Dengan sistem itu, petugas terdekat bisa langsung mendatangi lokasi. Sedangkan petugas lainnya melakukan blocking jalan untuk mencegah pelaku kabur ke luar daerah. Petugas juga bisa langsung menggelar razia untuk mengepung pencuri sehingga tidak bisa kabur.
Mantan Kepala Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT) itu menegaskan, inovasi seperti itu tidak dilarang. Sebab, tetap merujuk pada konsep pembangunan Polri sesuai rencana dan strategi yang sudah ditetapkan. Inovasi itu bisa dilakukan di tingkat Polda maupun Polres. Salah satu inovasi yang sudah pernah muncul tapi masih akan tetap dijalankan oleh Tito adalah quick respons time.
Alasannya, respon cepat tidak hanya menjadi standar pelayanan di Indonesia. Tapi juga di seluruh dunia. Respon cepat juga menjadi indikator kepuasan pelayanan publik. Dia mencontohkan saat bom Thamrin meledak pada awal 2016 ini. Dalam hitungan menit, sudah ada polisi yang berada di lokasi.
Karena itulah, dia menantang polda dan polres agar membikin sistem quick respons yang lebih baik. ”Kalau bisa baik, saya mau datang. Saya ingin lihat kenapa bisa begitu. Saya akan ambil tanpa malu untuk diterapkan di polda yang lain,” ucapnya.
Tito menambahkan, Polri memiliki 61 program yang dikendalikan dari Mabes Polri untuk mengawasi semua yang ada di daerah. ”Akan terlihat polda dan polres yang eksekusinya kurang dilaksanakan. Mana juga yang bagus. Pokoknya reward and punishment akan diterapkan,” tegasnya.
Dia menambahkan, Polri juga memiliki kebijakan yang sekarang sedang disosialisasikan untuk meningkatkan kepercayaan publik ke Polri. Sebab, saat ini tren kepercayaan publik terhadap polisi cenderung menurun. Hal itu berdampak negatif terhadap Polri, bangsa dan negara.
Padahal, Polri merupakan lembaga vertikal terbesar yang memiliki jaringan dari pusat hingga daerah. Memiliki 430 ribu personel, 33 polda, 500-an polres, 5.000-an polsek, dan 70 ribu personel Bhabinkamtibmas yang tersebar di hampir seluruh desa dan kelurahan di Indonesia. Tito menganggap bahwa kondisi tersebut menjadi ironis dengan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat.
Menurut dia, problem utamanya adalah kinerja yang belum maksimal. Misalnya pelayanan publik, penegakan hukum di bidang reserse yang masih banyak komplain, kamtibmas, kerusuhan massal yang bahkan melibatkan kepolisian.
Selain itu, ada juga kultur di lingkungan organisasi dan individual polri yang negatif di mata publik. Misalnya perilaku koruptif, arogansi kekuasaan, dan kekerasan yang berlebihan. ”Ini poin yang membuat publik menjadi kurang simpatik. Kami berusaha menaikkan kembali. Jangan sampai turun terus,” ujarnya.
Caranya dengan memperbaiki kinerja. Tito mengakui, memperbaiki kultur yang koruptif tidak gampang. Menurut dia, harus ada peningkatan kesejahteraan anggota Polri. Sebab take home pay plus renumerasi, masih dirasa kurang. Khususnya di daerah yang berbiaya hidup tinggi.
Hanya saja, menaikkan citra polisi melalui perbaikan kultur dan kinerja, dalam persepsi publik proporsinya hanya 40 persen. Sisanya sebanyak 60 persen, persepsi publik lebih banyak ditentukan oleh media. Dia mencontohkan, 430 ribu anggota polisi yang baik, bisa tercoreng gara-gara ada seorang Wakapolsek Kemayoran yang ditemukan mabuk. Berita itu langsung tersebar di media dan mencoreng semua anggota polisi.
Ada juga contoh lain dengan kondisi berbeda. Saat ada kejadian polisi salah tembak, berita itu tidak muncul di media. Pada saat bersamaan, berita yang muncul adalah kisah Bripka Seladi yang sederhana dan dan suka membantu. Akibatnya, saat itu persepsi masyarakat terhadap polisi menjadi positif. “tulah kekuatan media,” ujarnya. (eko/ang/jpg)