31 C
Medan
Thursday, June 27, 2024

Sidang Dahlan: Jaksa Jadikan Makelar Tanah Sumber Data

Foto: Dite Surendra/Jawa Pos
Dahlan Iskan didampingi Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo di Pengadilan Tipikor Surabaya, Jumat (3/2/17).

SURABAYA, SUMUTPOS.CO – Modus Jaksa Kejati Jatim yang memaksakan perkara PT Panca Wira Usaha (PWU) Jatim untuk menyeret Dahlan Iskan ke persidangan semakin terkuak. Dalam lanjutan sidang Jumat (3/2), terungkap bahwa jaksa mengarahkan saksi ketika memberikan keterangan dalam penyidikan. Bahkan, sebagian besar saksi fakta yang diajukan jaksa penuntut umum (JPU) tidak memiliki kapasitas. Mereka tidak mengetahui kejadian tersebut secara langsung.

Pada sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Surabaya kemarin, jaksa menghadirkan lima saksi. Mereka adalah Tony Suparwis (lurah Kenayan, Tulungagung); Subiyanto (sekretaris Kelurahan Kenayan, Tulungagung); Kuntjoro (mantan sekretaris Kelurahan Kenayan, Tulungagung); Turkan (PNS Badan Pertanahan Nasional Bagian Peralihan Hak); serta Sugiono (sekretaris Dinas Pendapatan Kabupaten Tulungagung).

Saksi-saksi tersebut dihadirkan terkait dengan penjualan tanah PT Keramik di Jalan Hasanuddin Nomor 1, Tulungagung. Dengan saksi itu, jaksa ingin mengonstruksi bahwa tanah PT Keramik Tulungagung dijual PT PWU kepada PT Sempulur Adi Mandiri (SAM) dengan harga di bawah harga pasar.

Misalnya, yang ditanyakan kepada saksi Tony Suparwis. Jaksa menganggap Tony sebagai lurah memiliki kapasitas menerangkan harga tanah. Padahal, sejak awal, saksi menegaskan bahwa kelurahan tidak menyimpan data apa pun soal harga tanah. ’’(Harga tanah, Red) tahun itu tidak tahu. Hanya tanya-tanya ke masyarakat,’’ kata Tony dalam sidang.

Dalam sidang, pria yang tinggal di Desa Betak, Kecamatan Kalidawir, Tulungagung, itu menyebut bahwa masyarakat yang dimaksud adalah makelar tanah. Menurut Tony, dari bertanya kepada makelar, diketahui bahwa pada 2002 harga tanah di sekitar lokasi pabrik keramik itu Rp 1 juta per meter persegi. Padahal, sesuai dengan NJOP (nilai jual objek pajak), harga tanah pada tahun itu di lokasi yang sama adalah Rp 243 ribu per meter persegi.

Selisih hingga empat kali lipat itu juga terjadi dalam penghitungan versi makelar yang tercantum dalam BAP dan NJOP pada 2003, 2004, hingga 2005. ’’Makelar jualnya di atas harga NJOP. Bisa berlipat-lipat,’’ ucap lurah kelahiran 30 September 1962 itu.

Keterangan yang sama disampaikan Subiyanto. Hanya, saat ditanya soal sumber data yang disebutkan dalam BAP, dia tidak bisa membeberkan panjang lebar. ’’Harga pasar sama yang disampaikan Pak Lurah. Dapatnya juga sama (dengan lurah) karena saya sekretarisnya,’’ ucapnya.

Keterangan tersebut sempat membuat pengunjung sidang tertawa. Sebab, jaksa menyimpulkan bahwa proses pelepasan aset PT PWU bermasalah dan memasukkan kesimpulan itu dalam BAP dengan mendasarkan keterangan pada makelar! Karena nama dan identitas makelar itu tidak diketahui, tentu saja keterangannya tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Agus Dwiwarsono, salah seorang pengacara Dahlan, kemudian bertanya kepada Tony, Subiyanto, dan Kuntjoro sekaligus. Apakah mereka mengetahui secara langsung, melihat, atau mengalami sendiri kejadian jual beli tanah pada 2002–2003? ’’Tidak,’’ jawab ketiganya nyaris bersamaan. Pertanyaan itu diajukan untuk mengukur kapasitas mereka sebagai saksi fakta yang dihadirkan dalam sidang pembuktian.

Hal yang sama terjadi pada saksi Turkan. Dalam sidang, dia menyebut bahwa pada 2003 dirinya menjadi staf bagian pengukuran di BPN Tulungagung. Dia terang-terangan mengaku tidak tahu-menahu proses jual beli dan balik nama lahan pabrik keramik. ’’Saya menjelaskan hanya melihat dokumen. Bukan karena tahu atau mengalami hal ini,’’ ucapnya.

Sidang kemarin juga mengungkap bahwa keterangan pria kelahiran Nganjuk 48 tahun silam itu diarahkan oleh jaksa. Hal tersebut terlihat dari ketidaksinkronan jawabannya dengan keterangannya dalam BAP. Misalnya, keterangan Turkan dalam poin 8 BAP yang menyebutkan 24 syarat balik nama tanah pabrik keramik.

