30 C
Medan
Thursday, May 2, 2024

Pelaut Asal Medan Terpaksa Minum Air Campur Kotoran Unta

Foto: EPA Keempat WNI yang selamat dari tangan perompak Somalia tiba di Jakarta pada 28 Oktober 2016.
Foto: EPA
Keempat WNI yang selamat dari tangan perompak Somalia tiba di Jakarta pada 28 Oktober 2016.

SUMUTPOS.CO – Empat dari lima pelaut korban penyanderaan perompak Somalia berhasil diselamatkan dan telah dipulangkan ke Indonesia.Sandera kelima, Nasirin, meninggal dunia akibat sakit pada 2014. Keempat korban sandera itu adalah Sudirman (24 tahun) asal Medan, Sumatera Utara; Supardi (34 tahun) asal Cirebon, Jawa Barat; Adi Manurung (32 tahun) asal Medan; dan Elson Pesireron (32 tahun) asal Maluku.

Dari keempatnya, hanya Sudirman yang paling cakap mengisahkan pengalamannya, korban lain hanya diam.

“Kita masih trauma, kita masih takut. Kita tidak tahu apa yang kita rasakan, bahkan kita berdiri di depan ini semua kita tidak percaya sama sekali. Apa ini mimpi? Kita tahu ini semua mujizat. Terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa,” kata Sudirman.

Dia lantas berkisah bagaimana ihwal penyanderaan yang terjadi pada 26 Maret 2012 di kapal FV Naham 3 ketika berlayar di di selatan perairan Seychelles.

“(Penyanderaan terjadi) pada pukul 2 malam. Saat ABK semua selesai bekerja terdengar suara tembakan. Tembakan membabi buta yang menyebabkan kapten kami tewas. Kami lari ke mana saja, ke ruang mesin, yg penting tidak terlihat pembajak Somalia.”
Selama 1,5 tahun mereka disandera di dalam kapal dan tiga tahun sisanya mereka berada di daratan di Somalia.

“Kegiatannya selama tiga tahun di Somalia, tidak ada. Cuman pas sore, kita kan masak pakai kayu bakar, jadi ya kita mencari kayu.”
“Seandainya -Somalia itu jarang hujan, dua kali saja sudah hebat, sudah berkah- yah kita gali tanah seperti kolam, kolam penuh ditampung untuk diminum karena air minum mereka tidak layak untuk diminum.”
“(Air minum yang diberikan) tidak sampai 500 ml sehari. Air mentah yang kadang-kadang kalau diterima ada kotoran untanya, kotoran kambingnya. Saya sih daripada dimasak, mending tidak usah dimasak, sama saja. Kalau dimasak airnya makin bau. Kalau kita tutup (gelasnya), kita ingin menolak kembali, memuntahkan air itu kembali.”
“Mengenai makanan, kita hanya makan roti – diaduk sorenya, tapi paginya dimasak- sudah basi makanya kita semua kena diare.”
“Kalau siang tidak diberi makan. Malam, nasi dengan kacang merah dicampur. Yah kalau tidak ada lauk untuk dimakan, apa pun yang bisa kita minta dari mereka. Ya seadanya sajalah yang bisa kita makan yah kita makan, kita syukuri.”
Sudirman bercerita mereka juga kerap memakan hewan liar seperti tikus, kucing liar.

“Kalau ketahuan ada ganjarannya. Kita bakalan diikat, kaki dengan tangan bertemu di belakang dada, seperti huruf ‘U’. Itu sakit sekali. Kalau tidak terlihat tidak ada masalah.”
Selain kelima ABK asal Indonesia, ada 21 pelaut lain yang ikut disandera yang berasal dari Cina, Filipina, Kamboja, Indonesia, Vietnam dan Taiwan.

Sudirman mengaku mereka sangat dekat satu sama lains eperti keluarga. Bahkan aksi solidaritas itu juga yang menjadi salah satu alasan perompak itu melepaskan mereka.

