Namun, Karina menemukan ada kejanggalan dan hal yang aneh dalam proses eksekusi malam maut itu. Terdapat 14 terpidana mati yang dibawa ke sel isolasi untuk mengantri meregang nyawa di tangan regu tembak. Namun, tiba-tiba hanya 4 orang terpidana mati, dengan nomor 6, 7, 9, dan 11 yang berarti atas nama Freddy Budiman, Humprey Jefferson, Seck Osmane, dan Michael Titus Igweh.
“Kita tidak tahu kenapa empat orang saja, semua rohaniawan menunggu, sementara malam itu, sampai jam 10, belum ada tanda-tanda (akan eksekusi). Tiba-tiba dikatakan nomor 6,7 9,11. Dan yang lain balik kanan. Tiba-tiba jaksa terpidana yang lain pulang,” ujar Karin.
Kejanggalan lainnya, tidak seperti biasanya, para rohaniawan tidak diberikan waktu yang luang untuk mendampingi masing-masing terpidana mati. Ia sendiri hanya mendampingi Osmane ketika ia keluar dari sel isolasi menuju lapangan tembak. Biasanya, para rohaniawan dapat menemani para terpidana mati 2-3 jam, untuk memberikan ketenangan agar mereka siap menghadapi ajal.
“Kami mendampingi mereka jelang eksekusi. Kami hanya menjadi death angel, hanya menemani tim eksekutor. Saya hanya mendampingi Osmane keluar dari sel isolasi, diiringi tim eksekutor, saya hanya sempat memeluknya, dan menemaninya hingga ke tiang,” kata Karina.
Sementara, kesepuluh terpidana mati lainnya yang bernasib baik, urung dieksekusi malam itu, menyaksikan empat terpidana mati diterjang peluru tim eksekutor dari sela-sela sel isolasi.
Rohaniawati yang akrab disapa Rina ini, menuturkan, sebenarnya ia tidak menolak adanya eksekusi mati. Namun untuk kali ini, ia melihat tidak ada keadilan bagi anak rohaninya tersebut. Dari 14 terpidana mati, terdapat 10 terpidana mati yang didampingi rohaniawan Kristiani seperti dia.
Para rohaniawan di hari itu dikumpulkan di satu ruangan, tidak diizinkan memberikan pendampingan ke masing-masing sel isolasi. Ini kejanggalan menurut Rina, karena biasanya mereka rohaniawan harus mendampingi para terpidana mati.
“Tapi kali ini rohaniawan hanya dipanggil ketika mereka dipanggil untuk eksekusi. Biasanya 1-2 jam sebelum mereka dibawa. Karena kami yang mengenal mereka. Kejanggalan lainnya, ada beberapa rohaniawan yang ditunjuk oleh Polres, tanpa mereka (terpidana mati) kenal. Itu kan gak boleh. Akhirnya, kami hanya bertemu beberapa menit sebelum mereka (empat orang) dieksekusi,” kata Rina.
Sebelumnya, ia sendiri yakin Osmane tidak akan dieksekusi karena pengacara Osmane mengatakan baru saja mendaftarkan grasi. Namun, Osmane tetap disebut namanya oleh para eksekutor, sementara 10 nama lainnya selamat, padahal proses hukum Osmane belum selesai yakni lewat grasi belum diterima atau ditolak oleh Presiden Jokowi.
“Kenapa mereka yang dieksusi, banyak terpidana lain yang grasinya udah ditolak, PTUN-nya ditolak berkali-kali. Mereka (Osmane dan 3 lainnya) belum grasi, ini kan janggal. Apa karena mereka kulit hitam?” tanya Rina.
“Bisa dibayangkan bagaimana perasaan mereka, teman mereka lain melihat mereka. Sepertinya, negara kita lebih memilih kehilangan nyawa orang daripada kehilangan muka. Apa dasar dipilih 4 itu. Satu anak rohani saya dieksekusi,” demikian Rina menambahkan. (rus/rmol/adz)