BATAM, SUMUTPOS.CO – Insiden tenggelamnya kapal yang mengangkut Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ilegal dari Malaysia kembali terjadi di Batam, Rabu (2/11). Sebanyak 18 korban ditemukan tewas, 39 selamat, dan 44 lainnya masih dinyatakan hilang.
Insiden ini terjadi di perairan Teluk Mata Ikan, Nongsa, Batam, Rabu (2/11) sekitar pukul 06.00 WIB. Saat itu, kapal cepat tersebut mengangkut 101 penumpang dari Malaysia. Terdiri dari 98 TKI termasuk anak-anak, dan tiga kru kapal. Namun, saat memasuki wilayah perairan Tanjungbemban, Teluk Mata Ikan, Nongsa, kapal dihadang ombak dan akhirnya terbalik dan karam.
“Kami tak sempat keluar. Semuanya ditumpahkan ke dalam laut,” kata Sofianto, salah satu korban selamat, kemarin (2/11).
Sekuat tenaga Sofianto berenang bersama puluhan orang lainnya. Namun saat itu dia menyaksikan ada beberapa orang yang sudah meninggal. Tubuh mereka mengambang dan tak bergerak.
Setelah dua jam berenang, sekitar pukul 08.00 WIB ada tiga kapal nelayan yang menolong para korban selamat. Namun kapal nelayan tersebut tidak bisa mengangkut semua korban secara bersamaan karena kapasitasnya yang terbatas.
Korban selamat lainnya, Zuraida (32), mengatakan korban meninggal umumnya karena tak bisa berenang. “Kebayankan wanita dan anak-anak,” katanya.
Insiden ini membuat wanita asal Medan, Sumatera Utara, itu mengaku kapok bekerja di Malaysia. “Lebih baik hidup di kampung saja,” katanya.
Sementara Bustami (20), mengisahkan kronologis perjalanan mereka dari Johor, Malaysia. Kata dia, dirinya berangkat ke Johor pada Selasa (1/11) sekitar pukul 10 malam waktu Malaysia. “Saya dari Tiram,” katanya.
Sesampainya di Johor, dia dan beberapa temannya sesama TKI ditampung di sebuah rumah penampungan. Di sana sudah ada beberapa TKI bermasalah lainnya. Sebagian di antara mereka sudah di sana sejak beberapa hari sebelumnya.
Mereka digabungkan menjadi satu. Totalnya ada 98 TKI, termasuk anak-anak. “Rata-rata paspor-nya mati. Ada juga yang hanya memegang visa kunjungan,” katanya.
Inilah yang menjadi alasan Bustami dan TKI lainnya memilih pulang melalui jalur tak resmi. Bustami mengaku membayar 450 ringgit Malaysia kepada tekong kapal bernama Niza, warga Indonesia asal Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Malam itu, kata Bustami, Niza meminta para TKI tersebut istirahat sambil menunggu kepastian jadwal keberangkatan ke Batam. Namun sekitar pukul 2.50 dini hari waktu Malaysia, mereka dibangunkan dan diminta segera naik ke kapal. Mereka akan segera berangkat ke Batam.
Bustami terkejut, karena kapal yang mereka tumpangi tenyata cukup kecil. Kapal berbahan fiber itu hanya berukuran panjang lima meter dan lebar dua meter. Sementara jumlah penumpangnya 101 orang, terdiri dari 98 TKI dan tiga kru kapal. Sehingga mereka harus berdesak-desakan di dalam kapal
“Kami rasa seperti ikan yang dipepes. Sebab selain berdesakan, kapalnya ditutup pakai terpal,” kata Bustami.
Sekitar pukul 3 dini hari, kapal berangkat. Kapal dengan empat mesin itu melaju kencang. Para penumpang di dalamnya tidak bisa melihat keluar karena kapal tertutup terpal. Mereka yang membawa anak kecil hanya bisa mendekap buah hatinya masing-masing dengan penuh kecemasan.
Setelah beberapa saat berlayar, penumpang mulai gelisah karena air masuk ke dalam kapal. Hingga sekitar pukul 5.40 WIB, kapal tersangkut karang. Posisi kapal sudah masuk perairan Indonesia.
Saat itu, sebagian TKI pria diminta turun untuk membantu mengeluarkan kapal dari karang. Sekitar pukul 06.00 WIB kapal berhasil dikeluarkan dari karang dan kembali melanjutkan perjalanan ke Teluk Mata Ikan, Nongsa.
Namun baru beberapa menit berlayar, tiba-tiba kapal dihadang ombak besar. Seketika itu kapal oleng ke kiri dan berputar-putar sebanyak dua kali sebelum akhirnya tenggelam.
Sekitar pukul 08.00 WIB ada kapal nelayan yang melintas dan memberikan pertolongan. Namun sebagian korban sudah meninggal.