“Kalau tidak salah tanggal 30 September satu orang Kamboja ada yang kena tembak. Dia ingin buang air besar. Orang Somalia ini berkata yang kotor, kita mengerti karena kita sudah lama di sana, empat tahun. Karena merasa tersinggung, orang Kamboja berkata yang tidak enak dengan orang Somalia. Ditembak kakinya hingga tiga lubang sampai tidak bisa jalan.”
“Kita mogok makan di situ. Kita marah kenapa teman kita ditembak hanya karena ingin buang air besar. Kita pun mogok makan … kita mati semuanya tidak ada masalah. Kalian tidak dapat uang dan kami tidak pulang. Itu yang mungkin ditakutkan mereka.”
Menurut Sudirman, kelompok penyandera memiliki orang untuk mengobati namun tidak memiliki obat.

“Untuk obat mereka tidak punya, hanya membersihkan infeksi saja. Nasib baik pelurunya tidak kena tulang, hanya daging saja.”
Ketika ditanyakan bagiamana kekerasan yang mereka hadapi, Sudirman berkata hal itu membuatnya traumatik bahkan sampai sempat kehilangan iman.

“Melihat apa yg mereka lakukan itu, di saat itu iman saya tidak ada lagi. Jatuh. Saat di sana saya tidak pernah bersujud ke Allah SWT. Saya akui iman saya habis. Karena apa? Apa yang mereka buat ini salah, tidak benar. Ajaran Muslim tidak boleh menyakiti yang tidak sesama Muslim, apalagi sesama (Muslim), saudara.”
Namun, korban lain Supardi berkata, penderitaan yang dia alamitidak membuatnya kehilangan keyakinan.

“Keyakinan tidak hilang. Putus asa, ya. Karena tidak ada komunikasi dengan pemerintah. Saya pun sudah putus asa”, kata Supardi.

Meski demikian, Supardi mengaku tidak pernah salat. “Salat kan harus bersih (karena) tidak ada air, cuman berdoa. Arah kiblat pun tidak tau.”

DRAMA PEMBEBASAN
Setelah melewati drama pembebasan, keempat pelaut ini berhasil diselamatkan pada 23 Oktober, namun baru tiba di Indonesia pada 28 Oktober 2016.

“Saya sangat bangga menjadi warga negara Indonesia, walaupun di luar kita mempunyai masalah, tetap Kementerian Luar Negeri membantu kita,” kata Sudirman.

Proses pembebasan sendiri berjalan hampir lima tahun.

Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi mengatakan masalah yang kompleks dan upaya kelompok lain yang ingin mengambil alih membuat negosiasi berjalan sangat sulit.

Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal menjelaskan kepada para wartawan bahwa hingga 2014 negosiasi masih dilakukan masing-masing negara secara terpisah, Indonesia sendiri diwakili oleh KBRI Kairo.

Hingga di akhir 2014, Presiden Jokowi menginstruksikan agar dilakukan intensifikasi pembebasan.

Kemenlu menggandeng Badan Intelijen Nasional dan menunjuk Holman Fenwick Willan, firma hukum dengan spesialiasi maritim yang pernah menangani kasus pembebasan kapal Albedo pada 2014.

Setelah itu Kemenlu pun muali berkomunikasi dengan negara-negara lain seperti Filipina dan Cina sehingga sejak Mei 2015, negosiasi pun dilakukan terpadu.

“Somalia itu no man’s land. Tidak ada pemerintah yang efektif untuk menjadi mitra lokal untuk bekerja sama. Tidak ada jaminan tidak akan jatuh ke kelompok penyanderaan lain.”
Iqbal menambahkan bahwa sampai detik-detik terakhir penyelamatan yang dilakukan oleh pasukan PBB pun masih ada kelompok yang berupaya menggagalkan.

“Setelah mereka dipindahkan dari Budbud (di Somalia), mereka bergerak siang hari dan tiba sekitar jam dua pagi di Galkayo (di Somalia). Pagi harinya rencana dipindahkan ke Nairobi (ibu kota Kenya). Namun karena ada kontak senjata sehingga mereka tinggal dua malam di sana. Sehingga baru tanggal 23 mereka dievakuasi dengan pesawat dari Galkayo menuju ke Wajir (Kenya), Wajir menuju ke Nairobi.”
“Semua langkah di update ke keluarga, hari ke hari. Ketika dibebaskan pun, malam mereka sudah kita terima, pagi langsung video conference dengan keluarga sehingga keluarga yakin bahwa mereka sudah di tempat yang aman.”
Di Nairobi mereka menjalani tes medis dan Senin (31/10) pagi mereka menjalani pemeriksaan intensif di RSPAD Gatot Subroto.

