekonomi dan budaya,” katanya kepada wartawan, Kamis (30/8).

Berbagai pandangan dan juga hasil riset menunjukkan, lanjutnya, bahwa pencemaran air Danau Toba tidak semata-mata karena adanya Keramba Jaring Apung (KPA) di perairan tersebut. Menurut hasil sampel kualitas air yang dilakukan dan pandangan berbagai ahli, sumber pencemaran justru banyak berasal dari daratan yang dibawa melalui aliran sungai menuju Danau Toba.

“Terlebih yang dihitung (kualitas air) bukan dari KJA saja. Bahkan sampel yang diambil di semua perairan Danau Toba pada musim kemarau, hujan dan peralihan. Selain faktor cuaca, kalau KJA paling hanya 10 persen saja pengaruhnya dalam pencemaran Danau Toba,” kata mantan Kasubbag Anggaran Setdaprovsu ini.

Pihaknya akan menyampaikan hasil riset dan kajian tersebut ke pimpinan sebagai bahan mengambil sebuah kebijakan nantinya. Pihaknya juga menilai untuk mengimplementasikan aturan tersebut sangat berat. Mengingat, masyarakat yang tinggal di kabupaten yang mengelilingi danau terbesar di Indonesia itu adalah nelayan KJA. Di mana, ada beberapa kabupaten yang terdapat KJA seperti Kabupaten Samosir, Toba Samosir, Humbanghasundutan, Tapanuli Utara, Simalungun, Karo, dan Dairi.

Ia mengatakan, penggunaan KJA kerap dituding sebagai salah satu penyebab tercemarnya Danau Toba. Penataan dan pengaturan KJA dinilai sangat perlu. Apalagi dengan adanya standar produksi yang diatur nanti, akan ada penutupan dua perusahaan terbesar pengelola dan budidaya ikan di sana.

Perusahaan tersebut, kata Mulyadi, merupakan perusahaan asing. Bahkan, tak sedikit jumlah tenaga kerja yang akan dirumahkan jika kedua perusahaan tersebut tutup. Untuk itu, pihaknya menilai diperlukan kajian ulang terhadap peraturan tersebut dan juga zonasi yang pas untuk perikanan di Danau Toba.

“Belum ada zonasi disana. Dimana untuk perikanan, pariwisata, budaya, dan lainnya. Ini diperlukan zonasi agar semuanya saling keterikatan, sehingga antara pariwisata dan perikanan juga sejalan. Artinya jangan sampai kebijakan begitu penting menambah masalah baru,” terangnya.

Diketahui, saat ini sudah ada regulasi atas produksi ikan KJA baik milik masyarakat ataupun perusahaan di sekitar Danau Toba. Yakni Peraturan Gubernur Nomor 188.44/209/KPTS/2017 tentang status trofik Danau Toba dan Keputusan Gubernur Sumut Nomor 188.44/2013/KPTS/2017 tentang daya tampung beban pencemaran dan daya dukung Danau Toba untuk budidaya perikanan.

“Saat ini produksi ikan di kawasan Danau Toba sekitar 20 ribu ton per tahun. Angka itu belum termasuk produksi KJA masyarakat yang diperkirakan mencapai 2 ribu ton per tahun. Jumlah ini sudah berkurang setiap tahunnya. Berdasarkan pergub itu, produksi ikan hingga 2023 harus 10 ribu ton per tahun. Itu artinya ada pengurangan setengahnya,” kata Mulyadi.

Namun begitu, kata dia, hal ini masih bersifat kajian dan bahan usulan saja. Dibutuhkan kesamaan persepsi dan visi akan hal ini dalam rangka meningkatkan pariwisata Danau Toba sekaligus perekomian masyarakat sekitar. “FGD yang sudah kami lakukan sebelumnya itu di tiga tempat, yakni IPB, KKP dan Kemenko Kemaritiman,” pungkasnya.

Seperti diberitakan, jutaan ekor ikan di keramba jaring apung (KJA) milik warga Pintu Sona, Kecamatan Pangururan, mati mendadak sejak Senin (21/8) lalu. Berkurangnya oksigen secara tiba-tiba diduga menjadi penyebab matinya sekitar 180 ton ikan mas dan nila di KJA Desa Pintu Sona, Pangururan, Kabupaten Samosir.

Dari hasil pemeriksaan Dinas Lingkungan Hidup Pemkab Samosir, kadar oksigen dalam air (Diasolved Oxygen atau DO) Danau Toba berkisar 2,28 Mg/L. Kondisi ini sangat jauh dibawah standar mutu air yang ditetapkan pemerintah berdasarkan PP 82/2001 yakni minimal 6,0 Mg/L. (prn)

triadi wibowo/sumut pos
DANAU TOBA: Aktivitas warga sekitar di perairan Danau Toba. Hasil berbagai observasi, 90 persen pencemaran Danau Toba bersumber dari daratan.

Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sumatera Utara mengungkapkan, setelah melakukan berbagai observasi, kajian, dan masukan dari fokus grup diskusi selama tiga kali, terungkap bahwa 90 persen pencemaran Danau Toba bersumber dari daratan.