Foto: Dite Surendra/Jawa Pos
Dahlan Iskan didampingi Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo di Pengadilan Tipikor Surabaya, Jumat (3/2/17).

SURABAYA, SUMUTPOS.CO – Modus Jaksa Kejati Jatim yang memaksakan perkara PT Panca Wira Usaha (PWU) Jatim untuk menyeret Dahlan Iskan ke persidangan semakin terkuak. Dalam lanjutan sidang Jumat (3/2), terungkap bahwa jaksa mengarahkan saksi ketika memberikan keterangan dalam penyidikan. Bahkan, sebagian besar saksi fakta yang diajukan jaksa penuntut umum (JPU) tidak memiliki kapasitas. Mereka tidak mengetahui kejadian tersebut secara langsung.

Pada sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Surabaya kemarin, jaksa menghadirkan lima saksi. Mereka adalah Tony Suparwis (lurah Kenayan, Tulungagung); Subiyanto (sekretaris Kelurahan Kenayan, Tulungagung); Kuntjoro (mantan sekretaris Kelurahan Kenayan, Tulungagung); Turkan (PNS Badan Pertanahan Nasional Bagian Peralihan Hak); serta Sugiono (sekretaris Dinas Pendapatan Kabupaten Tulungagung).

Saksi-saksi tersebut dihadirkan terkait dengan penjualan tanah PT Keramik di Jalan Hasanuddin Nomor 1, Tulungagung. Dengan saksi itu, jaksa ingin mengonstruksi bahwa tanah PT Keramik Tulungagung dijual PT PWU kepada PT Sempulur Adi Mandiri (SAM) dengan harga di bawah harga pasar.

Misalnya, yang ditanyakan kepada saksi Tony Suparwis. Jaksa menganggap Tony sebagai lurah memiliki kapasitas menerangkan harga tanah. Padahal, sejak awal, saksi menegaskan bahwa kelurahan tidak menyimpan data apa pun soal harga tanah. ’’(Harga tanah, Red) tahun itu tidak tahu. Hanya tanya-tanya ke masyarakat,’’ kata Tony dalam sidang.

Dalam sidang, pria yang tinggal di Desa Betak, Kecamatan Kalidawir, Tulungagung, itu menyebut bahwa masyarakat yang dimaksud adalah makelar tanah. Menurut Tony, dari bertanya kepada makelar, diketahui bahwa pada 2002 harga tanah di sekitar lokasi pabrik keramik itu Rp 1 juta per meter persegi. Padahal, sesuai dengan NJOP (nilai jual objek pajak), harga tanah pada tahun itu di lokasi yang sama adalah Rp 243 ribu per meter persegi.

Selisih hingga empat kali lipat itu juga terjadi dalam penghitungan versi makelar yang tercantum dalam BAP dan NJOP pada 2003, 2004, hingga 2005. ’’Makelar jualnya di atas harga NJOP. Bisa berlipat-lipat,’’ ucap lurah kelahiran 30 September 1962 itu.

Keterangan yang sama disampaikan Subiyanto. Hanya, saat ditanya soal sumber data yang disebutkan dalam BAP, dia tidak bisa membeberkan panjang lebar. ’’Harga pasar sama yang disampaikan Pak Lurah. Dapatnya juga sama (dengan lurah) karena saya sekretarisnya,’’ ucapnya.

Keterangan tersebut sempat membuat pengunjung sidang tertawa. Sebab, jaksa menyimpulkan bahwa proses pelepasan aset PT PWU bermasalah dan memasukkan kesimpulan itu dalam BAP dengan mendasarkan keterangan pada makelar! Karena nama dan identitas makelar itu tidak diketahui, tentu saja keterangannya tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Agus Dwiwarsono, salah seorang pengacara Dahlan, kemudian bertanya kepada Tony, Subiyanto, dan Kuntjoro sekaligus. Apakah mereka mengetahui secara langsung, melihat, atau mengalami sendiri kejadian jual beli tanah pada 2002–2003? ’’Tidak,’’ jawab ketiganya nyaris bersamaan. Pertanyaan itu diajukan untuk mengukur kapasitas mereka sebagai saksi fakta yang dihadirkan dalam sidang pembuktian.

Hal yang sama terjadi pada saksi Turkan. Dalam sidang, dia menyebut bahwa pada 2003 dirinya menjadi staf bagian pengukuran di BPN Tulungagung. Dia terang-terangan mengaku tidak tahu-menahu proses jual beli dan balik nama lahan pabrik keramik. ’’Saya menjelaskan hanya melihat dokumen. Bukan karena tahu atau mengalami hal ini,’’ ucapnya.

Sidang kemarin juga mengungkap bahwa keterangan pria kelahiran Nganjuk 48 tahun silam itu diarahkan oleh jaksa. Hal tersebut terlihat dari ketidaksinkronan jawabannya dengan keterangannya dalam BAP. Misalnya, keterangan Turkan dalam poin 8 BAP yang menyebutkan 24 syarat balik nama tanah pabrik keramik.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/