“Kalau ada kondisi yang perlu perawatan khusus akan dirawat dulu sbeelum mereka dipulangkan nanti,” kata Iqbal.

Meski begitu, Minggu (30/10) Supardi dan Sudirman pergi ke Cirebon untuk bertemu dengan keluarga Nasirin.

Mereka ingin memberikan barang-barang Nasirin yang tewas pada 2014, kemungkinan oleh penyakit Malaria, kepada keluarga sekaligus meyakinkan keluarga bahwa Nasirin sudah dimakamkan secara syariah.

Foto: BBC INDONESIA Keempat korban sandera bersama Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
Foto: BBC INDONESIA
Keempat korban sandera bersama Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.

TEBUSAN US$4,5 JUTA
Awalnya perampok Somalia meminta tebusan sebesar US$4,5 juta kepada pemerintah Indonesia.

Namun jubir Kemenlu Arrmanatha Nasir berkata pemerintah tidak pernah membayar uang tebusan.

“Kebijakan pemerintah Indonesia bahwa kita tidak membayar uang tebusan. Kita konsisten melakukan itu, baik dalam konteks penyanderaan di Filipina kemarin, maupun dalam konteks penyanderaan di Somalia,” kata Arrmanatha.

Namun menurut laporan sebelumnya, mereka dibebaskan pada Sabtu (22/10) setelah tebusan dibayarkan.

Kemenlu mengatakan pemerintah telah berkoordinasi dengan LSM internasional Oceans Beyond Piracy utnuk membebaskan ke-26 sandera dari tangan perompak.

Perusahaan pemilik kapal FV Naham 3 sudah bangkrut, sehingga sudah tidak bisa menanggung kewajiban terhadap para korban sandera.

“Kita sudah menyampaikan concern ini kepada beberapa lembaga internasional yang terkait dan kita akan mencari mekanisme untuk memberikan dukungan dan bantuan kepada mereka nanti,” kata Iqbal. (Mehulika Sitepu/BBC Indonesia)

Foto: EPA Keempat WNI yang selamat dari tangan perompak Somalia tiba di Jakarta pada 28 Oktober 2016.
Foto: EPA
Keempat WNI yang selamat dari tangan perompak Somalia tiba di Jakarta pada 28 Oktober 2016.

SUMUTPOS.CO – Empat dari lima pelaut korban penyanderaan perompak Somalia berhasil diselamatkan dan telah dipulangkan ke Indonesia.Sandera kelima, Nasirin, meninggal dunia akibat sakit pada 2014. Keempat korban sandera itu adalah Sudirman (24 tahun) asal Medan, Sumatera Utara; Supardi (34 tahun) asal Cirebon, Jawa Barat; Adi Manurung (32 tahun) asal Medan; dan Elson Pesireron (32 tahun) asal Maluku.

Dari keempatnya, hanya Sudirman yang paling cakap mengisahkan pengalamannya, korban lain hanya diam.

“Kita masih trauma, kita masih takut. Kita tidak tahu apa yang kita rasakan, bahkan kita berdiri di depan ini semua kita tidak percaya sama sekali. Apa ini mimpi? Kita tahu ini semua mujizat. Terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa,” kata Sudirman.

Dia lantas berkisah bagaimana ihwal penyanderaan yang terjadi pada 26 Maret 2012 di kapal FV Naham 3 ketika berlayar di di selatan perairan Seychelles.

“(Penyanderaan terjadi) pada pukul 2 malam. Saat ABK semua selesai bekerja terdengar suara tembakan. Tembakan membabi buta yang menyebabkan kapten kami tewas. Kami lari ke mana saja, ke ruang mesin, yg penting tidak terlihat pembajak Somalia.”
Selama 1,5 tahun mereka disandera di dalam kapal dan tiga tahun sisanya mereka berada di daratan di Somalia.

