26.7 C
Medan
Saturday, May 4, 2024

Eksekusi Mati Dituding Tutupi Keterlibatan Negara

Eksekusi Mati-Ilustrasi
Eksekusi Mati-Ilustrasi

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kejaksaan Agung dituding telah melanggar hukum dalam proses eksekusi mati terhadap empat terpidana narkoba yakni Freddy Budiman, Humprey Jefferson, Seck Osmane, dan Michael Titus Igweh. Ditengarai, keempat yang dieksekusi mati ini adalah saksi kunci yang memegang informasi penting peredaran narkoba di Indonesia yang tak pernah putus mata rantainya.

Penggiat HAM dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Putri Kanesia mengemukakan, selama ini sudah 18 terpidana mati meregang nyawa di tangan eksekutor Kejaksaan Agung. Jika ditelaah lebih jauh, sepanjang pelaksanaan eksekusi mati, banyak pelanggaran hukum yang dilakukan Kejagung.

Ia mengingatkan, publik eksekusi mati gelombang kedua atas nama Rodrigo Gularte asal Brazil yang didampingi oleh KontraS. Rodrigo mengalami sakit kelainan jiwa, namun tetap dieksekusi oleh Kejagung. Dan untuk eksekusi mati gelombang ketiga ini, Putri menyebut merupakan pelaksaan eksekusi mati yang main-main.

“Nyawa orang dipermainkan. Keluarga terpidana hanya dipertemukan sekali, itu pun hanya boleh keluarga inti. 14 orang dibawa ke masuk sel isolasi. Ternyata 10 orang kemudian dikembalikan,” ujar Putri dalam jumpa pers yang digelar Jaringan Masyarakat Sipil yang terdiri dari YLBHI, KontraS, ICJR LBH Masyarakat, Imparsial, Elsam, dan Migrant Care di kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH), Jalan Pangeran Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (31/7).

Ia mengkritik keras statemen Jaksa Agung HM Prasetyo yang mengatakan 10 terpidana mati yang urung dieksekusi akan dieksekusi dikemudian hari dalam jangka waktu yang tak ditentukan. Jaksa Agung disebutnya telah melanggar hak terpidana mati yakni hak kepastian informasi dan kepastian hukum.

“Ini merugikan bagi mereka yang masih memiliki upaya hukum tersisa berupa grasi dan Peninjauan Kembali (PK),” kata Putri.

Lebih jauh, pelanggaran lainnya kepada para terpidana mati adalah keluarga para terpidana baru diinformasikan akan diadakan eksekusi mati pada Selasa pukul 3 sore. Notifikasi berdasarkan Undang-Undang harus 3×24 jam atau 72 jam sebelum dilakukan eksekusi. Namun Kejagung telah melakukan eksekusi mati sebelum 72 jam, yakni Jumat dinihari.

“Kejagung sudah melaksanakan pelanggaran hukum. Mereka sudah dieksekusi sebelum notifikasi mereka berakhir,” tegas Putri.

Karena proses eksekusi mati yang janggal itulah, muncul kecurigaan publik kenapa dari 14 yang dimasukkan ke dalam sel isolasi, hanya 4 yang dieksekusi mati. Ditenggarai, keempat yang dieksekusi mati ini adalah saksi kunci yang memegang informasi penting peredaran narkoba di Indonesia yang tak pernah putus mata rantainya.

“Kalau negara ingin membenahi hukum, jangan dieksekusi mati (mereka), kita tidak akan pernah sampai ke ujungnya. Apakah ada keterlibatan negara di dalamnya, itu menimbulkan tanda tanya besar? Kenapa mereka dieksekusi, apakah mereka punya informasi penting sehingga mereka harus dieksekusi mati,” pungkasnya.

Sementara, seorang rohaniawati dari Yayasan Gita Eklesia bernama Karina mengungkap cerita tentang detik-detik jelang eksekusi mati empat terpidana mati kasus narkoba gelombang ketiga tersebut. Karina yang sudah 14 tahun menjadi pelayan rohani di LP Nusakambangan itu mendampingi terpidana mati, Seck Osmane.

Karina menceritakan bagaimana suasana jelang eksekusi mati dimana dia terus mendampingi Osmane hingga akhir maut menjemput. “Saya mendampingi Osmane. Cuaca hujan deras, saya ikut basah kuyup, eksekusi tetap dijalankan malam itu,” cerita Karina di LBH Jakarta, Minggu (31/7).