MEDAN- Kepala DKP Sumut, Mulyadi Simatupang mengatakan, sejauh ini sudah dilakukan sampling sebanyak tiga kali di semua perairan Danau Toba baik pada musim kemarau, hujan dan peralihan. Kajian ataupun riset tersebut dilakukan pihaknya bersama Kementrian Kelautan dan Perikanan serta para ilmuan.

Tak hanya itu, sejumlah data-data baru atas riset yang dilakukan tersebut, kembali dibahas bersama dalam FGD yang sudah digelar sebanyak tiga kali.

“Yang jelas kami (DKP Sumut) menganggap bahwa riset KKP sangat penting terkhusus Danau Toba ini. Kajian ini juga meninjau dari berbagai unsur lingkungan, sosial, ekonomi dan budaya,” katanya kepada wartawan, Kamis (30/8).

Berbagai pandangan dan juga hasil riset menunjukkan, lanjutnya, bahwa pencemaran air Danau Toba tidak semata-mata karena adanya Keramba Jaring Apung (KPA) di perairan tersebut. Menurut hasil sampel kualitas air yang dilakukan dan pandangan berbagai ahli, sumber pencemaran justru banyak berasal dari daratan yang dibawa melalui aliran sungai menuju Danau Toba.

“Terlebih yang dihitung (kualitas air) bukan dari KJA saja. Bahkan sampel yang diambil di semua perairan Danau Toba pada musim kemarau, hujan dan peralihan. Selain faktor cuaca, kalau KJA paling hanya 10 persen saja pengaruhnya dalam pencemaran Danau Toba,” kata mantan Kasubbag Anggaran Setdaprovsu ini.

Pihaknya akan menyampaikan hasil riset dan kajian tersebut ke pimpinan sebagai bahan mengambil sebuah kebijakan nantinya. Pihaknya juga menilai untuk mengimplementasikan aturan tersebut sangat berat. Mengingat, masyarakat yang tinggal di kabupaten yang mengelilingi danau terbesar di Indonesia itu adalah nelayan KJA. Di mana, ada beberapa kabupaten yang terdapat KJA seperti Kabupaten Samosir, Toba Samosir, Humbanghasundutan, Tapanuli Utara, Simalungun, Karo, dan Dairi.

Ia mengatakan, penggunaan KJA kerap dituding sebagai salah satu penyebab tercemarnya Danau Toba. Penataan dan pengaturan KJA dinilai sangat perlu. Apalagi dengan adanya standar produksi yang diatur nanti, akan ada penutupan dua perusahaan terbesar pengelola dan budidaya ikan di sana.

Perusahaan tersebut, kata Mulyadi, merupakan perusahaan asing. Bahkan, tak sedikit jumlah tenaga kerja yang akan dirumahkan jika kedua perusahaan tersebut tutup. Untuk itu, pihaknya menilai diperlukan kajian ulang terhadap peraturan tersebut dan juga zonasi yang pas untuk perikanan di Danau Toba.

“Belum ada zonasi disana. Dimana untuk perikanan, pariwisata, budaya, dan lainnya. Ini diperlukan zonasi agar semuanya saling keterikatan, sehingga antara pariwisata dan perikanan juga sejalan. Artinya jangan sampai kebijakan begitu penting menambah masalah baru,” terangnya.

Diketahui, saat ini sudah ada regulasi atas produksi ikan KJA baik milik masyarakat ataupun perusahaan di sekitar Danau Toba. Yakni Peraturan Gubernur Nomor 188.44/209/KPTS/2017 tentang status trofik Danau Toba dan Keputusan Gubernur Sumut Nomor 188.44/2013/KPTS/2017 tentang daya tampung beban pencemaran dan daya dukung Danau Toba untuk budidaya perikanan.

“Saat ini produksi ikan di kawasan Danau Toba sekitar 20 ribu ton per tahun. Angka itu belum termasuk produksi KJA masyarakat yang diperkirakan mencapai 2 ribu ton per tahun. Jumlah ini sudah berkurang setiap tahunnya. Berdasarkan pergub itu, produksi ikan hingga 2023 harus 10 ribu ton per tahun. Itu artinya ada pengurangan setengahnya,” kata Mulyadi.

Namun begitu, kata dia, hal ini masih bersifat kajian dan bahan usulan saja. Dibutuhkan kesamaan persepsi dan visi akan hal ini dalam rangka meningkatkan pariwisata Danau Toba sekaligus perekomian masyarakat sekitar. “FGD yang sudah kami lakukan sebelumnya itu di tiga tempat, yakni IPB, KKP dan Kemenko Kemaritiman,” pungkasnya.

Seperti diberitakan, jutaan ekor ikan di keramba jaring apung (KJA) milik warga Pintu Sona, Kecamatan Pangururan, mati mendadak sejak Senin (21/8) lalu. Berkurangnya oksigen secara tiba-tiba diduga menjadi penyebab matinya sekitar 180 ton ikan mas dan nila di KJA Desa Pintu Sona, Pangururan, Kabupaten Samosir.

Dari hasil pemeriksaan Dinas Lingkungan Hidup Pemkab Samosir, kadar oksigen dalam air (Diasolved Oxygen atau DO) Danau Toba berkisar 2,28 Mg/L. Kondisi ini sangat jauh dibawah standar mutu air yang ditetapkan pemerintah berdasarkan PP 82/2001 yakni minimal 6,0 Mg/L. (prn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/