“Kegiatannya selama tiga tahun di Somalia, tidak ada. Cuman pas sore, kita kan masak pakai kayu bakar, jadi ya kita mencari kayu.”
“Seandainya -Somalia itu jarang hujan, dua kali saja sudah hebat, sudah berkah- yah kita gali tanah seperti kolam, kolam penuh ditampung untuk diminum karena air minum mereka tidak layak untuk diminum.”
“(Air minum yang diberikan) tidak sampai 500 ml sehari. Air mentah yang kadang-kadang kalau diterima ada kotoran untanya, kotoran kambingnya. Saya sih daripada dimasak, mending tidak usah dimasak, sama saja. Kalau dimasak airnya makin bau. Kalau kita tutup (gelasnya), kita ingin menolak kembali, memuntahkan air itu kembali.”
“Mengenai makanan, kita hanya makan roti – diaduk sorenya, tapi paginya dimasak- sudah basi makanya kita semua kena diare.”
“Kalau siang tidak diberi makan. Malam, nasi dengan kacang merah dicampur. Yah kalau tidak ada lauk untuk dimakan, apa pun yang bisa kita minta dari mereka. Ya seadanya sajalah yang bisa kita makan yah kita makan, kita syukuri.”
Sudirman bercerita mereka juga kerap memakan hewan liar seperti tikus, kucing liar.

“Kalau ketahuan ada ganjarannya. Kita bakalan diikat, kaki dengan tangan bertemu di belakang dada, seperti huruf ‘U’. Itu sakit sekali. Kalau tidak terlihat tidak ada masalah.”
Selain kelima ABK asal Indonesia, ada 21 pelaut lain yang ikut disandera yang berasal dari Cina, Filipina, Kamboja, Indonesia, Vietnam dan Taiwan.

Sudirman mengaku mereka sangat dekat satu sama lains eperti keluarga. Bahkan aksi solidaritas itu juga yang menjadi salah satu alasan perompak itu melepaskan mereka.

“Kalau tidak salah tanggal 30 September satu orang Kamboja ada yang kena tembak. Dia ingin buang air besar. Orang Somalia ini berkata yang kotor, kita mengerti karena kita sudah lama di sana, empat tahun. Karena merasa tersinggung, orang Kamboja berkata yang tidak enak dengan orang Somalia. Ditembak kakinya hingga tiga lubang sampai tidak bisa jalan.”
“Kita mogok makan di situ. Kita marah kenapa teman kita ditembak hanya karena ingin buang air besar. Kita pun mogok makan … kita mati semuanya tidak ada masalah. Kalian tidak dapat uang dan kami tidak pulang. Itu yang mungkin ditakutkan mereka.”
Menurut Sudirman, kelompok penyandera memiliki orang untuk mengobati namun tidak memiliki obat.

“Untuk obat mereka tidak punya, hanya membersihkan infeksi saja. Nasib baik pelurunya tidak kena tulang, hanya daging saja.”
Ketika ditanyakan bagiamana kekerasan yang mereka hadapi, Sudirman berkata hal itu membuatnya traumatik bahkan sampai sempat kehilangan iman.

“Melihat apa yg mereka lakukan itu, di saat itu iman saya tidak ada lagi. Jatuh. Saat di sana saya tidak pernah bersujud ke Allah SWT. Saya akui iman saya habis. Karena apa? Apa yang mereka buat ini salah, tidak benar. Ajaran Muslim tidak boleh menyakiti yang tidak sesama Muslim, apalagi sesama (Muslim), saudara.”
Namun, korban lain Supardi berkata, penderitaan yang dia alamitidak membuatnya kehilangan keyakinan.

“Keyakinan tidak hilang. Putus asa, ya. Karena tidak ada komunikasi dengan pemerintah. Saya pun sudah putus asa”, kata Supardi.

Meski demikian, Supardi mengaku tidak pernah salat. “Salat kan harus bersih (karena) tidak ada air, cuman berdoa. Arah kiblat pun tidak tau.”

DRAMA PEMBEBASAN
Setelah melewati drama pembebasan, keempat pelaut ini berhasil diselamatkan pada 23 Oktober, namun baru tiba di Indonesia pada 28 Oktober 2016.

“Saya sangat bangga menjadi warga negara Indonesia, walaupun di luar kita mempunyai masalah, tetap Kementerian Luar Negeri membantu kita,” kata Sudirman.

Proses pembebasan sendiri berjalan hampir lima tahun.

Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi mengatakan masalah yang kompleks dan upaya kelompok lain yang ingin mengambil alih membuat negosiasi berjalan sangat sulit.

Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal menjelaskan kepada para wartawan bahwa hingga 2014 negosiasi masih dilakukan masing-masing negara secara terpisah, Indonesia sendiri diwakili oleh KBRI Kairo.

Hingga di akhir 2014, Presiden Jokowi menginstruksikan agar dilakukan intensifikasi pembebasan.

Kemenlu menggandeng Badan Intelijen Nasional dan menunjuk Holman Fenwick Willan, firma hukum dengan spesialiasi maritim yang pernah menangani kasus pembebasan kapal Albedo pada 2014.

Setelah itu Kemenlu pun muali berkomunikasi dengan negara-negara lain seperti Filipina dan Cina sehingga sejak Mei 2015, negosiasi pun dilakukan terpadu.

“Somalia itu no man’s land. Tidak ada pemerintah yang efektif untuk menjadi mitra lokal untuk bekerja sama. Tidak ada jaminan tidak akan jatuh ke kelompok penyanderaan lain.”
Iqbal menambahkan bahwa sampai detik-detik terakhir penyelamatan yang dilakukan oleh pasukan PBB pun masih ada kelompok yang berupaya menggagalkan.

“Setelah mereka dipindahkan dari Budbud (di Somalia), mereka bergerak siang hari dan tiba sekitar jam dua pagi di Galkayo (di Somalia). Pagi harinya rencana dipindahkan ke Nairobi (ibu kota Kenya). Namun karena ada kontak senjata sehingga mereka tinggal dua malam di sana. Sehingga baru tanggal 23 mereka dievakuasi dengan pesawat dari Galkayo menuju ke Wajir (Kenya), Wajir menuju ke Nairobi.”
“Semua langkah di update ke keluarga, hari ke hari. Ketika dibebaskan pun, malam mereka sudah kita terima, pagi langsung video conference dengan keluarga sehingga keluarga yakin bahwa mereka sudah di tempat yang aman.”
Di Nairobi mereka menjalani tes medis dan Senin (31/10) pagi mereka menjalani pemeriksaan intensif di RSPAD Gatot Subroto.

“Kalau ada kondisi yang perlu perawatan khusus akan dirawat dulu sbeelum mereka dipulangkan nanti,” kata Iqbal.

Meski begitu, Minggu (30/10) Supardi dan Sudirman pergi ke Cirebon untuk bertemu dengan keluarga Nasirin.

Mereka ingin memberikan barang-barang Nasirin yang tewas pada 2014, kemungkinan oleh penyakit Malaria, kepada keluarga sekaligus meyakinkan keluarga bahwa Nasirin sudah dimakamkan secara syariah.

Foto: BBC INDONESIA Keempat korban sandera bersama Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
Foto: BBC INDONESIA
Keempat korban sandera bersama Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.

TEBUSAN US$4,5 JUTA
Awalnya perampok Somalia meminta tebusan sebesar US$4,5 juta kepada pemerintah Indonesia.

Namun jubir Kemenlu Arrmanatha Nasir berkata pemerintah tidak pernah membayar uang tebusan.

“Kebijakan pemerintah Indonesia bahwa kita tidak membayar uang tebusan. Kita konsisten melakukan itu, baik dalam konteks penyanderaan di Filipina kemarin, maupun dalam konteks penyanderaan di Somalia,” kata Arrmanatha.

Namun menurut laporan sebelumnya, mereka dibebaskan pada Sabtu (22/10) setelah tebusan dibayarkan.

Kemenlu mengatakan pemerintah telah berkoordinasi dengan LSM internasional Oceans Beyond Piracy utnuk membebaskan ke-26 sandera dari tangan perompak.

Perusahaan pemilik kapal FV Naham 3 sudah bangkrut, sehingga sudah tidak bisa menanggung kewajiban terhadap para korban sandera.

“Kita sudah menyampaikan concern ini kepada beberapa lembaga internasional yang terkait dan kita akan mencari mekanisme untuk memberikan dukungan dan bantuan kepada mereka nanti,” kata Iqbal. (Mehulika Sitepu/BBC Indonesia)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/