Eksekusi Mati-Ilustrasi
Eksekusi Mati-Ilustrasi

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kejaksaan Agung dituding telah melanggar hukum dalam proses eksekusi mati terhadap empat terpidana narkoba yakni Freddy Budiman, Humprey Jefferson, Seck Osmane, dan Michael Titus Igweh. Ditengarai, keempat yang dieksekusi mati ini adalah saksi kunci yang memegang informasi penting peredaran narkoba di Indonesia yang tak pernah putus mata rantainya.

Penggiat HAM dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Putri Kanesia mengemukakan, selama ini sudah 18 terpidana mati meregang nyawa di tangan eksekutor Kejaksaan Agung. Jika ditelaah lebih jauh, sepanjang pelaksanaan eksekusi mati, banyak pelanggaran hukum yang dilakukan Kejagung.

Ia mengingatkan, publik eksekusi mati gelombang kedua atas nama Rodrigo Gularte asal Brazil yang didampingi oleh KontraS. Rodrigo mengalami sakit kelainan jiwa, namun tetap dieksekusi oleh Kejagung. Dan untuk eksekusi mati gelombang ketiga ini, Putri menyebut merupakan pelaksaan eksekusi mati yang main-main.

“Nyawa orang dipermainkan. Keluarga terpidana hanya dipertemukan sekali, itu pun hanya boleh keluarga inti. 14 orang dibawa ke masuk sel isolasi. Ternyata 10 orang kemudian dikembalikan,” ujar Putri dalam jumpa pers yang digelar Jaringan Masyarakat Sipil yang terdiri dari YLBHI, KontraS, ICJR LBH Masyarakat, Imparsial, Elsam, dan Migrant Care di kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH), Jalan Pangeran Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (31/7).

Ia mengkritik keras statemen Jaksa Agung HM Prasetyo yang mengatakan 10 terpidana mati yang urung dieksekusi akan dieksekusi dikemudian hari dalam jangka waktu yang tak ditentukan. Jaksa Agung disebutnya telah melanggar hak terpidana mati yakni hak kepastian informasi dan kepastian hukum.

“Ini merugikan bagi mereka yang masih memiliki upaya hukum tersisa berupa grasi dan Peninjauan Kembali (PK),” kata Putri.

Lebih jauh, pelanggaran lainnya kepada para terpidana mati adalah keluarga para terpidana baru diinformasikan akan diadakan eksekusi mati pada Selasa pukul 3 sore. Notifikasi berdasarkan Undang-Undang harus 3×24 jam atau 72 jam sebelum dilakukan eksekusi. Namun Kejagung telah melakukan eksekusi mati sebelum 72 jam, yakni Jumat dinihari.

“Kejagung sudah melaksanakan pelanggaran hukum. Mereka sudah dieksekusi sebelum notifikasi mereka berakhir,” tegas Putri.

Karena proses eksekusi mati yang janggal itulah, muncul kecurigaan publik kenapa dari 14 yang dimasukkan ke dalam sel isolasi, hanya 4 yang dieksekusi mati. Ditenggarai, keempat yang dieksekusi mati ini adalah saksi kunci yang memegang informasi penting peredaran narkoba di Indonesia yang tak pernah putus mata rantainya.

“Kalau negara ingin membenahi hukum, jangan dieksekusi mati (mereka), kita tidak akan pernah sampai ke ujungnya. Apakah ada keterlibatan negara di dalamnya, itu menimbulkan tanda tanya besar? Kenapa mereka dieksekusi, apakah mereka punya informasi penting sehingga mereka harus dieksekusi mati,” pungkasnya.

Sementara, seorang rohaniawati dari Yayasan Gita Eklesia bernama Karina mengungkap cerita tentang detik-detik jelang eksekusi mati empat terpidana mati kasus narkoba gelombang ketiga tersebut. Karina yang sudah 14 tahun menjadi pelayan rohani di LP Nusakambangan itu mendampingi terpidana mati, Seck Osmane.

Karina menceritakan bagaimana suasana jelang eksekusi mati dimana dia terus mendampingi Osmane hingga akhir maut menjemput. “Saya mendampingi Osmane. Cuaca hujan deras, saya ikut basah kuyup, eksekusi tetap dijalankan malam itu,” cerita Karina di LBH Jakarta, Minggu (31/7).

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/